PANTANG SESAAT vs PANTANG SEPANJANG HAYAT
Pada masa prapaskah umat katolik biasa melakukan pantang sebagai salah satu aksinya. Pantang adalah penolakan sesuatu yang menjadi kelekatan tiap
individu. Soal apa saja yang dapat dipantangi tergantung tiap-tiap orang,
karena tiap-tiap orang memiliki kelekatan dalam hidupnya yang berbeda satu
dengan yang lain.
Di sini kami akan menampilkan satu cerita pantang. Cerita ini
merupakan kisah fiksi, namun jamak terjadi di manapun. Karena itu, bila ada
kesamaan cerita, bukan maksud kami untuk mempromosi, melecehkan atau hal
lainnya. Alangkah bijak jika pembaca mencoba mencari maknanya dan mengaitkannya pada pantang yang lain.
Pada umumnya kaum pria punya kelekatan pada rokok. Karena
itu, sering terdengar ungkapan atau aksi penolakan selama masa prapaskah. Ada
banyak kaum Adam berjuang untuk tidak merokok selama masa prapaskah. Jika
bisanya sehari ia bisa menghabiskan 2 hingga 3 bungkus rokok, kini ada yang
hanya 2 hingga 3 batang rokok saja dalam sehari. Malah ada yang sama sekali
tidak merokok selama masa prapaskah (40 hari).
Tak sedikit pujian dilemparkan kepada mereka-mereka ini atas
keberhasilannya. Sebuah prestasi luar biasa. Tak jarang juga, ada yang lantas
membanggakan diri atas keberhasilannya tidak merokok selama 40 hari. Hal ini
dilihat sebagai kemenangan, sama seperti kemenangan Yesus mengalahkan godaan
setan di padang gurun. Kalau Yesus langsung dilayani oleh para malaikat, para
pemenang ini biasanya langsung mendapat hadiah rokok satu slop, entah itu dari
rekan, kenalan atau sahabat.
Akan tetapi, mari kita lihat apa yang terjadi setelah masa
prapaskah selesai. Tak sedikit dari mereka kembali ke pola hidup yang lama.
Bahkan ada juga, yang dalam beberapa bulan ke depan, melakukan “aksi balas
dendam” dengan menghabiskan rokok 5 hingga 6 bungkus sehari, sebelum akhirnya
kembali ke pola “normal”.
Inilah yang dinamakan “pantang sesaat”, yaitu melakukan
pantang hanya di saat masa prapaskah. Orang melakukan pantang pada masa
prapaskah, umumnya karena aturan. Bukankah pada masa prapaskah umat katolik
yang sudah dewasa wajib melakukan pantang. Karena aturan inilah, maka orang
berusaha mencari kelekatan dalam dirinya dan berusaha untuk dipantangi. Bagi
perokok, rokok adalah pantang yang wajib dilakukan.
Selain karena aturan, pantang pada masa prapaskah juga
dilakukan karena “tekanan” sosial. Pada masa prapaskah semua umat katolik wajib
berpantang. Tanpa disadari ada semacam kontrol sosial jika saya tidak melakukan
pantang. Orang sudah tahu kalau saya punya kelekatan dengan rokok. Oleh karena
itu, saya akan pantang rokok. Dan pasti orang cepat akan tahu, karena tidak
merokok dilihat sebagai sesuatu di luar kebiasaan saya. Ini terjadi di alam
bawah sadar kita.
Jadi selama masa prapaskah orang akan menekan hasrat untuk
merokoknya. Semakin kuat motivasinya, semakin kuat juga tekanannya. Namun
hasrat itu ibarat pegas. Semakin ditekan, semakin kuat daya dorongnya. Jika ditekan,
ia memang akan turun atau mengecil. Akan tetapi, jika dilepaskan, maka ia akan
mental kuat. Demikianlah dengan pantang rokok tadi. Selama masa prapaskah orang
hanya menekan hasrat merokoknya. Namun ketika masa prapaskah selesai, tak ada
lagi alasan untuk menekan hasrat itu, sehingga ia menendang ke permukaan,
bahkan dapat melewati batas normal.
Ada kesan usaha pantang sesaat ini kurang bernilai.
Alasannya, kita hanya menekan hasrat yang merupakan kelekatan tadi cuma untuk
waktu sesaat saja. Lepas dari waktunya, kita kembali kepada kelekatan tadi.
Padahal, jika memang kelekatan itu dirasakan buruk, bukankah lebih baik
kelekatan itu dihilangkan; minimal dikurangi.
Di sinilah kita membutuhkan pantang sepanjang hayat. Pantang
sepanjang hayat berarti kita menolak keletakan dalam diri kita sepanjang hayat.
Bukan lantas berarti pantang dalam masa prapaskah tidak dibutuhkan lagi.
Pantang pada masa prapaskah dijadikan sebagai batu loncatan untuk pantang
sepanjang hayat.
Misalnya, jika kita berhasil untuk tidak merokok selama masa
prapaskah (40 hari), maka itu merupakan langkah awal untuk memasuki pantang
sepanjang hayat. Mungkin tidak langsung menolak sama sekali. Mungkin sebungkus
rokok dihabiskan dalam sehari sebagai langkah awal untuk seminggu dan kemudian
sebulan. Bukan tidak mungkin, pada titik tertentu kita akan berhasil
menghentikan kelekatan tersebut.
Jadi, selepas masa prapaskah, bukannya kembali kepada
kenormalan pada kelekatan, melainkan kita memulai berjuang untuk meneruskan
pantang masa prapaskah. Sekalipun suatu saat kita jatuh, hal itu adalah wajar.
Yang penting kita bangkit lagi. Bukankah selama masa prapaskah kita sudah
merenungkan jalan salib, di mana Yesus jatuh sampai tiga kali, namun Ia bangkit
dan terus meneruskan perjalanan salib-Nya.
Jakarta, 16 Maret 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar