Ajaran katolik tentang surga, api penyucian dan neraka
Sekedar diketahui saja, umat protestan hanya mengakui
adanya surga dan neraka. Mereka tidak menerima konsep adanya api penyucian.
Karena tidak mengakui adanya api penyucian, mereka melihat tidak perlu adanya
doa-doa untuk orang yang sudah meninggal atau ibadat peringatan arwah.
Alasannya adalah karena kedua paham itu (api penyucian dan doa untuk arwah)
tidak dibicarakan dalam Kitab Suci.
Seperti yang kita ketahui, sejak memisahkan diri dari
Gereja Katolik, Gereja-gereja Reformis hanya berlandaskan Kitab Suci dan Iman (Sola Scriptura dan Sola Fidei). Kitab Suci yang diakui mereka pun tanpa adanya
kitab-kitab Deuterikanonika, salah satunya adalah Kitab Makabe. Gereja Katolik
mengakui kedua paham itu berdasarkan pada Kitab Makabe dan ajaran Bapa-bapa
Gereja.
1. Apa itu Surga?
Kitab Suci menyebut surga sebagai
tempat kediaman Allah (1Raj 8: 30; Mzm 2: 4; Mrk 11: 25; Mat 5: 16; Luk 11: 15;
Why 21: 2), tempat kediaman para malaikat (Kej 21: 17; Luk 2: 15; Ibr 12: 22;
Why 1: 4), tempat kediaman Kristus (Mrk 16: 19; Kis 1: 9 – 11; Ef 4: 10; Ibr 4:
14) dan tempat kediaman orang-orang kudus (Mrk 10: 21; Flp 3: 20; Ibr 12: 22 –
24). Kitab Suci memakai gambaran-gambaran yang dapat ditangkap oleh manusia
dengan pengalaman hidupnya untuk menunjukkan kebahagiaan surgawi, antara lain
digambarkan sebagai Firdaus yang baru, kenisah surgawi, Yerusalem Baru, tanah
air sejati, Kerajaan Allah. Terlihat bahwa surga lebih banyak digambarkan
sebagai sebuah “tempat”.
Ketekismus Gereja Katolik (KGK) lebih
menekankan gambaran surga sebagai suatu kondisi kehidupan yang serba sempurna
jika dibandingkan dengan kehidupan manusia di dunia. Surga adalah persekutuan
kehidupan abadi yang bahagia, sempurna dan penuh cinta bersama Allah Tritunggal
Mahakudus, bersama Bunda Maria, para malaikat dan orang kudus. Surga merupakan
keadaan bahagia sempurna, tertinggi dan definitif yang merupakan tujuan
terakhir menjadi kerinduan terdalam manusia (KGK 1024).
Seperti apakah surga yang senyatanya?
Rupanya sulit bagi kita untuk menggambarkannya sekarang. Kita hidup dalam
ketidaksempurnaan, sedangkan gambaran surga memuat unsur-unsur yang serba
sempurna: damai sempurna, kasih sempurna, terang yang sempurna, kemuliaan dan
kebahagiaan yang sempurna, persatuan sempurna dengan Allah dan para kudusnya
dalam kehidupan kekal. Santo Paulus mengatakan dalam 1Kor 2: 9, "Apa yang tidak pernah dilihat oleh
mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di
dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi
Dia." (bdk KGK 1027).
2. Apa arti hidup di dalam surga?
“Hidup di dalam surga berarti ‘ada
bersama Kristus’. Kaum terpilih hidup ‘di dalam Dia’, mempertahankan atau lebih
baik dikatakan menemukan identitasnya yang sebenarnya, namanya sendiri” (KGK
1025).
3. Siapakah yang boleh masuk surga?
Yang boleh masuk surga adalah orang
yang mati dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah dan disucikan sepenuhnya.
Mereka akan hidup bersama dengan Kristus selama-lamanya dan diperkenankan memandang
Allah dalam keadaan yang sebenarnya (1Yoh 3: 2) dari muka ke muka (KGK 1023).
Memandang Allah dalam kemuliaan surgawi-Nya biasa disebut sebagai pandangan
yang membahagiakan (Visio beatifica).
4. Apa itu persekutuan para kudus?
Persekutuan para kudus (Lat: communio sanctorum) adalah persekutuan dari seluruh anggota Gereja
yang masih hidup di dunia ini dengan mereka yang sudah berada di surga dan juga
mereka yang ada di api penyucian. Dengan demikian anggota persekutuan para
kudus ini ada tiga kelompok, yaitu: mereka yang ada di bumi, di api penyucian
dan yang di surga (KGK 1475). Persekutuan ini dipersatukan sebagai Tubuh Mistik
Kristus.
Anggota Gereja yang masih hidup di
dunia bersama-sama saling membantu dalam mengupayakan kesucian hidup, melakukan
pekerjaan-pekerjaan baik dan mengakui iman yang sama. Anggota Gereja yang masih
di dunia ini menyatakan kesatuannya dengan para kudus di surga dengan cara
menghormati mereka, memohon bantuan doa-doa mereka, meneladan keutamaan hidup
dan kekudusan mereka sehingga mereka memperoleh rahmat Allah. Kesatuan dengan
jiwa-jiwa di api penyucian ditunjukkan oleh Gereja dengan mendoakan mereka dan
melakukan perbuatan silih serta perbuatan baik demi keselamatan mereka. Para
kudus di surga tetap ada dalam kesatuan dengan umat manusia yang sedang
berjuang menguduskan diri di dunia ini maupun di api penyucian.
5. Apa kata Konsili Vatikan II tentang jasa para kudus di
surga bagi kita di bumi ini?
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium
art. 49) mengatakan bahwa persatuan antara kita yang masih hidup di dunia
dengan para kudus di surga tidak terputus bahkan semakin diteguhkan. Mereka
yang telah bersatu dengan Kristus membantu penyempurnaan hidup para anggota
Gereja di dunia, menjadi perantara doa bagi kita. Sebagai saudara dalam
Kristus, para kudus di surga membantu kita yang masih ada dalam kelemahan.
6. Apa itu api penyucian?
Dalam Bahasa Latin, api penyucian
disebut purgatorium, yang berarti
pembersihan. Sebenarnya bahasa resmi Gereja tidak menyebut sebagai api, tetapi
hanya penyucian saja, artinya tahap terakhir dalam proses pemurnian sebelum
masuk surga. Munculnya ‘api’ mungkin dikaitkan dengan fungsi api itu sendiri
untuk memurnikan atau sebagai sarana untuk menguji (bdk 1Kor 3: 13; 1Ptr 1: 7;
Why 3: 18).
Dalam KGK 1030 dikatakan bahwa api
penyucian adalah keadaan yang harus dialami oleh orang yang meninggal dalam
rahmat dan persahabatan dengan Allah namun belum secara sepenuhnya disucikan.
Keselamatan abadi sudah jelas baginya, namun dia harus menjalani penyucian
untuk memperoleh kekudusan yang perlu agar diperkenankan masuk ke dalam
kebahagiaan surgawi. Dengan demikian api penyucian bukanlah tempat antara surga
dan neraka melainkan tempat antara bumi dan surga; sebagai proses untuk masuk
surga.
7. Siapakah yang akan masuk ke api penyucian?
Yang harus masuk api penyucian adalah
mereka yang belum siap masuk surga karena masih memiliki banyak cacat cela dan
akibat-akibat dosanya masih melekat. Mereka adalah orang yang meninggal dalam
rahmat dan persahabatan dengan Allah namun belum secara penuh disucikan. Mereka
bukanlah calon penghuni neraka, karena mereka yang sudah positif dan definitif
masuk neraka tidak perlu lagi mengalami api penyucian. Bagi mereka yang masuk
neraka tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan keselamatan. Lain dengan mereka
yang harus mengalami proses pemurnian di api penyucian. Sudah lama Gereja
mengajarkan adanya api penyucian. Namun rumusan secara resmi baru dinyatakan
dalam Konsili Florence (1439 – 1445) dan Trente (1545 – 1563). Lalu berapa lama
jiwa-jiwa haru berada di api penyucian? Sulit menjawabnya karena keadaan di api
penyucian tidak dapat dihitung menurut ukuran waktu kita di dunia.
8. Apa dasar Kitab Suci tentang api penyucian?
Dasar utamanya ada dalam Kitab 2
Makabe 12: 38 – 45 dan juga 1 Kor 3: 11 – 15. Injil Matius 5: 25 – 26; 12: 31 –
32 secara tidak langsung menyebut adanya api penyucian.
9. Apakah jiwa-jiwa di api penyucian perlu didoakan?
Jelas bahwa jiwa-jiwa di api
penyucian amat membutuhkan doa-doa kita yang masih hidup di dunia ini. Sudah
sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang meninggal dan
membawa doa dan terutama kurban ekaristi untuk mereka agar mereka disucikan dan
dapat memandang Allah dalam kebahagiaan.
Gereja juga menganjurkan amal,
indulgensi dan karya penitensi demi orang-orang meninggal (KGK 1032). Jiwa-jiwa
di api penyucian akan dapat ditolong lewat doa-doa, amal atau silih yang
dilakukan, serta belas kasih Allah. Santo Yohanes Krisostomus berkata, “Baiklah kita membantu mereka dan
mengenangkan mereka. Jika anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang
dibawakan oleh ayahnya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita
bisa membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu
orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.” Konsili Lyons II
(1274) dan Konsili Florence (1438 – 1445) mengajarkan dengan jelas tentang
pemurnian setelah kematian dan pentingnya pemurnian itu.
10.
Apa itu neraka?
Neraka adalah keadaan pengucilan diri
secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus (KGK
1033). Penderitaan neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan
Allah (KGK 1035). Mengapa adanya perpisahan itu? Alasannya adalah bahwa orang
itu menolak tawaran rahmat belas kasih Allah. Penderitaan jiwa-jiwa di neraka
akan berlangsung selama-lamanya. Kitab Suci memakai gambaran simbolik tentang
neraka, yaitu bagaikan “perapian yang menyala-nyala”, “api yang tak
terpadamkan”. Tradisi Gereja menyebut neraka sebagai tempat atau keadaan di
mana setan-setan dan para pendosa yang tidak bertobat menderita untuk
selama-lamanya (Denzinger 1002).
Paham mengenai neraka saat ini lebih menekankan segi keterpisahan secara
definitif dari persekutuan dengan Allah, yang berlangsung selamanya. Dalam arti
inilah kehidupan dalam neraka merupakan suatu penderitaan. Gereja mengajarkan
bahwa ada neraka dan bahwa neraka itu berlangsung untuk sepanjang segala masa.
11.
Siapakah yang masuk neraka?
Mereka yang masuk neraka adalah orang
yang dengan suka rela memutuskan untuk tidak mencintai Allah, mereka yang
berada dalam dosa berat tanpa menyesalinya dan menolak belas kasih Allah, tidak
mau mengasihi sesama lebih-lebih kaum lemah, mengingkari Tuhan dengan suka
rela. KGK 1035 menyatakan, “Jiwa
orang-orang yang mati dalam keadaan dosa berat, masuk langsung sesudah kematian
ke dunia orang mati, di mana mereka mengalami siksa neraka, ‘api abadi’.
Penderitaan neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan Allah;
hanya di dalam Dia manusia dapat menemukan kehidupan dan kebahagiaan, karena
untuk itulah ia diciptakan dan itulah yang ia rindukan.” Namun demikian,
Tuhan tidak pernah menentukan lebih dahulu siapakah yang akan masuk neraka.
Penderitaan di neraka berpangkal dari suatu pilihan bebas. Tidak ada seorang
pun ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan supaya masuk ke dalam neraka; hanya
pengingkaran secara suka rela terhadap Tuhan (dosa berat, bandingkan dengan
dosa menghujat Roh Kudus dalam Injil Matius 12: 31), di mana orang bertahan
sampai akhir, mengantarnya ke sana (KGK 1037).
12.
Apa maksud Gereja dengan pengajaran tentang
neraka?
Gereja mengajarkan adanya neraka dengan maksud untuk memperingatkan
umatnya agar memakai kebebasannya dengan bertanggung jawab dalam hubungannya
dengan nasib abadinya di saat nanti. (KGK 1036). Bukan maksud Gereja untuk
menakut-nakuti, tetapi tujuannya adalah untuk mengajak orang katolik supaya
bertobat. Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium [48] mengajarkan, “karena
kita tidak mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga
terus-menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya
satu kali saja (lih. Ibr 9:27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta
pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati (lih. Mat 25: 31-
46), dan supaya janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas (lih. Mat
25:26) diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal (lih. Mat 25:41), ke dalam
kegelapan di luar, di temapat ‘ratapan dan kertakan gigi’ (Mat 22:13 dan
25:30).”
by: adrian, dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar