Bidaah
Masa Paus Leo Agung
Pada masa kepemimpinan Paus Leo I atau dikenal juga sebagai
Leo Agung, ada banyak bidaah yang menyebarkan ajaran sesat yang menyimpang dari
ajaran iman resmi Gereja. Paus Leo Agung berjuang keras melawan mereka dibantu
beberapa tokoh-tokoh lainnya. Berikut ini adalah para bidaah itu dengan
ajarannya.
Pelagianisme
Pelagianisme dikembangkan oleh Pelagius. Sedikit sekali
informasi yang dapat diketahui mengenai kehidupan Pelagius. Meskipun dia kerap
disebut sebagai seorang rahib, namun hal itu tidak memberi kepastian bahwa dia
memang adalah seorang rahib. Agustinus mengatakan bahwa dia hidup di Roma
"dalam waktu yang sangat lama," dan bahwa dia berasal dari kepulauan Inggris.
(Santo Heronimus menduga dia adalah seorang warga Skotlandia atau mungkin saja
dari Irlandia). Yang pasti, dia terkenal di provinsi Romawi, baik karena
kehidupan publiknya yang dijalaninya dengan matiraga-keras, maupun karena
kekuatan dan persuasivitas dari khotbahnya. Sampai saat gagasan-gagasannya yang
lebih radikal tercuat ke depan publik, bahkan tokoh-tokoh yang disebut sebagai
sokoguru Gereja seperti Agustinus pun menyebutnya sebagai “orang suci.”
Pelagius mengajarkan bahwa kehendak manusia, dibarengi
perbuatan-perbuatan baik dan kehidupan bermatiraga secara ketat, cukup untuk
menjalani suatu kehidupan tanpa dosa. Dia mengatakan kepada para pengikutnya
bahwa tindakan yang benar dari pihak manusia adalah segala-galanya yang
diperlukan untuk mencapai keselamatan. Bagi dia, rahmat Allah hanyalah
keuntungan tambahan; berguna, namun tidak esensial. Pelagius tidak percaya akan
dosa asal, namun mengatakan bahwa Adam telah mengutuk umat manusia dengan
teladan yang buruk, dan bahwa teladan baik Kristus menawarkan bagi kita suatu
jalan menuju keselamatan, bukan melalui pengorbanan, melainkan melalui
pengarahan kehendak. Heronimus bangkit sebagai salah seorang kritikus utama
terhadap Pelagianisme, karena, menurut Heronimus, pandangan Pelagius secara
mendasar mendustai karya Sang Mesias; dia secara pribadi lebih menyukai kata
“pengajar” atau “guru” sebagai ganti sebutan apapun untuk kuasa ilahi.
Pelagianisme adalah faham yang meyakini bahwa dosa
asal tidak merusak hakikat manusia (yakni hakikat ilahi, karena manusia diciptakan
dari Allah) dan bahwa dengan kehendaknya yang fana manusia masih sanggup untuk
memilih yang baik atau yang buruk tanpa pertolongan ilahi. Dengan demikian,
dosa Adam "memberikan teladan yang buruk" bagi keturunannya, namun
tindakan-tindakan Adam tidak mengandung konsekuensi-konsekuensi lain yang
dihubung-hubungkan dengan dosa asal. Dari sudut pandang Pelagianisme, peran Yesus
adalah "memberikan suatu teladan yang baik" bagi seluruh umat manusia
(dengan demikian adalah kebalikan dari teladan buruk Adam).
Singkatnya, manusia
sepenuhnya memegang kendali, dan oleh karena itu sepenuhnya bertanggung jawab,
atas keselamatannya sendiri selain itu juga sepenuhnya bertanggung jawab
atas tiap dosa yang diperbuatnya ("sepenuhnya bertanggung jawab atas tiap
dosa" ditekankan baik oleh pendukung maupun penentang Pelagianisme).
Menurut Pelagianisme, oleh karena manusia tidak lagi memerlukan rahmat Allah di
luar kreasi kehendaknya maka Sakramen Baptis tidaklah mengandung kualitas redemptif
(pengampunan dosa) sebagaimana yang diajarkan oleh kaum Kristiani yang
ortodoks.
Pelagianisme ditentang oleh Santo Agustinus dari Hippo, yang
mengajarkan bahwa keselamatan seseorang itu terjadi semata-mata melalui rahmat
Allah, dan hanya oleh kehendak Allah untuk menganugerahkannya bagi siapapun
yang dipilih-Nya, tanpa perlu partisipasi dari pihak yang bersangkutan. Ajaran
Agustinus mengakibatkan dikutuknya Pelagianisme sebagai suatu ajaran sesat dalam
beberapa sinode lokal. Pelagianisme dikutuk pada tahun 416 dan 418 dalam
konsili-konsili Kartago. Pengutukan-pengutukan ini secara ringkas disahkan
dalam Konsili Efesus pada tahun 431, meskipun bukan tindakan utama dari konsili
itu. Pelagianisme sebagai suatu gerakan bidaah yang terstruktur lenyap selepas
abad ke-6 namun gagasan-gagasan pokoknya terus-menerus menimbulkan perdebatan.
Thomas Bradwardine (1290 – 26 Agustus 1349), Uskup Agung
Canterbury, dalam De causa Dei contra Pelagium et de virtute causarum
menolak faham Pelagian pada abad ke-14, dan Gabriel Biel melakukan tindakan
yang serupa pada abad ke-15.
Manicheisme
Aliran Manicheisme dikembangkan oleh seorang yang bernama
Mani. Ia lahir di Persia sekitar tahun 215. Tidak banyak informasi yang dapat
diketahui tentang orang ini. Yang jelas ia menganggap dirinya mengikuti nabi-nabi
Perjanjian Lama, Zarathrustra, Buddha dan Yesus dengan menggabungkan
unsur-unsur ajaran Zoroastrianisme, Buddhisme, Gnotisisme dan Kristianisme. Dengan
ajarannya ini manusia dapat membebaskan diri dari benda dan kegelapan. Ajaran ini
disertai dengan mati raga yang keras. Ia disebarkan melalui kegiatan misioner
yang giat ke India, Cina, Italia, Afrika Utara, dan bagian lain dari kekaisaran
Romawi.
Priscillianisme
Priscillian digambarkan sebagai pria bangsawan yang memiliki
kekayaan besar, berani, gelisah, fasih, belajar melalui banyak membaca, sangat
siap dalam debat dan diskusi. Pengikutnya yang pertama adalah seorang wanita bernama Agape dan seorang retorik bernama Helpidius. Melalui kharisma bicaranya dan reputasi dalam asketisme ekstrim ia menarik banyak pengikut, termasuk dua uskup: Instantius dan Salvianus. Sekte baru ini menjadi menarik perhatian Hyginus, uskup Codoba, Hydatius, uskup Emerita dan Ithacius dari Ossonoba. Para uskup dari Hispania dan Aquitaine ini kemudian mengadakan sinode di Zaragoza tahun 380. Meski dipanggil, para priscillian menolak untuk hadir, dan sinode menjatuhkan hukuman ekskomunikasi terhadap empat pimpinannya: Instantius, Salvianus, Helpidius dan Priscillian.
Ithacius dipilih untuk menegakkan keputusan sinode, tetapi ia
gagal membawa bidaah itu untuk berdamai. Ithacius kemudian mengajukan banding ke otoritas kekaisaran. Kaisar Gratian mengeluarkan dekrit yang menghukum para priscillian dalam pengasingan. Mereka meminta bantuan Paus Damasus I di Roma, namun ditolak. Mereka pergi ke Milan untuk membuat permintaan yang sama kepada St Ambrosius, namun hasilnya sama.
Melalui intrik dan suap di Pengadilan dengan sukses mereka dibebaskan
dari hukuman pengasingan. Mereka juga diizinkan untuk mendapatkan kembali
kepemilikan dari gereja-gereja mereka di Hispania, serta mereka memaksa
Ithacius untuk meninggalkan negara itu.
Setelah kematian Priscillian, para pengikutnya meningkat. Paulus Orosius, seorang imam Galikan dari Barat Laut Hispania, menulis kepada St Agustinus (415) untuk meminta bantuannya dalam memerangi ajaran sesat. Paus Leo I mengambil langkah tegas dan aktif untuk menghadang aliran sesat ini.
Landasan doktrin Priscillianisme adalah Gnostik
Manichaean, yaitu keyakinan akan adanya
dua kerajaan, Kerajaan Cahaya dan Kerajaan Kegelapan. Malaikat dan jiwa
manusia dipisahkan dari substansi
Ketuhanan. Jiwa manusia yang dimaksudkan untuk menaklukkan
Kerajaan Kegelapan, tapi jatuh dan dipenjara
dalam tubuh materi. Keselamatan manusia terdiri
pembebasan dari dominasi materi.
Doktrin-doktrin ini bisa diselaraskan dengan ajaran
Alkitab hanya oleh sebuah sistem yang kompleks penafsiran,
menolak interpretasi konvensional dan mengandalkan ilham pribadi. Para Priscillian
menerima sebagian besar Perjanjian Lama,
tetapi menolak kisah penciptaan. Beberapa Kitab Suci apokrif
diakui sebagai asli dan terinspirasi. Karena Priscillian
percaya bahwa materi dan alam yang jahat,
mereka menjadi pertapa dan berpuasa pada hari Minggu dan Hari Natal. Karena doktrin
mereka esoteris dan
eksoteris, dan karena itu percaya bahwa laki-laki
pada umumnya tidak bisa memahami jalan yang lebih tinggi atau setidaknya mereka dari mereka yang tercerahkan, diizinkan
untuk berbohong demi akhir suci. Agustinus
menulis sebuah karya yang
terkenal, "Contra Mendacium"
("Melawan Berbohong") sebagai reaksi terhadap doktrin ini.
Monofisitisme
Monofisitisme (berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata, yaitu mono yang berarti satu dan phusis
yang berarti kodrat). Monofisit adalah ajaran yang diklaim sebagai ajaran
bidaah oleh Konsili Kalsedon pada tahun 451. Aliran ini memahami bahwa, Kristus
hanya memiliki satu kodrat, yaitu kodrat ilahi.
Monofisit melihat bahwa tabiat yang
Yesus miliki hanyalah tabiat tabiat yang satu dan kudus (ilahi). Terdapat dua
doktrin utama dalam monofisit:
1. Eutychianisme
meyakini bahwa kodrat manusiawi dan ilahi pada Kristus tergabung menjadi suatu
kodrat yang tunggal: kodrat kemanusiannya telah hilang seperti memasukan madu
ke dalam laut.[4] Sesuai dengan nama alirannya, tokohnya
adalah Eutykhes seorang rahib di biara arkimandrit di Konstantinopel.
2. Apollinarisme mempercayai
bahwa Kristus memiliki tubuh dan dasar hidup manusiawi, tetapi Logos Ketuhanan
telah mengambil tempat nous, atau "dasar pemikiran", dapat
dianalogikan tetapi tidak identik dengan akal.
Cyrillus adalah seorang uskup Aleksandria yang setuju bahwa
iman akan inkarnasi Allah hanya terjamin jika communicatio idiomatum
diterima tanpa syarat dan gelar Theotokos diberikan kepada bunda Maria,
maka akibat ini perhatian Cyrillus tertuju pada soteriologis. Ia menaruh
perhatian, sekaligus menentang pandangan soteriologis dan pemahaman kodrat
Yesus yang dipahami oleh Nestorius. Komentar Cyrillus pada ekaristi Nestorius
yang menurutnya dalam ekaristi yang hadir di altar hanyalah tubuh manusia,
sehingga daya ilahi tidak ada. Bertolak dari keprihatinan inilah, Cyrillus
menegaskan bahwa Logos, ilahilah yang menjelma ke dalam Yesus Kristus.
Ia meleburkan kedua kodrat demi kesatuan subjek, yaitu kodrat ilahi pada Yesus
Kristus. Maka ajaran ini juga diteruskan oleh Rahib Eutykhes.
Yustianus adalah seorang yang dikenal sekali karena
keorthodoksannya. Ia seorang kaisar yang memerintah di Byzantium (527-565).
Dalam masa pemerintahannya, Yustianus dikenal sebagai kaisar yang tidak mau
tunduk pada siapapun, bahkan setiap uskup baik dari gereja Timur ataupun Barat
harus mematuhi setiap keputusan-keputusannya. Keorthodoksan dan kerasnya
pemerintahan Yustianus, membuat ia mengawasi dengan sangat ketat setiap
penyimpangan terhadap Kristen Orthodoks. Selama pemerintahan Yustianus, ia
mengangkat sebuah undang-undang baru yang salah satu penekanannya adalah
mengagungkan kekuasaan kaisar, menekankan juga pengaruh besar dari bapak-bapak
gereja dan uskup di seluruh wilayah kekaisarannya, karena inilah akhirnya
pengaruh gereja mencapai puncaknya di wilayah Timur. Selain kejayaan dalam masa
kekaisarannya, Yustianus juga terpengaruh oleh karakter Kontantinus dalam
usahanya mengembalikan kemuliaan kekaisaran yang murni. Maka usaha ini didukung
oleh isterinya, yaitu Ratu Theodora yang dikenal sebagai pendukung Monofisit
yang teguh. Atas dukungan besar dari isterinya untuk merebut kembali Afrika
Utara, Italia, Sardinia, Sisilia, dan Spanyol bagian Selatan dan juga usaha
untuk menyatukan kelima uskup, yaitu: Roma, Konstantinopel, Anthiokhia,
Aleksandria, dan Yerusalem dilihat sebagai pengaruh besar yang membuat
Yustianus akhirnya menerima Monofisit.
Setelah pisah dari gereja resmi
melalui Konsili Kalsedon dan berdiri sendiri terjadi juga berbagai pandangan
dalam kalangan Monofisit sendiri. Golongan itu adalah:
1. Golongan
Yulianis atau dikenal dengan Aphthartodocetae yang mengajarkan bahwa
tubuh Kristus tidak dapat binasa sejak inkarnasi.
2. Golongan Theopaschitisme
yang muncul pada abad VI yang mengajarkan bahwa dalam inkarnasi Yesus, Allah
sesungguhnya ikut menderita. Ajaran ini dipelopori oleh Yohanes Maxentius.
by:
adrian, dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar