Jumat, 23 Desember 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH HUD AYAT 118

 


Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (QS 11: 118)

Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam, selain hadis. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung berbicara kepada Muhammad, yang kemudian meminta pengikutnya untuk menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an dikenal juga sebagai wahyu Allah. Berhubung Allah itu diyakini sebagai maha suci, maka Al-Qur’an pun adalah suci. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah atau penyerangan terhadap keluhuran Allah. Allah sudah meminta kepada umat islam untuk memberi hukuman berat bagi mereka yang melakukan hal itu dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang (QS al-Maidah: 33).

Umat islam melihat Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan perkataan lain, Al-Qur’an dijadikan tuntunan hidup bagi umat islam, bagaimana umat islam bersikap dalam hidup. Agar tidak menimbulkan perdebatan dikemudian hari terkait kehendak Allah itu, maka Allah sendiri telah memudahkan Al-Qur’an. Kemudahan itu pertama-tama terlihat dari bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Arab (QS 19: 97 dan QS 44: 58). Umumnya para ulama menafsirkan kemudahan itu dengan kesederhanaan bahasa yang tidak membutuhkan banyak tafsir, yang bisa berdampak pada perbedaan pendapat.

Berangkat dari dua premis di atas, maka bisa dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri, yang diucapkan-Nya kepada Muhammad. Karena Allah sudah mengatakan bahwa Dia telah memudahkan ayat-Nya, maka dengan sangat sederhana ulama islam menafsirkan kutipan kalimat Allah di atas sebagai sikap Allah yang menghargai dan menghormati perbedaan. Karena jika tidak demikian, tentulah Allah hanya akan menciptakan manusia itu satu umat saja. Frasa “umat yang satu” dapat dimaknai suku, bangsa, ras, agama atau juga golongan. Umat yang satu inilah yang tidak dikehendaki Allah, sehingga dunia ini dipenuhi manusia dengan latar belakang suku, agama, ras, bangsa yang berbeda-beda.

Sikap Allah ini sekaligus menjadi sikap umat islam. Dengan demikian, umat islam diminta untuk menghargai dan menghormati perbedaan. Sikap yang harus dibangun adalah sikap toleransi. Hal ini kemudian kerap dilontarkan umat islam bahwa islam adalah agama yang toleran, karena islam mengajarkan toleransi. Islam adalah agama yang menghargai perbedaan.

Pada titik ini terlihat jelas betapa indahnya wahyu Allah ini. Dan biasanya umat agama lain langsung terpesona dengan penjelasan dan kata-kata manis yang keluar dari para ulama. Padahal, jika kutipan kalimat Allah di atas dikaji dengan kritis dan dengan membandingkan dengan ayat lainnya serta realitas islam, maka dapat langsung ditemui “tong kosong nyaring bunyinya”. Artinya ada masalah dalam kutipan dan juga tafsirannya.

Harus tetap disadari dan diingat bahwa kutipan ayat di atas merupakan perkataan Allah yang disampaikan kepada Muhammad. Jadi, logikanya waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih.” Bagi yang memiliki nalar akal sehat tentu langsung menemukan akar persoalannya, yaitu kata “DIA”. Kata ini ditafsir sebagai Allah; sementara itu kata tersebut diucapkan oleh Allah. Artinya, Allah yang disebut dalam kata “Dia” bukanlah Allah yang sedang berbicara. Hal ini menunjukkan ada DUA Allah, yaitu Allah yang berbicara dan Allah yang tidak menghendaki manusia itu umat yang satu. Terlihat jelas ulama islam hanya menafsirkan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an tanpa menganalisa dengan logika apa yang tertulis itu. Keindahan tafsiran kalimat Allah di atas harus dibarengi dengan penerimaan dan pengakuan bahwa Allah islam ada DUA.

Menghadapi kritik ini tak jarang ulama islam melontarkan rasionalisasi untuk membenarkan Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa kalimat tersebut diucapkan Jibril kepada Muhammad. Sebagaimana diketahui umat islam percaya bahwa Jibril merupakan utusan Allah. Salah satu tugasnya adalah menyampaikan pesan Allah. Jadi, dengan demikian kutipan kalimat di atas tetap merupakan kata-kata Allah yang disampaikan Jibril kepada Muhammad. Logika seperti ini memang mengatasi persoalan kata ganti “Dia”, akan tetapi tanpa disadari justru menimbulkan problem baru. Dengan mengatakan kutipan kalimat di atas diucapkan Jibril kepada Muhammad, maka runtuhlah klaim bahwa Al-Qur’an langsung dari Allah, karena terbukti Allah menggunakan perantara. Selain itu, secara logika dan juga ilmu bahasa kutipan ayat di atas merupakan kata-kata Jibril, bukan kata-kata Allah yang disampaikan Jibril. Karena jika itu perkataan Allah yang disampaikan Jibril, seharusnya Jibril mengawalinya dengan “Allah berfirman: ….” atau bisa juga “Beginilah firman Allah: ….” Dua argumen ini sudah cukup mematahkan rasionalisasi ulama tersebut. Karena itu, tetaplah harus dikatakan Allah islam ada DUA.

Kerap muncul juga rasionalisasi lainnya, yaitu bahwa kutipan ayat di atas merupakan hasil diktean Allah kepada Muhammad. Artinya, waktu itu Allah sedang meminta Muhammad mengulangi lagi apa yang dikatakan-Nya; dan apa yang diulangi itulah yang kemudian ditulis. Lewat diktean ini Allah hendak menyampaikan satu pengajaran. Logika seperti ini seakan masuk akal dan memang mengatasi persoalan kata ganti “Dia”. Namun benarkah logika tersebut? Jika konteksnya adalah mendikte, seharusnya Allah mengawali wahyu-Nya dengan berkata, “Katakanlah: ……” Wahyu dengan rumusan seperti ini banyak dijumpai dalam Al-Qur’an. Apakah kali ini Allah lupa? Sekali lagi terbukti rasionalisasi ulama tidak bisa dibenarnya, dan ini tetap membuktikan Allah islam ada DUA.

Masalah berikut terkait dengan tafsiran. Tafsiran atas kutipan ayat Al-Qur’an di atas memang terdengar sejuk. Poin penting yang mau ditekankan adalah islam agama toleran, yang menghargai perbedaan. Akan tetapi, ketika klaim ini dikonfrontasikan dengan kenyataan yang ada, maka langsung terlihat “jauh panggang dari api”. Islam agama toleran atau islam menghargai perbedaan hanyalah slogan, ibarat iklan yang begitu menarik tapi faktanya jauh dari apa yang diiklankan. Ada banyak bukti yang menunjukkan betapa islam bukanlah agama yang menghargai perbedaan. Yang menariknya sikap yang tidak menghargai perbedaan ini didapat juga dari wahyu Allah dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, Allah sendiri menunjukkan sikap tidak menghormati perbedaan. Di sini hanya akan disebutkan 2 contoh saja.

1.    Penggunaan kata kafir. Hanya karena berbeda dengan islam, maka orang tersebut dilabeli kafir. Label “kafir” ini dari Allah dan umat islam wajib mempercayainya. Pernyataan Allah tersebut menjadi sikap umat islam. Dan orang kafir tidak hanya wajib dimusuhi tetapi juga wajib dimusnahkan. Pemusnahan itu terlaksana dalam aksi radikalisme dan terorisme.

2.    Klaim Taurat dan Injil palsu. Hanya karena tidak terdapat ramalan kenabian Muhammad dan juga Al-Qur’an, maka kitab suci orang Yahudi dan Kristen dinyatakan sudah tak asli lagi, alias palsu. Klaim ini datang dari Allah sehingga umat islam percaya.

Demikianlah 2 contoh yang menunjukkan betapa Allah islam tidak menghormati perbedaan. Jika Allah sungguh menghormati perbedaan, maka tidak akan ada label “kafir” kepada mereka yang tidak menerima Al-Qur’an sebagai kitab suci (karena umat lain sudah punya kitab sucinya sendiri), atau kepada mereka yang tidak menerima Muhammad sebagai nabi (karena umat lain punya standar untuk menilai seseorang nabi atau tidak). Seandainya pun ada lebel tersebut, tidak akan sampai pada pembangunan sikap memusuhi, membenci bahkan hingga membunuh orang kafir itu. Karena memang tidak punya sikap menghormati perbedaan, maka orang kafir harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya, sehingga di dunia ini hanya adalah islam. Jika Allah sungguh menghormati perbedaan, maka tidak akan ada fitnah terhadap kitab suci orang Yahudi dan Kristen.

Dengan demikian contoh ini membuktikan tafsiran ulama atas surah Hud ayat 118 tadi adalah isapan jempol belaka. Tafsiran tersebut tak seindah dengan kenyataan. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa Allah telah menyangkal diri-Nya sendiri. Di satu sisi Allah tidak menghendaki umat yang satu saja, di sisi lain Dia justru ingin memusnahkan umat yang lain sehingga hanya ada umat islam saja.

DEMIKIANLAH kajian logis atas surah Hud ayat 118. Dari kajian ini didapat 2 poin penting. Pertama, Allah islam ternyata tidak hanya ada satu tetapi dua. Jelas kalau ini bertentangan dengan pernyataan Allah sendiri bahwa Allah itu esa, yang berarti hanya ada satu. Pernyataan ini membuat islam dikenal sebagai agama tauhid. Akan tetapi, klaim tauhid itu hanyalah isapan jempol belaka, karena Allah islam ternyata ada dua. Kedua, keindahan tafsiran ulama hanya isapan jempol belaka, karena tafsiran tersebut bertentangan dengan pernyataan Allah yang menghendaki hanya islam di dunia ini. Justru Allah yang melabeli kafir bagi orang yang tidak sependapat dengan-Nya.

Lingga, 25 Agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar