Senin, 10 Juli 2023

ADA UJARAN KEBENCIAN DALAM CERAMAH KEAGAMAAN

Sejak kasus Ahok, persoalan tentang ujaran kebencian menjadi topik hangat. Terakhir korbannya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Memang kasus tersebut kemudian oleh pihak kepolisian dihentikan. Namun penghentian itu bukan lantas berarti masalahnya selesai. Tentulah pihak pelapor dan mereka yang membenci Jokowi akan menilai bahwa kepolisian berada di bawah tekanan presiden.

Benarkah penghentian itu karena sosok presiden? Jika mencermati permasalahan laporan Muhammad Hidayat, dimana kata yang dipersoalkan adalah ndeso, sama sekali tidak ditemukan adanya unsur ujaran kebencian atau penghinaan. Pernyataan Kaesang sama sekali bukan bertujuan menghina atau merendahkan martabat orang desa. Kata itu sama seperti kata kampungan, yang ditujukan kepada orang yang berpikiran kolot, sempit dan picik. Orang yang berpikiran demikian dapat menghambat perkembangan, baik itu diri sendiri maupun umum. Kata ”kampungan” sama sekali tidak merendahkan martabat orang kampung, karena tidak semua orang kampung itu kampungan.

Kata ndeso atau kampungan bukanlah kata baru dalam khasana bahasa Indonesia. Tapi, mengapa sekarang orang sangat mudah tersinggung dengan kata tersebut? Atau kenapa umumnya sekarang kita mudah sekali merasa tersinggung? Kenapa Muhammad Hidayat melaporkan Kaesang hanya lantaran kata ndeso tapi tak melaporkan begitu banyak orang yang meneriakkan kata kafir? Akarnya adalah kebencian. Rasa benci itu ditujukan pada sosok Jokowi. Kebencian pada seseorang membuat kita tidak bisa melihat hal baik dan positip pada orang lain; yang dilihat adalah keburukan. Itulah yang terjadi pada putra bungsu Jokowi. Sasaran sebenarnya adalah Jokowi, namun batu loncatannya adalah putranya.


Hal ini terjadi pula pada Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok. Kebencian pada sosok Ahok membuat orang tidak bisa melihat hal baik dan positip pada dirinya. Apa yang keluar dari dirinya adalah buruk dan jahat, bahkan mengancam islam. Dan sebagaimana yang sudah diketahui, Ahok hanyanya sasaran antara. Sasaran utamanya adalah Jokowi.

Masalah ujaran kebencian memang sudah diatur dalam undang-undang. Bahkan pihak kepolisian menambah dengan surat edaran no. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dalam surat edaran itu, disebutkan tujuan dari peraturan ini. Salah satunya adalah demi terpeliharanya kerukunan hidup berbangsa dan bernegara yang berbhineka tunggal ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa.

Akan tetapi, bisakah masalah ujaran kebencian ini ditangani secara baik dan benar? Ada satu topik ujaran kebencian yang penanganannya akan menemukan kesulitan, yaitu ceramah keagamaan.

Pada poin 2 (g) surat edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian dikatakan bahwa ujaran kebencian itu bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap orang dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan beberapa aspek, salah satunya adalah agama. Dan poin 2 (h) dijelaskan cara penyampaian ujaran kebencian itu, yang di antaranya adalah ceramah keagamaan. Jadi, ujaran kebencian itu bisa terjadi lewat ceramah keagamaan yang menyulut rasa benci kepada sekelompok agama tertentu.

Menjadi persoalan adalah apakah ceramah keagamaan yang menyampaikan ajaran agama bisa dimasukkan dalam kasus ujaran kebencian atau penistaan? Ada banyak ajaran islam, yang ada dalam Al-Quran bersinggungan dengan agama lain, yang jika dilihat dari sudut pandang tertentu akan dinilai melakukan penistaan.

Misalnya, ketika membahas surah An-Nisa: 157, mau tidak mau ustad atau si penceramah akan mengatakan bahwa Yesus itu tidak pernah disalibkan di kayu salib. Yang mati di kayu salib itu adalah orang yang menyerupai Yesus. Jika orang kristen memakai cara berpikir MUI yang memfatwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan ulama, maka hal demikian pula seharusnya terjadi. Menjadi persoalannya, bisakah ustad atau penceramahnya dijerat dengan kasus penistaan agama? Tentu tidak mungkin, karena si ustad atau penceramah tengah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat ustad atau penceramah dengan jerat ujaran kebencian sama saja berarti penjerat ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan penistaan terhadap agama islam.

Atau ketika membahas surah Al-Maidah: 41, mau tak mau penceramah akan mengatakan bahwa Alkitab sudah dipalsukan. Bukan tidak mungkin penceramah juga akan mengutip surah Al-Baqarah: 75 untuk semakin menguatkan argumennya. Jika orang kristen memakai cara berpikir MUI yang memfatwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan ulama, maka orang kristen juga bisa menjerat si penceramah telah melakukan penistaan agama. Menjadi persoalannya, bisakah penceramahnya dijerat dengan kasus penistaan agama? Tentu tidak mungkin, karena si penceramah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat penceramah dengan jerat ujaran kebencian sama saja dengan penjerat ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan penistaan terhadap agama islam.

Inilah contoh betapa peliknya menangani kasus ujaran kebencian, apalagi yang berbasis agama. Bagaimana mungkin menjerat seseorang dengan pasal ujaran kebencian, padahal orang itu sedang menyampaikan pengajaran agamanya dalam sebuah ceramah keagamaan. Seorang tokoh agama punya kewajiban untuk menyampaikan ajaran agamanya, karena itu sudah merupakan perintah Allah. Nah, apakah karena penyampaian dalam ceramah itu dia harus ditangkap dan diproses hukum?

Diambil dari tulisan 6 tahun lalu 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar