Senin, 11 Agustus 2014

(C E R P E N) Membunuh Bayang-bayang

MEMBUNUH BAYANG-BAYANG
Setiap manusia pasti mempunyai bayang-bayang. Gak siang gak malam, asal ada cahaya benderang, bayangan selalu muncul. Bayangan adalah diri kita dalam bentuk yang lain. Dan ia selalu menyerupai kita atau mengikuti gerakan diri. Kita membungkuk, dia pun membungkuk. Satu tangan kita angkat, bayangan pun mengangkat tangannya. Persis tangan mana yang kita angkat. Dan bentuknya pun sama. Hanya warnanya saja yang berbeda.

Aku tak tahu kenapa bayangan-bayangan selalu mengikuti diriku. Kenapa manusia mempunyai bayangan? Pertanyaan ini sampai pada pertanyaan yang tertuju kepada Tuhan. Kenapa Tuhan menciptakan bayangan? Pertanyaan ini pernah aku tanyakan kepada Bu Yohana, guru agama kami, waktu SMP dulu. Bukannya menjawab, dia malah mempertanyakan pertanyaanku.

“Apakah bayangan itu menganggumu?” Demikian tanya Bu Yohana.

“Nggak sih, Bu.”

“Lalu, kenapa kamu pertanyakan?”

Nah loh, jadi bingung sendiri. Jawab ya, pasti ditanya. Jawab tidak juga, ditanya. Dan semuanya sama bingungnya.

Sebenarnya aku ingin menjawab ya. Ya, bayangan itu mengganggu diriku. Sungguh mengganggu. Ia selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Waktu SD, aku dan teman-teman merokok di WC sekolah, bayangan hadir di sana. Waktu aku SMP, ketika menyontek saat ujian, bayanganku ada juga di sana. Bahkan ketika aku mencuri uang OSIS, yang dipercayakan kepadaku, bayanganku persis di sampingku. Aku merasa mereka seperti melihatku, menegurku.

Karena selalu mengawasiku, bayangan membuat aku risih. Ia telah membatasi kebebasanku. Aku seakan seperti anak kecil saja. Karena itulah, aku sangat membenci bayangan.

Bukan bayanganku saja yang kubenci. Bayangan orang lain juga. Ia mengingatkanku akan kejahatan-kejahatan yang pernah kulakukan, yang dihadiri oleh bayanganku. Aku berpikir bahwa mereka sama saja. Mereka pasti akan mengawasiku, sekalipun mereka mengikuti tuannya.

“Kenapa tidak kau bunuh saja bayangan itu?” Sebuah nasehat keluar dari mulut temanku, orang yang pertama kali memperkenalkan narkoba kepadaku.

“Bayangan siapa yang musti kubunuh?”

“Ya bayanganmu sendiri lah!”

“Kalau kubunuh, apa aku gak ikut mati?”

Spontan temanku itu tertawa. Tapi ada tergambar ekspresi gemas di wajahnya. Mungkin terkait dengan jawabanku yang terkesan konyol.

“Dasar bodoh! Mana mungkin kau mati,” ujarnya singkat. “Bayangan memang diri kita yang lain, tapi bukanlah kita. Membunuhnya bukan berarti membunuh diri kita sendiri. Namun lain halnya kalau kita membunuh diri kita. Bayangan kita ikut mati. Ingat, bayangan yang ikut kita, bukan kita yang ikut bayangan.

Hei, kau lihat aku. Apa ada bayanganku?” Temanku ini berdiri dari duduknya. Ia berjalan hilir mudik di hadapanku.

Sungguh, aku kaget dibuatnya. Temanku tak mempunyai bayangan. Sementara bayanganku masih ada. Di sana, sambil melihat aku mengisap lintingan ganja. Akh, malu aku melihatnya, karena ia berusaha mengingatkanku bahwa apa yang kulakukan adalah jahat.

Mungkin selama ini aku terlalu fokus pada bayanganku saja sehingga tak memperhatikan bayangan temanku. Mungkin juga aku sudah dipengaruhi pendapat umum bahwa setiap orang memiliki bayangan.

“Dewasa ini banyak orang yang sudah kehilangan bayangannya. Mereka membunuhnya.”

Keesokan harinya aku berjalan-jalan di kota. Dan benar. Banyak orang tak memiliki bayangan. Di jalanan aku lihat orang-orang tanpa bayangan membakar seorang pemuda yang kedapatan mencuri. Di sebuah kantin, ketika aku duduk minum, aku lihat sepasang remaja duduk bermesraan sambil berpangkuan. Mereka tak mempunyai bayangan. Tangan si cowok sibuk menggeranyangi payudara si cewek, sementara si cewek diam menikmati. Ketika aku ke gedung KPK, seorang tersangka korupsi baru keluar dari gedung; dan aku tak melihat bayangannya. Bahkan banyak tokoh agama yang aku jumpai tak memiliki bayangan.

Di hari yang lainnya, aku melihat seorang gadis membuang janin hasil hubungan gelapnya ke selokan. Gadis itu tak mempunyai bayangan, sementara aku melihat bayangan janin itu. Di sebuah rumah kosong yang tak beratap, aku melihat sekelompok remaja berjumlah enam orang lagi asyik nyabu. Lima di antara mereka berseragam sekolah. Satunya tidak. Mereka memanggilku. Aku pun bergabung dengan mereka. Tak kulihat bayangan mereka di sana. Sementara bayanganku ada.

Ternyata benar apa yang dikatakan temanku, orang yang pertama kali memperkenalkan narkoba kepadaku. Banyak orang telah membunuh bayangannya. Mereka hidup tanpa bayangan. Tapi, bagaimana bisa membunuh bayangan?

“Bayangan adalah gambar yang diperoleh dari pantulan,” demikian jelas guru Fisika waktu SMA dulu. “Bayangan baru muncul jika ada cahaya terang.”

“Bayangan disebabkan oleh terang. Apakah bayangan itu identik dengan terang?” Tanya teman semejaku yang memang suka ilmu-ilmu alam.

“Mirip tapi tak sama. Sekalipun ia muncul karena terang, dia bukanlah terang itu.”

“Kenapa dalam gelap, bayangan tak kelihatan?”

“Apa warna bayangan?”

“Hitam.” Aku menjawab.

“Apa warna gelap?”

“Hitam.” Jawabku lagi.

“Nah, itulah jawabannya. Tadi saya sudah katakan bahwa bayangan dan terang itu mirip tapi tak sama. Bayangan itu hitam, namun ia muncul karena terang. Tapi bayangan bukanlah terang. Sedangkan gelap merupakan ketiadaan terang. Jadi, ketiadaan terang menyebabkan hilangnya bayangan.”

Eureka! Aku tersadarkan kini. Bayangan dapat dibunuh dengan meniadakan terang. Atau dengan kata lain, kita musti menimbulkan gelap. Kita harus mencintai kegelapan dan membenci terang. Wah, ternyata selama ini aku agak keliru. Selama ini aku hanya membenci bayangan saja, tapi masih tetap mencintai sumbernya. Padahal, jika aku membenci sumbernya, maka dengan sendirinya bayangan itu ikut terbenci. Dan bukan tidak mungkin, kebencian yang mendalam kepada terang membuat bayangan itu hilang.

Maka, sejak saat itu aku mulai membenci terang dan mencintai gelap. Aku mulai menggelapkan diriku. Aku mulai menggelapkan hidupku. Dan lihat, perlahan-lahan bayanganku hilang. Dan akhirnya aku tak punya bayangan lagi. Aku hidup seperti kebanyakan orang yang telah membunuh bayang-bayangnya. Kebanyakan orang yang hidup tanpa bayangan.

Dan hidup dalam gelap tanpa bayangan, membuat kegelapan itu menjadi biasa.
Pangkalpinang, 31 Juli 2014
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:


2.      Bila Punya Hati
4.      Diakon Yudas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar