Jumat, 14 Desember 2012

Pengembangan Paroki



Inovasi & Pastoral


Pelaku pencurian ikan di wilayah Indonesia bisa kita kejar, tangkap dan larang karena nyata-nyata bisa dibuktikan. Namun bagaimana dengan pencurian ide atau menjaga hal-hal yang bersifat tidak teraga seperti seni dan budaya, misalnya klaim tarian “mirip Tor-Tor”? Dalam bisnis hiburan, kita kerap melihat lagu dan film ditiru habis-habisan, dibajak dan diperbanyak. Dengan semakin canggih dan murahnya perkembangan teknologi, kita memang makin sulit mengontrol dan menghukum pencurian ide serta pembajakan karya cipta. Perusahaan-perusahaan besar memang bisa bekerja sama dengan aparat untuk menangkap pencuri perangkat lunak. Namun bagaimana dengan musisi yang tidak punya modal untuk mempersenjatai diri mengejar pencuri idenya? Kita bisa prihatin bahwa buah pikiran dan hasil karya seolah tidak dihargai. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Orisinalitas sudah tidak lagi menjadi satu-satunya kunci inovasi.

Seorang artis terkemuka yang sudah memproduksi sejumlah album mengatakan bahwa kini ia membiarkan musiknya dibajak. Ia bahkan menggratiskan orang untuk men-download karya musiknya melalui situs yang dibangunnya dengan sengaja. Tidakkah ia sadar bahwa dirinya dirugikan? Musisi ini hanya menjawab singkat, “Inilah cara pemasaran yang baru, bukan dengan menjual CD-nya lagi.” Kita lihat bahwa cara pemasaran dan cara menjual hak cipta pun sekarang sudah berganti gaya.

Perkembangan teknologi dan ekonomi diikuti dengan krisis sungguh memacu kita untuk berpikir keras mencari jalan keluar. Produk perangkat keras semakin sulit bersaing dengan perangkat lunak. Sebaliknya, bila kita pandai mengemas nilai tambah, misalnya dengan membuat kemasan yang apik dari produk atau jasa yang kita hasilkan, keuntungan berlipat ganda bisa diraih tanpa menambah modal besar. Kita memang musti berani berbeda kerena differences sangat penting untuk membuat produk dan jasa kita berharga tinggi, bahkan berlipat-lipat. Tanpa inovasi terus menerus, mustahil kita bisa unggul dalam bersaing.

Sikap Rendah Hati dan Mendengar
Penelitian oleh Marshall School of Business, London Business School, University of Illionis dan Northwestern University menemukan bahwa para pemimpin perusahaan sering merasa bahwa merekalah yang terpandai dalam membuat keputusan sehingga setiap ide inovasi harus melalui saringan satu kepala, yaitu si pemimpin. Padahal, hasil penelitian membuktikan bahwa pemimpin yang efektif dan inovatif justru pemimpin yang mengumpulkan orang-orang yang kritis dan siap memberi umpan balik dan masukan terhadap praktek-praktek perusahaan, lembaga atau negara. Seorang pemimpin tidak perlu mengeluarkan “power”nya untuk menggerakkan inovasi. Sebaliknya, sikap rendah hati penting dimiliki untuk menumbuhkan spirit inovasi. Secara logis kita bisa membayangkan bahwa di bawah tekanan, ide-ide cemerlang tidak bakal muncul. Suasana kritik mengkritik yang positif, serta tantang menantang ide perlu digalakkan. Kita bahkan perlu mengembangkannya spirit “jawaban belum tentu ada di pihak kita” sehingga semangat mencari tahu, mendengar orang lain, terutama mendengarkan pelanggan terus digalakkan.

Pelanggan sebagai Sumber Inspirasi
Bila kita mau jujur, sering kali kita takut berhadapan dengan pelanggan kita sendiri. Saat seorang nasabah super penting mengomplain jasa sebuah bank, para direksi bank tersebut mengatakan bahwa mereka merasa tidak punya kekuatan untuk bisa menghadapi nasabah tersebut. Ya, pelanggan penting memang perlu kita hormati. Servis yang kita berikan juga perlu konsisten dan stabil. Namun kita tidak bisa melupakan bahwa pelanggan penting ini punya kebutuhan yang berkembang dari waktu ke waktu. Bisa jadi, ia mempunyai ide-ide yang membuka peluang bagi kita untuk berinovasi. Kita memang harus selalu menumbuhkan keyakinan bahwa pelanggan adalah sumber inspirasi bagi kita. Untuk bisnis yang baru mulai berjalan, keyakinan ini bisa mudah dipraktikkan. Namun untuk perusahaan yang bisnisnya sudah besar dan sukses, ketakutan untuk bergerak dan berubah sesuai dengan keinginan pelanggan sering enggan dimulai. Meski hal ini sangat manusiawi, kita perlu sadar bahwa berdiam diri adalah sikap bunuh diri yang tidak bisa kita implementasikan. Perusahaan mempunyai pilihan untuk mendengar ide dan kebutuhan pelanggan atau ditinggalkan pelanggan karena servis yang ada sudah tidak memadai lagi.

Berpikir Riset
Era perang servis semakin dirasakan. Kita tak bisa menunda inovasi servis, baik itu dalam pengembangan produk, proses, juga terhadap “people” alias tim internal kita sendiri. Bila kita melakukan benchmark terhadap perusahaan dengan kualitas world-class, baik itu Google, Zappos atau Southwest Airlines, kita akan melihat bahwa mereka selalu memikirkan inovasi untuk mengembangkan tim dan membuat orang-orang yang bekerja di perusahaan itu happy dan engaged. Bila kita serius meningkatkan kualitas dan produktivitas, kita tidak bisa lagi melihat inovasi sebagai sesuatu yang asing dan berjarak, tetapi harus kita adopsi sebagai bagian dari diri kita, mentalitas kita.

Inovasi yang baik sulit terjadi bila kita tidak mengasah mindset riset. Sudah waktunya pelaku servis mengembangkan sistematika berpikir, pembuatan prototipe dan melakukan proses trial seperti halnya perusahaan yang membuat produk perangkat keras. Seluruh karyawan perlu didorong untuk senantiasa mencari tahu apa saja yang bisa meningkatkan servis. Tantangan ini bahkan bisa sekaligus meningkatkan kekompakan front office dan bacj office karena kesamaan tujuan untuk memperbaiki servis pada pelanggan.

Prototipe atau ide yang muncul dapat kita implementasikan dalam sebuah setting laboratorium, kita coba dan kita ukur dampaknya. Kegiatan prototyping ini perlu dilakukan dengan intensif, cepat dan teliti, mengingat biaya bersaing yang semakin lama semakin ketat. Bila keterlibatan karyawan dan manajemen puncak dalam kegiatan riset ini sudah semakin meluas, perusahaan bis amelihat inovasi demi inovasi mengalir di seantero perusahaan. Bila ini terjadi, barulah kita bisa mengkalim diri sebagai perusahaan yang inovatif. Bayangkan saja, betapa makmurnya negara kita, bila ada 50 persen perusahaan-perusahaan inovatif di Indonesia.

Refleksi Buat Paroki
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan bahan permenungan buat pengembangan sebuah paroki.

1.     Tulisan di atas mau mengatakan bahwa kita dapat maju jika kita berani meninggalkan sesuatu yang lama dan beralih kepada sesuatu yang baru. Hal yang sama juga dengan pengembangan paroki. Pastor paroki bersama umat harus berani menemukan cara atau hal baru dalam berpastoral. Jika menemukan sesuatu yang baru yang dirasakan baik dan berguna bagi pengembangan paroki, maka sesuatu itu harus diterima dan dijalankan. Yang penting sesuatu itu tidak bertentangan dengan iman dan kebijakasanaan keuskupan.

Untuk itu pastor paroki harus memiliki inisiatif pribadi dalam mencari dan menemukan gagasan baru. Tentulah setiap pastor memiliki “otak” sendiri yang darinya bisa digunakan untuk berpikir. Amat sangat disayangkan jika pastor berjalan dengan menggunakan “otak” orang lain. Jangan takut salah. Dalam pengembangan karya pastoral, cara try and error dalam diterapkan. Yang penting selalu diadakan evaluasi.

2.     Hendaklah pastor paroki memiliki sikap rendah hati dan mau mendengarkan. Yang didengarkan ini adalah rekan sekerja dan juga umat. Orang yang mau mendengarkan adalah orang yang rendah hati. Pastor paroki jangan merasa tersaingi bila rekan kerja atau umat menyampaikan usul saran atau bahkan pandangan kritis. Pastor paroki jangan merasa bahwa pendapat atau gagasannya adalah yang paling benar. Gagasan itu harus rela diuji dan dikritisi oleh rekan kerja dan umat.

Karena itu, adalah suatu keprihatinan jika pastor paroki selalu memaksakan kehendaknya (gagasan) sendiri, sekalipun gagasannya kurang baik. Malah ada pastor paroki yang berusaha mempertahankan gagasannya dengan membawa atau mengatas-namakan institusi tertinggi, misalnya uskup atau keuskupan. Sikap seperti ini dapat menghambat perkembangan karya pastoral.

Jangan takut dengan perbedaan pendapat. Justru perbedaan pendapat itu menunjukkan dinamika kehidupan. Dengan adanya perbedaan pendapat, kita dapat melihat sesuatu dari berbagai macam sudut pandang. Oleh karena itu, Suasana kritik mengkritik yang positif, serta tantang menantang ide perlu digalakkan.

3.     Jadikanlah umat sebagai sumber inspirasi. Jangan merasa diri hebat. Kebanyak pastor merasa dirinya super sehingga menganggap remeh umat. Ke-super-annya membuat dirinya tidak menemukan sesuatu yang baik dan benar pada diri umat. Padahal ada begitu banyak hal dari umat yang bisa digunakan untuk karya pastoral.

Oleh karena itu, sangat dibutuhkan dalam diri pastor kemampuan untuk mendengarkan suara umat. Untuk itu, sikap yang harus ditumbuhkan adalah sikap rendah hati.

oleh: adrian
sumber: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS, 23 Juni 2012, hlm 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar