Rabu, 11 Juli 2012

Membangun Sikap Atensi


ATENSI

Begitu banyak masalah bisa timbul bila kita “kurang perhatian”. Para ahli jiwa sering membicarakan anak-anak yang nakal atau punya masalah emosional akibat tidak mendapat perhatian cukup dari orang tua. Dari sini kita sadar ternyata perhatian sangat penting untuk perkembangan jiwa manusia. Dalam relationship,  banyak istri atau suami yang mengeluhkan kurangnya perhatian dari pasangannya sebagai alasan rumah tangga yang tidak harmonis. Di perusahaan atau lembaga, kita terbiasa melihat orang yang tidak menyimak atau sibuk sendiri ketika orang lain sedang menyampaikan sesuatu sehingga terus menerus terjadi mis-komunikasi atau informasi dan arahan kerap salah diterima. Banyak situasi saat pemimpin tidak memperhatikan gerak-gerik dan cara anak buah melakukan pekerjaan sehingga yang berprestasi tidak diapresiasi, permasalahan tidak cepat diselesaikan, bahkan kepercayaan bisa luntur. Demikian banyaknya gejala kurang perhatian di sekitar kita sehingga akhirnya kita sendiri cenderung memaklumi hal ini.

Dalam sebuah perusahaan, gejala tidak menaruh perhatian terlihat dari tidak terbiasanya orang membaca data dan menginterpretasikannya baik-baik, sebelum berkomentar. Sebagai akibat, perusahaan kehilangan kultur “pendalaman” dan riset, banyak komunikasi tidak menyentuh pokok persoalan utama, dan sering kali keputusan diambil dengan meraba-raba, bahkan tanpa dasar sama sekali.

Banyak alasan kita untuk tidak serius memberi perhatian atau mengupayakan pemahaman terhadap suatu isu, salah satunya adalah tidak adanya cukup waktu untuk membaca, memahami dan menganalisa suatu gejala. Padahal, Albert Einstein mengungkapkan, “We cannot work to improve something we do dot understand. We first need to understand what makes us tick”. Bayangkan bila kita menjadikan sikap tidak terbiasa memberi perhatian sebagai suatu kebiasaan, betapa banyak kesempatan pengembangan yang hilang, betapa “kering”-nya emosi kita dan betapa dangkalnya pemikiran bahkan kehidupan kita. Apa jadinya masyarakat dan kehidupan bila kebiasaan tidak memberi perhatian ini kita suburkan.

Bertanya vs Mempertanyakan

Banyak orang yang cukup berpendidikan, bahkan menyandang gelar S2 atau S3 yang tampak tidak menggunakan daya pikirnya dengan optimal. Hal ini sering terlihat dari tidak kuatnya mereka dalam menjelaskan gejala dan kelemahan dalam menggunakan latar belakang pendidikan, pengalaman atau pengetahuannya untuk menjelaskan dan mengaitkan gejala baru dengan gejala yang baru dilihat dan dibacanya. Dalam debat atau diskusi di media, kita kerap melihat jurnalis, panelis atau pakar yang lebih banyak “mempertanyakan” sesuatu, daripada betul-betul “bertanya” untuk menambah pemahamannya. Saat lawan bicara menjelaskan atau mempresentasikan sesuatu, ungkapan mempertanyakan yang biasa kita dengar adalah: “Apakah data ini valid?”, “Bukankah kebiasaannya tidak seperti ini?” Dialog atau konversasi yang sifatnya hanya mengetes, mengevaluasi dan memberi penilaian membuat isi pikiran kita terkuras. Kita bisa kehilangan kesempatan menambah wawasan bila setiap informasi baru atau berbeda kita mentahkan dengan asumsi atau penilaian yang sudah berakar atau usang.

Kita perlu memberi perhatian dan mengecek, apakah pertanyaan yang kita ajukan betul-betul untuk tahu lebih jauh dan berusaha untuk memahami dan menangkap esensi dari informasi yang disampaikan, misalnya: “Apa alasan atau latar belakangnya?”, “Mengapa sampai Anda mengambil kesimpulan seperti itu?” Bila kita tidak membuka pikiran dan bersungguh-sungguh untuk menambah pemahaman, kita ujung-ujungnya hanya menjadi orang yang sok tahu, bahkan keras kepala. Banyak orang juga tidak menyadari bahwa kegiatan mengambil kesimpulan, menentukan mana yang lebih penting dan memperbaiki pemahaman membutuhkan klarifikasi dan konfirmasi dan teman bicaranya, tidak bisa dilakukan secara individu. Walaupun kita sudah dewasa, kita harus sadar bahwa kita tetap harus memperbaharui dan mengasah pikiran. Kita perlu membicarakan apa yang kita tangkap dan memperhatikan agar kita sadar bila terjadi beda persepsi. Dengan masuknya pemahaman secara benar, kita bisa mensintesiskan pengetahuan baru dengan yang lama.

Penajaman Pemikiran

Banyak orang bertanya apakah IQ seseorang bisa meningkat sejalan dengan pendidikan, latihan atau bertambahnya usia. Hal yang sebenarnya perlu kita sadari adalah bahwa inteligensi kita sering tidak diasah karena kita tidak menyadari bahwa pikiran kita perlu diisi, ditata, di-refresh dan diolah. Seorang ahli mengemukakan kiat praktis untuk mengasah pikiran, yaitu dengan “4P”, yaitu possitive, process, present, dan progress.

Sikap positif membuat kita lebih proaktif dan melakukan pendekatan dan memperbesar keingintahuan kita, sekaligus menghindari sikap defensif, serta sudut pandang pesimis dan negatif. Hal yang kedua adalah process, yaitu menyadari bahwa otak bekerja dengan cara memproses data yang masuk sehingga kita lebih sadar bahwa mengenai kebutuhan kontinu akan data dan fakta. “P” yang ketiga adalah present, yaitu kita perlu memberi atensi atau secara aktif “hadir” dalam situasi pertemuan, pembicaraan dan tatap muka yang sedang berlangsung. Bila kita sibuk dengan gadget kita saat berkomunikasi dengan orang lain, sudah pasti kita tidak bisa menyerap pemahaman dan pengetahuan dengan total dan benar. Hal yang terakhir adalah progress, yaitu menyadari apakah cara berpikir kita mengalami kemajuan, penambahan dan pendalaman. Bila tidak, kita perlu mawas diri dan menelaah cara kita selama ini memasukkan fakta ke dalam pemikiran kita

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, dlm KOMPAS, 16 Juni 2012, hlm 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar