Minggu, 22 Desember 2013

Natal & Global Warming

Natal, bagi umat Kristiani, merupakan peristiwa iman. Dengan natal umat merayakan syukur atas Allah yang mau peduli pada nasib manusia. Kepedulian Allah itu terlihat dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia (inkarnasi). Allah mau mengangkat (baca: menyelamatkan) manusia dari lumpur kedosaanya. Untuk itulah Allah “turun” ke dunia “dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2: 7). Bagaimana hal ini bisa dipahami, tentulah sulit untuk dicerna akal manusiawi. Namun tidak secara imani. Karena itulah natal dikenal sebagai peristiwa iman.

Kapan persisnya Allah menjelma menjadi manusia (baca: kelahiran Yesus), tak ada satu orangpun yang tahu. Orang Kristen sepakat bahwa natal itu jatuh pada 25 Desember, mengambil tradisi kafir akan penghormatan dewa Matahari. Maka dari itu, setiap kali memasuki bulan Desember, selalu suasana natal langsung terasa. Hal itu terlihat dari ikon-ikon natal yang ada di mana-mana, khususnya di pusat-pusat perbelanjaan.

Natal kini sudah menjadi ajang konsumtivisme dunia. Dengan adanya ikon-ikon natal di setiap pusat-pusat perbelanjaan, seakan-akan ada seruan, “Mari, belanjalah!” Jelas, bahwa seruan ini telah menggantikan seruan Yohanes Pembabtis, yang selalu didengungkan pada adven pertama, “Persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.” (Mat 3: 3).

Yesus Lahir dalam Kesederhanaan
“Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” (Luk 2: 6 – 7).

Inilah sepenggal catatan sejarah kelahiran Yesus, yang hanya ada dalam Injil Lukas. Memang tidak ada keterangan rinci mengenai tempat kelahiran Yesus, namun Gereja mengakui kalau Maria melahirkan bayinya di dalam kandang hewan. Tak jelas juga apakah kandang itu bekas atau masih digunakan.

Apa yang mau dikatakan dari peristiwa ini? Yesus lahir dalam kesederhanaan. Tidak ada pesta, hingar bingar musik (kecuali kidung surgawi para malaikat) atau kelap-kelip kemilau lampu hias dan kembang api. Bayi Yesus lahir hanya dibungkus dengan kain lampin, bertemankan lenguhan sapi dan dengungan nyamuk malam; hanya cahaya pelita kecil dan jutaan cahaya bintang di angkasa. Sangat sederhana.

Itulah natal perdana. Kiranya pesan yang mau disampaikan adalah jelas, yaitu ajakan untuk hidup sederhana. Bukankah perayaan natal mengajak umat manusia untuk bersyukur atas Allah yang peduli terhadap manusia? Bersyukur merupakan salah satu wujud atau ciri khas orang sederhana. Orang yang sederhana adalah orang yang selalu bersyukur atas apa yang terjadi dalam hidupnya.

Dan kini orang Kristen mau mengenangkan natal awal itu dengan sebuah perayaan; dengan sebuah pesta. Sayangnya natal sekarang sungguh bertolak belakang dengan natal perdana. Manusia jaman sekarang lebih menitikberatkan pada aspek pestanya dari pada inti natal itu sendiri. Ditambah lagi dengan budaya hedonis dan semangat konsumtif, membuat makna natal itu menjadi kabur.

Natal dan Global Warming
Dewasa ini isu dunia yang hangat dibicarakan adalah masalah pemanasan global (global warming). Berbagai pertemuan diselenggarakan untuk membahas rencana pengurangan gas emisi yang menyebabkan efek rumah kaca. Dampak dari efek rumah kaca ini adalah pemanasan global dan perubahan iklim.

Kita sudah mengetahui kalau pemanasan global dan perubahan iklim ini dapat membawa akibat buruk bagi kehidupan di muka bumi ini. Mark Lynas, jurnalis dan penyiar acara lingkungan hidup asal Inggris, dalam bukunya Six Degrees: Our Future on a Hotter Planet, memberi gambaran rinci tentang dampak itu. Baginya, dampak terburuk yang bakal terjadi adalah kepunahan massal sekitar 95%. Inilah skenario “kiamat”, yang ironisnya karena ulah manusia sendiri.

Oleh karena itu, sejak munculnya isu pemanasan global ini, ada banyak seruan dan ajakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, baik dengan penanaman atau penghijauan maupun dengan pembatasan penggunaan bahan bakar fosil. Pembatasan penggunaan bahan bakar fosil misalnya dapat dilakukan dengan memilih berjalan kaki dari pada berkendaraan ke tempat yang dekat atau nebeng/menggunakan transportasi umum, penghematan pemakaian listrik, dll. Pemakaian ulang bahan-bahan tertentu juga diyakini bisa membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa seruan pengurangan emisi gas rumah kaca merupakan ajakan untuk kembali kepada pola hidup sederhana dan hemat. Pada bagian inilah pesan natal mengena. Seperti dahulu Yesus datang (baca: natal) untuk menyelamatkan manusia, natal kini mengajak kita untuk hidup sederhana dan berhemat demi penyelamatan bumi yang kita diami.

Selamat merayakan natal!!!

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar