Selasa, 13 Juni 2023

SEKILAS TENTANG SYARIAH ISLAM

 

“Adalah melalui Syariah, yang umumnya diterjemahkan sebagai “Hukum Islam”, (agama) Islam diekspresikan dalam masyarakat Muslim… Syariah telah menerjemahkan Islam dengan tepat. Jika Islam berarti tunduk kepada Kehendak Allah, maka Syariah adalah jalan yang menunjukkan bagaimana sikap tunduk itu diwujudkan, peta rute yang sesungguhnya mengenai agama sebagai sebuah cara hidup. Oleh karena itu bagi banyak orang Muslim, Islam adalah Syariah dan Syariah adalah Islam”. (Ziauddin Sardar, Desperately Seeking Paradise, London, Granta Books, 2004, h. 216-217)

Introduksi

Pada abad 21 ada himbauan yang semakin besar untuk menerapkan Syariah di Barat, terutama di Inggris Raya, dan agar Syariah diterapkan dengan seutuhnya di banyak negara dengan mayoritas penduduk yang adalah orang Muslim. Syariah adalah sebuah kata Arab yang berarti “jalan”. Pada masa kini kata itu digunakan dalam pengertian “Hukum Islam”, yaitu sebuah sistem yang terperinci dari hukum religius yang dikembangkan oleh para sarjana Muslim dalam tiga abad permulaan Islam. Hukum ini mengekspresikan cara hidup Islam – lebih banyak daripada Qur’an – dan merupakan kunci untuk memahami Islam.

Syariah meliputi semua aspek kehidupan dan tidak memisahkan antara wilayah sekuler dari wilayah religius. Syariah memberikan kerangka kerja yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang, ritual-ritual dan perintah-perintah yang menjadi panduan bagi seorang Muslim untuk menjalani kehidupannya. Banyak orang Muslim yang percaya bahwa Syariah menjaga mereka dari (berbuat) dosa seperti pagar atau sebuah penghalang di jalan. Syariah juga merupakan sebuah penanda identitas yang memisahkan orang Muslim dari orang non-Muslim. Syariah sangat mempengaruhi tingkah-laku dan cara pandang banyak orang Muslim, bahkan di negara-negara sekuler dimana Syariah tidak mempunyai peranan dalam pembentukan hukum disana.

Norma Ilahi yang Sempurna

Banyak orang Muslim percaya bahwa Syariah adalah hukum yang diwahyukan Tuhan, sempurna dan kekal, mengikat individu-individu, kelompok masyarakat dan negara dalam semua detilnya. Oleh karena itu mereka percaya bahwa kritik apapun terhadap Syariah adalah sesat/bidat. Banyak orang Muslim Sunni yang percaya bahwa Syariah sangat tidak bisa diubah, walaupun kelompok Syiah mengijinkan adanya kemungkinan untuk menginterpretasi dan mengadaptasikannya ke dalam keadaan-keadaan yang baru.

Orang Muslim yang menyangkali validitas Syariah atau mengkritiknya dalam cara apapun dipandang sebagai non-Muslim (kafir atau murtad) oleh kaum tradisionalis dan Islamis. Oleh karena itu mereka menghadapi ancaman penganiayaan sebagai orang yang murtad, dan kejahatan seperti ini, berdasarkan syariah harus dihukum mati.

Perkembangan dan Karakteristik Syariah

Syariah Mensistematisir Semua Tindakan Manusia

Syariah adalah sebuah sistem legal yang kompleks yang bersumber dari teks-teks Qur’an dan hadith (catatan tradisi perkataan dan perbuatan Muhammad) melalui interpretasi, komentari dan kasus hukum. Syariah diciptakan dalam sebuah konteks dalam mana orang-orang Muslim memegang kekuasaan politik, dan dengan demikian kurang memberikan petunjuk bagi orang-orang Muslim yang hidup sebagai kaum minoritas di bawah (pemerintahan) orang non-Muslim.

Syariah berusaha menggambarkan secara terperinci semua kemungkinan perbuatan manusia, membaginya menjadi halal dan haram. Kemudian membaginya lagi ke dalam berbagai tingkatan yang baik atau jahat, seperti apa yang diwajibkan, dianjurkan, netral, merupakan pilihan atau dilarang. Syariah merupakan kumpulan peraturan, yang mengatur secara terperinci segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup rohani, ibadah, ritual penyucian, pernikahan dan warisan, pelanggaran kriminal, perdagangan dan tingkah-laku pribadi hingga ke detil yang sekecil-kecilnya. Syariah juga mengatur pemerintahan dalam negara Islam dan hubungannya dengan non-Muslim dalam negara tersebut sebagaimana juga dengan musuh-musuh di luar negeri.

Mazhab-mazhab Hukum

Empat mazhab hukum ortodoks Sunni, yang dinamai sesuai para pendirinya, dikembangkan dan ditetapkan pada akhir abad ke-10. Mereka adalah mazhab Hanafi, Maliki, Shafi’i dan Hanbali. Keempat mazhab ini berbeda dalam berbagai detil, termasuk cara mereka dalam mengambil keputusan legal, tetapi mereka saling menerima satu sama lain sebagai ortodoks. Versi Syiah sangat mirip dengan mazhab-mazhab Sunni.

Karya para pendiri mazhab tersebut dilanjutkan oleh para murid mereka, dan selama lebih dari berabad-abad beberapa buku pegangan hukum yang telah banyak diterima disusun oleh para sarjana terkemuka yang diperkirakan telah mengemukakan segala sesuatu yang perlu diketahui mengenai hukum bagi semua generasi.

Para pakar legal dan skolastik menafsirkan dan menerapkan Syariah dengan melihat pada teks-teks Qur’an dan hadith yang relevan, yang telah disaring melalui sejarah panjang preseden legal, buku-buku panduan dan komentar-komentar. Para ahli hukum Muslim modern sering membedakan antara Syariah, hukum ilahi yang diwahyukan, dan fiqh, yaitu penafsiran para ahli hukum mengenai Syariah.

Usaha-usaha untuk Mereformasi dan Serangan Balik Kaum Islamis

Sejak abad ke-19 ada upaya-upaya untuk mereformasi Syariah ke arah liberal untuk dapat mengakomodasikannya ke dalam dunia modern. Umumnya para reformis melihat kembalinya kepada sumber-sumber Islam sebagai “kunci emas” yang akan menyembuhkan masyarakat Muslim dari ketertinggalan negara mereka dan kelemahan di bidang politik. Banyak yang merendahkan otoritas dari ke-4 mazhab legal dan tradisi-tradisi yang muncul kemudian; pendekatan ini memampukan para ahli hukum untuk menyeleksi dan mencampur mazhab-mazhab yang berbeda, untuk menjadikan apa yang baik bagi komunitas (maslaha) sebagai prinsip tuntunan yang utama. Umumnya para reformis seperti itu menekankan pentingnya nalar, dan membedakan antara inti dari nilai-nilai universal dalam Syariah (yang tidak dapat diubah dan kekal) dan bagian yang lebih besar yang berurusan dengan relasi-relasi sosial (yang terbuka terhadap perubahan dan adaptasi dengan konteks-konteks yang baru).

Namun demikian, dalam dunia Muslim kontemporer, para tradisionalislah dan terutama kaum Islamis yang menjunjung cara pandang tradisional terhadap Syariah, dan mereka ini yang mendominasi opini publik Muslim. Ini mengakibatkan para reformis liberal hanya menjadi sekelompk kecil minoritas yang umumnya tinggal di Barat. Para reformis liberal menghadapi tekanan yang berat dari kaum Islamis dan tradisionalis yang mencap mereka sebagai orang yang murtad dan kafir dan menyerang mereka secara verbal, secara legal dan secara fisik.

Syariah dan Standar Modern

Orang Muslim sering mengklaim bahwa Syariah sangat moderat berdasarkan standar-standar dari abad ke-7 hingga ke-10 ketika Syariah itu diciptakan. Namun demikian sejak saat itu Syariah tidak berubah, dan oleh karena itu sangat keras dibandingkan dengan standar-standar dunia modern. Syariah menyalahi banyak prinsip modern hak azasi manusia, kebebasan beragama dan kesetaraan semua orang di hadapan hukum. Syariah secara inheren mendiskriminasi wanita, non-Muslim dan “orang Muslim yang sesat”, demikian pula dengan orang Muslim yang memilih untuk memeluk keyakinan lain.

Lima Wilayah Utama dimana Syariah tidak Bersesuaian dengan Hak-hak Azasi Manusia

1. Penghukuman-penghukuman Hudud

Ini adalah penghukuman-penghukuman berat yang diberikan Syariah untuk beberapa pelanggaran apabila seseorang menyebut dirinya sebagai Tuhan. Penghukuman untuk kejahatan ini dipandang sebagai ketetapan ilahi dan tidak dapat diubah oleh manusia. Penghukuman ini meliputi 100 kali cambukan atau dilempari dengan batu sampai mati untuk perzinahan; 80 kali cambukan untuk tuduhan palsu mengenai perzinahan; pemotongan tangan untuk pencurian; 40 atau 80 kali cambukan untuk minum-minuman keras; pemenjaraan, amputasi atau hukuman mati (dengan cara disalib untuk kasus-kasus yang berat) untuk perampokan di jalan; dan hukuman mati karena murtad dari Islam. Banyak sarjana Islam, akademisi dan penceramah populer mendukung penerapan hukuman hudud di masa kini, karena melihatnya sebagai penanda identitas dari kebangkitan Islam yang sejati. Para sarjana Islam yang ternama menanggapi secara negatif sebuah himbauan pada Maret 2005 oleh seorang profesor Islamis yang populer, Tariq Ramadan, untuk menghentikan hukuman hudud secara temporer. Ada yang mengklaim bahwa usaha apapun untuk memperlunak Syariah berarti menyerah pada konsep-konsep Kristen Barat.

2. Yahudi, Kristen dan non-Muslim lainnya

Diskriminasi berdasarkan agama adalah sesuatu yang fundamental bagi Syariah. Islam harus dominan dan hanya orang Muslim yang merupakan warga negara penuh, maka orang Muslim diperlakukan jauh lebih superior terhadap semua yang lainnya.

Orang Yahudi dan orang Kristen disebut sebagai kaum dhimmi (secara literal berarti “orang-orang perjanjian [yang dilindungi]” yaitu yang diijinkan untuk hidup). Namun demikian perlindungan ini berdasarkan syarat bahwa mereka tidak memiliki senjata, mengetahui kedudukan mereka yang rendah dalam masyarakat, memperlakukan orang Muslim dengan hormat, membayar pajak khusus (jizya), dan tidak bersikap arogan.

Banyak hukum Syariah yang sepele digunakan untuk membatasi dan menghina kaum dhimmi dalam hidup keseharian mereka. Mereka dapat menjalankan keyakinan mereka dalam sinagoge dan gereja mereka tetapi tidak di tempat-tempat umum (lonceng-lonceng tidak boleh dibunyikan), Tidak boleh membangun gereja, dan gereja-gereja yang sudah ada tidak boleh diperbaiki. Kaum dhimmi tidak dapat bersaksi dalam sebuah pengadilan Syariah terhadap seorang Muslim. Mereka tidak boleh menyaksikan iman mereka kepada orang Muslim. Mereka tidak boleh memegang jabatan publik yang menempatkan mereka dalam posisi yang mempunyai otoritas atas orang Muslim. Yang dapat mereka lakukan hanyalah melayani para penguasa Muslim mereka dengan kapasitas administratif mereka. Secara umum sikap penghinaan terhadap non-Muslim selama berabad-abad  diciptakan dengan menerapkan hukum seperti itu; berarti bahwa bahkan di negara-negara Muslim sekuler modern yang secara konstitusional menjamin kesamaan hak bagi semua warga negara, non-Muslim mendapatkan diskriminasi dalam banyak hal. Kaum pagan non-Muslim, dalam Syariah klasik harus diberi pilihan memeluk Islam atau mati.

3. Bidat Muslim dan orang murtad

Orang-orang Muslim yang menerima pengajaran yang dianggap sesat oleh kaum ortodoks Islam menurut Syariah harus disamakan dengan paganisme dan oleh karena itu pantas untuk dihukum mati. Hal yang sama berlaku pada orang Muslim yang memeluk agama lain (murtad), mereka dipandang sebagai pengkhianat. Semua mazhab Syariah sepakat bahwa seorang pria dewasa yang murtad dari Islam harus dibunuh. Bahkan jika hukuman mati tidak dilaksanakan, pernikahan mereka otomatis dibatalkan dan mereka menghadapi hukuman-hukuman berat seperti pembuangan, tidak mendapat hak waris, kehilangan harta benda, ancaman-ancaman, pemukulan, penyiksaan, dan pemenjaraan.

Banyak kaum sekuler atau Muslim liberal yang mendapati diri mereka berada dalam bahaya karena digolongkan sebagai orang yang murtad sebab mereka mempunyai pandangan yang oleh kelompok-kelompok religius atau kaum Islamis militan dianggap sesat. Sekte-sekte “bidat” Muslim mendapat siksaan yang sangat berat. Inilah yang terjadi pada sekte Ahmadiyah di Pakistan dan Indonesia, dan agama Bahai di Iran.

4. Perang Suci – jihad

Syariah mengemukakan jihad sebagai salah satu kewajiban agama yang paling mendasar, dengan jelas menyebutkan melalui daftar regulasi bahwa jihad dipahami sebagai peperangan fisik. Yang berkaitan dengan konsep jihad adalah pembagian dunia ini menjadi dua wilayah yang beroposisi: Rumah Islam (Dar al-Islam) dan Rumah Perang (Dar al-Harb). Orang Muslim harus mengobarkan jihad untuk mengubah Rumah Perang (dimana orang non-Muslim mendominasi secara politis) menjadi Rumah Islam (yang secara politis didominasi oleh orang Muslim). Sementara beberapa orang Muslim modern menolak pemahaman yang agresif mengenai jihad yang seperti ini, kebanyakan orang Muslim setuju bahwa jihad meliputi mempertahankan wilayah Muslim dan orang-orang Muslim dari segala bentuk agresi; ini mengakibatkan terbukanya pintu untuk mengiterpretasi konflik apapun yang melibatkan orang Muslim sebagai sebuah kasus jihad yang defensif. Kelompok-kelompok teror Islam membenarkan kejahatan mereka dengan memakai peraturan Syariah mengenai jihad.

5. Status wanita

Syariah juga melakukan diskriminasi atas dasar jender. Pria dipandang lebih superior. Wanita diperlakukan sebagai kaum yang kurang kecerdasannya, moral dan agamanya, dan oleh karena itu harus dilindungi dari kelemahan mereka sendiri. Aturan Syariah menekankan kesopanan dalam berpakaian dan bertingkah-laku dan segregasi jender. Mereka menempatkan wanita di bawah perwalian legal dari kerabat pria. Para wanita secara inheren kurang bernilai daripada pria di banyak bidang pemerintahan. Seorang pria diperbolehkan beristri hingga 4 orang, tetapi wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Seorang pria dapat menceraikan istrinya dengan mudah; seorang wanita akan menghadapi rintangan yang sangat besar jika ia hendak menceraikan suaminya. Hak waris seorang anak perempuan hanya separoh dari bagian anak laki-laki, dan kesaksian seorang wanita di pengadilan hanya bernilai separoh dari kesaksian seorang pria. Dalam kasus-kasus pembunuhan, kompensasi untuk seorang wanita lebih sedikit daripada untuk pria.

Di banyak masyarakat Muslim, segregasi di depan publik ditekankan atau diberlakukan. Pengadilan-pengadilan Syariah sering menunjukkan bias jender yang jelas. Ini terlihat dengan banyaknya praktek menuduh korban-korban perkosaan sebagai pelaku hubungan seksual yang tidak baik (zina), sebuah pelanggaran yang mendatangkan hukuman-hukuman yang berkisar antara pemenjaraan dan dicambuk atau dilempari batu sampai mati. Oleh karena itu si korban diubah menjadi si penjahat. Banyak jumlah korban perkosaan di Pakistan yang dipenjarakan oleh karena hal ini. Di beberapa negara, seperti di Turki dan Tunisia, aturan-aturan sekuler telah memperbaiki situasi yang dialami wanita.  Belum lama ini Marokko meluncurkan sebuah versi aturan Syariah mengenai keluarga yang jauh lebih liberal, yang memberikan lebih banyak kesetaraan untuk wanita.

Tantangan Syariah di Negara-negara Barat

Syariah memberikan sebuah tantangan terhadap masyarakat Barat oleh karena adanya tekanan konstan dalam komunitas Muslim untuk mengimplementasikannya dan memperlebar pengaruhnya. Bagi banyak orang Muslim di negara Barat, hukum sekuler kurang memiliki legitimasi terutama dalam hal hukum keluarga. Sebuah survey yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa dua per tiga orang Muslim Inggris lebih memilih mengikuti Syariah dalam kasus-kasus dimana hukum kerajaan Inggris berseberangan dengan hukum Islam.

Banyak Muslim mengklaim bahwa mereka mempunyai hak sebagai kelompok religius minoritas untuk mengikuti kebiasaan dan hukum mereka sendiri, termasuk Syariah.  Ada himbauan-himbauan yang diberikan agar Syariah diberi tempat untuk turut membentuk hukum sipil Inggris. Beberapa kelompok Muslim telah berkampanye untuk inkorporasi legal hukum keluarga Islam ke dalam sistem hukum Inggris. Pada 1990 Institut Muslim menyarankan agar “diciptakannya sebuah kerangka kerja legal Muslim untuk memutuskan kasus-kasus yang kemudian dapat diakui validasinya dalam hukum Inggris”.

Diciptakannya Sebuah Alternatif Kerangka Kerja Legal yang Paralel

Banyak orang Muslim di negara Barat berusaha untuk sedapat mungkin hidup sesuai peraturan Syariah, menciptakan sebuah peluang dimana para sarjana religius dan pengacara Islam menawarkan jasa mereka. Ini telah menciptakan sebuah alternatif struktur legal dalam pengadilan-pengadilan dan dewan-dewan Syariah.

Semakin menguatnya jejaring paralel institusi-institusi Islam, maka semakin kuat pula tekanan dilancarkan pada orang Muslim untuk menggunakannya (Syariah) terhadap institusi-institusi non-Muslim. Sekali alternatif Syariah digunakan, itu kemudian akan menjadi kewajiban bagi orang Muslim untuk menaati Syariah dalam suatu kasus tertentu.

Yang serius dipertanyakan adalah besarnya  jumlah tekanan sosial, keluarga dan komunitas yang harus ditanggung anggota-anggota yang paling lemah dalam komunitas Muslim – terutama kaum wanita dan anak-anak – untuk menaati keputusan-keputusan pengadilan seperti itu bahkan ketika mereka ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan keputusan-keputusan yang diberikan dalam sistem pengadilan resmi Inggris. Bagi mereka yang hidup dalam komunitas-komunitas yang picik dan mempunyai ikatan tradisional yang kuat, menaati tekanan-tekanan seperti itu adalah hal yang tidak dapat terelakkan.

Banyak pemimpin Muslim secara konstan memberi tekanan pada masyarakat Barat, institusi-institusi dan sistem-sistem legal untuk sedapat mungkin mengadaptasi konsep-konsep dan model-model syariah Muslim, sementara pada waktu yang sama membangun alternatif sistem Syariah mereka sendiri.

Pernikahan Anak-anak

Di beberapa negara Muslim pernikahan anak-anak adalah sah. Bagi banyak orang Muslim tradisional, pernikahan anak-anak dapat diterima karena Muhammad menikahi istri kesayangannya Aisha ketika ia masih berusia 6 tahun dan mewujudkan perkawinannya itu ketika Aisha berusia 9 tahun. Inilah sebabnya mengapa, setelah revolusi Iran pada 1979, para penguasa Iran yang baru, menurunkan usia minimum pernikahan untuk anak perempuan menjadi 9 tahun. Baru-baru ini di India, All India Muslim Personal Law Board berusaha untuk mendapatkan pengecualian bagi orang-orang Muslim dari batas usia minimun yang sah yaitu 18 tahun yang ditetapkan oleh hukum India. Menurut dewan tersebut, pernikahan anak-anak adalah bagian dari Syariah yang bersifat “absolut, final dan tidak dapat dinegosiasikan”.

Bahkan di Inggris pernikahan anak-anak dimungkinkan. Konsul Syariah Darul Uloom London memberikan beberapa aturan mengenai perceraian di website-nya, yang sangat jelas mengindikasikan bahwa konsul tersebut mempertimbangkan kemungkinan menceraikan anak-anak perempuan yang usianya belum lagi mencapai masa puber.

Poligami

Di bawah Syariah seorang pria diijinkan untuk beristri hingga 4 orang. Poligami diijinkan di banyak negara Muslim tapi dilarang di negara-negara Barat. Ini menimbulkan masalah bagi penduduk Muslim di Barat yang menikahi istri lain baik sebelum imigrasi mereka (ke Inggris) atau ketika mereka mengunjungi “kampung halaman/negara asal” mereka. Parlemen Muslim Inggris Raya telah mengeluh bahwa banyak keluarga yang dipaksa untuk hidup di luar hukum karena pernikahan poligamis mereka tidak diakui di Inggris. Diperkirakan jumlah keluarga yang menjalani poligami di Inggris ada ratusan.

Sunat perempuan

Praktek sunat pada perempuan banyak terjadi di beberapa komunitas Muslim, terutama di Mesir, Afrika Timur, Yaman dan Indonesia. Beberapa pemimpin Muslim mengutuk praktek ini sebagai praktek yang tidak islami tapi banyak yang percaya bahwa hal ini telah ditetapkan dalam Syariah. Mereka juga percaya bahwa ini penting untuk menjaga kesucian wanita karena kehormatan keluarga bergantung pada hal ini. Pada 1994 mantan Sheik Al-Azhar, Mesir, Jad Al-Haqq ‘Ali Jad Al-Haqq, memerintahkan bahwa sunat adalah kewajiban Islam bagi wanita sama seperti pria. Di Inggris ini adalah pelanggaran kriminal berdasarkan Undang-undang Pelarangan Sunat Bagi Wanita tahun 1985 (1985 Prohibition of Female Circumcision Act), tapi diperkirakan ada 7.000 anak perempuan di Inggris berada pada usia yang beresiko menjalani prosedur ini kapan saja. Untuk menghindari hukum ini, keluarga mereka membawa mereka ke luar negeri untuk berlibur dan kemudian menyunatkan mereka di luar Inggris.

Kerudung

Dalam Syariah ada perbedaan antara berbagai mazhab hukum berkenaan dengan sejauh mana wanita dapat terlihat di depan publik. Mazhab hukum Hanafi dan Maliki mengijinkan wajah dan tangan untuk terlihat di depan umum, maka tidak perlu mengenakan cadar di wajah. Diantara kelompok Hanbali ada dua opini, beberapa mengijinkan wajah dan tangan terlihat, yang lainnya melarang. Kelompok Shafi’i menuntut agar wajah dan tangan wanita harus ditutupi jika tampil di depan umum, maka wanita dituntut  untuk mengenakan semacam cadar di wajah. Nampaknya mayoritas sarjana klasik setuju bahwa wajah wanita boleh diperlihatkan, sedangkan sekelompok minoritas mengatakan bahwa wajah harus ditutupi. Maka prakteknya beragam di tiap wilayah bergantung pada mazhab hukum mana yang diikuti di daerah itu.

Baik Qur’an dan hadith mendesak kesopanan wanita dalam berpakaian dan memerintahkan mereka untuk menutupi diri mereka di depan publik. Problem ini adalah masalah interpretasi kata-kata asli Arab yang digunakan. Misalnya kata “jilbab” jelas merupakan pakaian luar, tapi seperti apa? Apakah semacam jubah yang menutupi pakaian dalam, ataukah menutupi kepala, dan wajah dan juga pergelangan kaki? Apakah kata lainnya yaitu “juyub” berarti hanya dada, atau juga berarti kepala, wajah, leher dan dada?

Beberapa wanita Muslim modern di Barat mengadopsi versi yang sangat ketat sebagai cara untuk menyatakan identitas Muslim mereka. Nampaknya organisasi-organisasi Muslim di Barat memanipulasi isu ini lebih jauh lagi hingga melakukan islamisasi kelompok masyarakat dimana mereka berdiam. Jelaslah menutupi wajah merupakan masalah bagi keamanan dan upaya-upaya pemberantasan terorisme. Namun di Amerika, Council on American-Islamic Relations telah berhasil membujuk negara bagian Kansas, Pennsylvania, Indiana, Montana, dan Washington untuk mengijinkan para wanita Muslim agar mereka boleh menutupi wajah mereka saat mereka difoto untuk Surat Ijin Mengemudi mereka, dan hanya mata mereka yang terlihat.

Ekonomi

Dalam dua dekade terakhir ada pertumbuhan spektakuler dalam keuangan dan perbankan Islam di seluruh dunia, terutama di negara-negara Muslim, tetapi yang belum lama ini juga terjadi di Barat. Pada masa lalu tidak ada semacam dewan yang memikirkan masalah ekonomi, tapi kaum Islamis modern telah mentransformasi berbagai aturan syariah yang berceceran mengenai perdagangan dan transaksi keuangan menjadi sebuah sistem ekonomi yang komprehensif. Namun demikian tidak semua orang Muslim setuju dengan kaum Islamis yang mengatakan bahwa diperlukan adanya sistem ekonomi Islam yang terpisah. Debat diantara orang Muslim berpusat pada arti pelarangan riba dalam Qur’an. Beberapa Muslim menerjemahkan riba sebagai “laba”; oleh karena itu mereka cenderung mengijinkan bunga yang ringan. Namun demikian kaum Islamis yang menginterpretasikan riba hanya sebagai “bunga”, beranggapan bahwa bunga dalam bentuk apapun adalah tidak islami; oleh karena itu mereka percaya bahwa adalah salah untuk berpartisipasi dalam sistem ekonomi yang normal dan menuntut adanya pemisahan produk-produk keuangan Islam.

Interpretasi yang melarang semua bentuk bunga nampaknya kini telah menang. Sebagai tambahan institusi-institusi Barat telah memberikan produk-produk keuangan Syariah, Dow Jones di Amerika telah memproduksi
Islamic Market Index (DJIM). Saat keuntungan minyak dan sumber-sumber kekayaan Muslim lainnya didaur ke dalam produk-produk investasi Islam, pasar keuangan Islam akan mengklaim saham yang terus bertambah di pasar global. Ini berarti bahwa institusi-institusi Barat secara perlahan akan memilih untuk mengislamkan sistem mereka sendiri, dalam usaha untuk tetap menguasai saham mereka dalam pasar yang menguntungkan ini. Maka orang non-Muslim tidak mempunyai pilihan lain selain menggunakan produk-produk dan sistem keuangan Islam.

Produk-produk Halal

Berdasarkan Syariah, makanan tertentu seperti babi dan alkohol haram untuk orang Muslim. Syariah juga mengatakan bahwa pemotongan hewan harus dilakukan oleh orang Muslim dengan sebuah ritual religius yang meliputi pemotongan leher hewan itu dan mengeluarkan darahnya sampai habis. Membuat hewan itu pingsan sebelum pemotongan juga dilarang. Hanya daging yang dihasilkan melalui pemotongan dengan cara demikianlah yang dipandang halal (diijinkan) untuk dimakan. Makanan halal disediakan di banyak institusi publik di Inggris seperti di sekolah-sekolah, rumah-sakit dan penjara. Kadangkala disajikan untuk semua orang, tanpa memandang agama. Demikian pula, kebanyakan domba yang diekspor dari Selandia Baru adalah halal, apakah itu akan dikirim ke sebuah negara yang mayoritas Muslim atau ke Barat. Konsul Muslim Inggris telah merekomendasikan bahwa metode Islam dalam memotong hewan dapat diadopsi secara universal untuk semua konsumen. Kecenderungan ini dapat dilihat sebagai bagian dari proses Islamisasi, sehingga orang non-Muslim pada akhirnya akan menjalani hidup sesuai aturan-aturan Islam.

Walaupun Qur’an secara spesifik hanya melarang babi dan alkohol, Konsul Makanan dan Nutrisi Amerika telah membuat sebuah daftar yang memuat 36 kategori makanan, minuman, dan produk-produk kosmetik yang berbeda yang meliputi 301 produk yang sesuai dengan tuntutan Syariah. Produk-produk seperti ini tidak boleh mengandung bahan-bahan yang dilarang (babi dan alkohol) dan harus diproses menurut panduan Islam. Untuk menjaga proses setifikasi agar tidak dipalsukan, orang-orang Muslim di New Jersey, Illinois, Minnesota, Michigan, Texas, Virginia dan  California telah berhasil membujuk para legislator mereka untuk menerbitkan undang-undang halal.

Prinsip Syariah Digunakan untuk Mengijinkan Eksistensi Minoritas Muslim di Barat

Di bawah pembagian tradisional dunia menjadi Rumah Islam dan Rumah Perang, para sarjana Muslim merekomendasikan agar orang Muslim yang berada di bawah pemerintahan non-Muslim harus kembali pindah ke negara-negara Muslim sehingga akan lebih mudah bagi mereka untuk hidup menurut Syariah. Dewasa ini, banyak sarjana menerima validitas Muslim yang tinggal di Barat di bawah pemerintahan non-islami, tetapi bergumul dengan pembenaran legal dan implikasi dari situasi tersebut. Beberapa pemimpin Muslim di Barat menjadikan ketaatan kepada hukum negeri itu tergantung pada keselarasannya dengan syariah atau tidak. Menurut Imam Muhammad Taher dari Mesjid Agung Leeds, ketika hukum negeri itu berkontradiksi dengan Syariah, maka hukum negara itu tidak berlaku bagi orang Muslim dan mereka tidak usah menaatinya.

Namun demikian, beberapa sarjana modernis telah berusaha mendefinisikan kembali negara-negara Barat sebagai bagian dari “Rumah Islam” tapi ini telah ditentang dengan keras oleh kebanyakan orang Muslim. Yang lainnya telah mengembangkan konsep-konsep seperti mendefinisikan negara-negara Barat sebagai “Rumah Aman” (Dar al-Aman) atau “Rumah Perjanjian” (Dar al-‘Ahd) untuk membenarkan orang-orang Muslim yang hidup di negara-negara Barat dan mematuhi norma-norma Syariah.

Prinsip “darura” Syariah digunakan oleh banyak sarjana Muslim untuk membenarkan minoritas Muslim yang tinggal di Barat yang mengadaptasi norma-norma Barat, termasuk menaati sistem legal Barat dan loyal pada negara-negara Barat. Darura menyatakan bahwa dalam keadaan genting yang mengancam jiwa dan kesejahteraan Muslim, yang tidak sah dapat menjadi sah (kepentingan mengatasi larangan), maka mengijinkan orang-orang Muslim di sebuah negara non-Muslim untuk mengesampingkan peraturan-peraturan Syariah yang berkonflik dengan hukum negeri itu.

Sheikh Tantawi dari Universitas al-Azhar University, Kairo biasa menggunakan argumen ini untuk membenarkan orang-orang Muslim di Perancis yang menaati larangan mengenakan kerudung/jilbab di sekolah-sekolah dan di institusi publik lainnya. Sarana-sarana legal lainnya diberlakukan demi kebaikan publik (maslaha) dan ijin untuk menggunakan aturan-aturan yang sesuai dari mazhab hukum manapun dan tidak hanya membatasi diri pada satu mazhab hukum saja.

Sementara semua ini adalah sarana yang bermanfaat bagi kaum Muslim moderat untuk membenarkan kehidupan mereka di tengah masyarakat yang non-Muslim, secara umum hal ini hanya dipandang sementara, diterapkan hanya pada waktu Muslim mengalami kesulitan. Implikasinya adalah semua Muslim harus berjuang untuk mengubah situasi yang tidak ideal ini demi terwujudnya cita-cita dominasi politik Muslim dan pemerintahan Syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar