MEMBUNUH BAYANG-BAYANG
Setiap manusia pasti
mempunyai bayang-bayang. Gak siang gak malam, asal ada cahaya benderang,
bayangan selalu muncul. Bayangan adalah diri kita dalam bentuk yang lain. Dan
ia selalu menyerupai kita atau mengikuti gerakan diri. Kita membungkuk, dia pun
membungkuk. Satu tangan kita angkat, bayangan pun mengangkat tangannya. Persis
tangan mana yang kita angkat. Dan bentuknya pun sama. Hanya warnanya saja yang
berbeda.
Aku tak tahu kenapa
bayangan-bayangan selalu mengikuti diriku. Kenapa manusia mempunyai bayangan?
Pertanyaan ini sampai pada pertanyaan yang tertuju kepada Tuhan. Kenapa Tuhan
menciptakan bayangan? Pertanyaan ini pernah aku tanyakan kepada Bu Yohana, guru
agama kami, waktu SMP dulu. Bukannya menjawab, dia malah mempertanyakan
pertanyaanku.
“Apakah bayangan itu
menganggumu?” Demikian tanya Bu Yohana.
“Nggak sih, Bu.”
“Lalu, kenapa kamu
pertanyakan?”
Nah loh, jadi bingung
sendiri. Jawab ya, pasti ditanya. Jawab tidak juga, ditanya. Dan semuanya sama
bingungnya.
Sebenarnya aku ingin
menjawab ya. Ya, bayangan itu mengganggu diriku. Sungguh mengganggu. Ia selalu
mengikutiku ke mana pun aku pergi. Waktu SD, aku dan teman-teman merokok di WC
sekolah, bayangan hadir di sana. Waktu aku SMP, ketika menyontek saat ujian, bayanganku ada juga di sana. Bahkan ketika aku mencuri uang OSIS,
yang dipercayakan kepadaku, bayanganku persis di sampingku. Aku merasa mereka
seperti melihatku, menegurku.
Karena selalu
mengawasiku, bayangan membuat aku risih. Ia telah membatasi kebebasanku. Aku
seakan seperti anak kecil saja. Karena itulah, aku sangat membenci bayangan.
Bukan bayanganku saja
yang kubenci. Bayangan orang lain juga. Ia mengingatkanku akan
kejahatan-kejahatan yang pernah kulakukan, yang dihadiri oleh bayanganku. Aku berpikir
bahwa mereka sama saja. Mereka pasti akan mengawasiku, sekalipun mereka
mengikuti tuannya.
“Kenapa tidak kau bunuh
saja bayangan itu?” Sebuah nasehat keluar dari mulut temanku, orang yang pertama
kali memperkenalkan narkoba kepadaku.
“Bayangan siapa yang
musti kubunuh?”
“Ya bayanganmu sendiri
lah!”
“Kalau kubunuh, apa aku
gak ikut mati?”
Spontan temanku itu
tertawa. Tapi ada tergambar ekspresi gemas di wajahnya. Mungkin terkait dengan
jawabanku yang terkesan konyol.
“Dasar bodoh! Mana
mungkin kau mati,” ujarnya singkat. “Bayangan memang diri kita yang lain, tapi
bukanlah kita. Membunuhnya bukan berarti membunuh diri kita sendiri. Namun lain
halnya kalau kita membunuh diri kita. Bayangan kita ikut mati. Ingat, bayangan
yang ikut kita, bukan kita yang ikut bayangan.
Hei, kau lihat aku. Apa
ada bayanganku?” Temanku ini berdiri dari duduknya. Ia berjalan hilir mudik di
hadapanku.
Sungguh, aku kaget
dibuatnya. Temanku tak mempunyai bayangan. Sementara bayanganku masih ada. Di
sana, sambil melihat aku mengisap lintingan ganja. Akh, malu aku melihatnya,
karena ia berusaha mengingatkanku bahwa apa yang kulakukan adalah jahat.
Mungkin selama ini aku
terlalu fokus pada bayanganku saja sehingga tak memperhatikan bayangan temanku.
Mungkin juga aku sudah dipengaruhi pendapat umum bahwa setiap orang memiliki
bayangan.
“Dewasa ini banyak
orang yang sudah kehilangan bayangannya. Mereka membunuhnya.”
Keesokan harinya aku
berjalan-jalan di kota. Dan benar. Banyak orang tak memiliki bayangan. Di jalanan
aku lihat orang-orang tanpa bayangan membakar seorang pemuda yang kedapatan
mencuri. Di sebuah kantin, ketika aku duduk minum, aku lihat sepasang remaja
duduk bermesraan sambil berpangkuan. Mereka tak mempunyai bayangan. Tangan si cowok
sibuk menggeranyangi payudara si cewek, sementara si cewek diam menikmati. Ketika
aku ke gedung KPK, seorang tersangka korupsi baru keluar dari gedung; dan aku tak melihat
bayangannya. Bahkan banyak tokoh agama yang aku jumpai tak
memiliki bayangan.
Di hari yang lainnya, aku melihat seorang gadis
membuang janin hasil hubungan gelapnya ke selokan. Gadis itu tak mempunyai
bayangan, sementara aku melihat bayangan janin itu. Di sebuah rumah kosong yang
tak beratap, aku melihat sekelompok remaja berjumlah enam orang lagi asyik
nyabu. Lima di antara mereka berseragam sekolah. Satunya tidak. Mereka memanggilku.
Aku pun bergabung dengan mereka. Tak kulihat bayangan mereka di sana. Sementara
bayanganku ada.
Ternyata benar apa yang
dikatakan temanku, orang yang pertama kali memperkenalkan narkoba kepadaku. Banyak
orang telah membunuh bayangannya. Mereka hidup tanpa bayangan. Tapi, bagaimana bisa
membunuh bayangan?
“Bayangan adalah gambar
yang diperoleh dari pantulan,” demikian jelas guru Fisika waktu SMA dulu. “Bayangan
baru muncul jika ada cahaya terang.”
“Bayangan disebabkan
oleh terang. Apakah bayangan itu identik dengan terang?” Tanya teman semejaku
yang memang suka ilmu-ilmu alam.
“Mirip tapi tak sama.
Sekalipun ia muncul karena terang, dia bukanlah terang itu.”
“Kenapa dalam gelap,
bayangan tak kelihatan?”
“Apa warna bayangan?”
“Hitam.” Aku menjawab.
“Apa warna gelap?”
“Hitam.” Jawabku lagi.
“Nah, itulah
jawabannya. Tadi saya sudah katakan bahwa bayangan dan terang itu mirip tapi
tak sama. Bayangan itu hitam, namun ia muncul karena terang. Tapi bayangan
bukanlah terang. Sedangkan gelap merupakan ketiadaan terang. Jadi, ketiadaan
terang menyebabkan hilangnya bayangan.”
Eureka!
Aku tersadarkan kini. Bayangan dapat dibunuh dengan meniadakan terang. Atau dengan
kata lain, kita musti menimbulkan gelap. Kita harus mencintai kegelapan dan
membenci terang. Wah, ternyata selama ini aku agak keliru. Selama ini aku hanya
membenci bayangan saja, tapi masih tetap mencintai sumbernya. Padahal, jika aku
membenci sumbernya, maka dengan sendirinya bayangan itu ikut terbenci. Dan bukan
tidak mungkin, kebencian yang mendalam kepada terang membuat bayangan itu
hilang.
Maka, sejak saat itu
aku mulai membenci terang dan mencintai gelap. Aku mulai menggelapkan diriku. Aku
mulai menggelapkan hidupku. Dan lihat, perlahan-lahan bayanganku hilang. Dan akhirnya
aku tak punya bayangan lagi. Aku hidup seperti kebanyakan orang yang telah membunuh
bayang-bayangnya. Kebanyakan orang yang hidup tanpa bayangan.
Dan hidup dalam gelap
tanpa bayangan, membuat kegelapan itu menjadi biasa.
Pangkalpinang,
31 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar