Selasa, 24 Juni 2014

(Pencerahan) Dialog Imaginatif Soal Korupsi, Negara & Gereja

GEREJA ADALAH BAGIAN DARI NEGARA

Umat       : Kalau kita membaca atau mendengar tulisan-tulisan dan kotbah Romo, sebagian besar darinya menyinggung soal korupsi. Kenapa?
Romo      : Salah satu masalah terbesar bangsa kita adalah korupsi. Di negara ini korupsi sudah menjadi budaya, merasuk ke semua sendi kehidupan. Masih ingat kan kasus korupsi pengadaan Al Quran? Hal keagamaannya saja sudah dikorup.
Umat       : Apa hubungannya dengan Gereja?
Romo    : Gereja merupakan bagian dari negara ini. Ingat kata-kata Mgr. Soegija, “100% Katolik, 100% Indonesia.”
Umat       : Tapi, apakah Gereja juga terlibat dalam korupsi? Bukankah Gereja itu kudus? Jadi, tak mungkin ada setan di sana.
Romo    : Sebelum saya menjawab itu, saya mau memberikan tafsiran bebas pernyataan Mgr. Soegija tadi. Dengan menjadi 100% Katolik, 100% Indonesia, maka masalah bangsa adalah juga masalah Gereja. Jika korupsi di negara sudah jadi budaya, maka demikian pula di Gereja. Kita adalah Gereja. Tapi Gereja itu kudus. Apakah Gereja, sebagai bagian dari bangsa, juga korup? Yesus pernah berkata kepada para rasul-Nya, “Kamu sudah bersih, hanya tidak semua.” (Yoh. 13: 10). Demikian juga Gereja. Tidak semua Gereja itu bersih. Masih ada koruptor di Gereja, baik yang dilakukan awan maupun imam.
Umat     : Jadi, dengan membersihkan Gereja dari penyakit korupsi, kita sudah berpartisipasi pada negara?
Romo    : Yupz! Saya berpikir, dengan bersih dari korupsi Gereja baru pas menyuarakan suara kenabian menentang korupsi.
Umat     : Apakah ada semacam kontradiktif?
Romo    : Semacam itu. Ironis. Gereja mengkritik korupsi yang terjadi di negara, sementara korupsi yang ada di Gereja semacam dibiarkan. Kita ibarat, apa yang dikatakan Yesus, melihat selumbar di mata orang lain sementara balok di mata sendiri tidak (Mat 7: 3). Kita harus berani bertindak seperti Paus Fransiskus. (Klik di sini dan juga ke sini)
Umat       : Dari mana kita memulai?
Romo      : Gereja terkenal dengan garis komando. Tak bisa dipungkiri. Karena menganut prinsip komando, ya mau tak mau harus dari pimpinan. Untuk tingkat keuskupan ada pada uskup. Untuk tingkat paroki ada di tangan pastor kepala paroki. Mereka-mereka inilah yang terlebih dahulu bergerak dalam pemberantasan korupsi di Gereja. Orang lain sering tak digubris. Pastor pembantu, sekalipun sering berteriak tentang transparansi, tapi jika pastor kepalanya tidak mau, maka tidak akan terjadi transparansi.
Kita ambil contoh di Vatikan. Pimpinan tertinggi di Vatikan adalah Bapa Paus. Ketika Paus Fransiskus menduduki takhta St. Petrus, beliau langsung bergerak memberantas korupsi yang ada di Vatikan, khususnya di Bank Vatikan, dengan mencanangkan transparansi. Hal ini terjadi karena Bapa Paus memiliki rasa tanggung jawab moral. Sudah seharusnya uskup dan para pastor kepala paroki juga demikian.
Sebagai pimpinan uskup harus mencanangkan transparansi keuangan keuskupan. Sebagai pimpinan di paroki, pastor kepala paroki harus mencanangkan transparansi keuangan paroki. Keuangan paroki jangan hanya diketahui oleh pastor kepala paroki dan bendaharanya saja.
Umat       : Kenapa masih saja ada pastor kepala paroki yang selalu menolak transparansi keuangan? Ada pastor paroki bahkan kepada rekan imamnya (pastor pembantu) saja tidak mau terbuka soal laporan keuangan paroki. Tanda apa ini?
Romo      : Transparansi keuangan merupakan ungkapan pertangungjawaban moral. Selain itu, transparansi juga merupakan salah satu sarana pencegahan korupsi. Kenapa ada pastor menolak transparansi keuangan? Silahkan simpulkan sendiri.
Bandung, 4 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar