Jumat, 25 November 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-ARAF AYAT 184

 


Dan apakah mereka tidak merenungkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak gila. Dia (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas. (QS 7: 184)

Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Di sana mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Al-Qur’an biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan bertindak dalam hidup keseharian, selain hadis. Umat islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam beberapa surah Al-Qur’an. Jadi, Allah sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan perkataan-Nya, sehingga ia dikenal juga sebagai kalam Allah. Karena itu, Al-Qur’an dihormati sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah atau penyerangan terhadap keluhuran Allah. Orang yang melakukan hal itu harus dihukum berat dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang (QS al-Maidah: 33).

Selain itu juga umat islam melihat Al-Qur’an sebagai keterangan dan pelajaran yang jelas. Ini juga didasarkan pada perkataan Allah sendiri. Allah telah mengatakan bahwa diri-Nya telah memudahkan ayat-Nya sehingga umat dapat dengan mudah memahami. Sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga mudah dipahami oleh umat islam. Tak sedikit ulama menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan perkataan lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Seandainya pun tidak persis seperti yang tertulis, tapi maknanya tak jauh beda dengan apa yang tertulis. Penafsiran atas wahyu Allah yang berbeda bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan kehendak Allah sendiri.

Berangkat dari dua premis di atas, maka bisalah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Memang harus diakui juga bahwa apa yang tertulis itu tidaklah sepenuhnya merupakan perkataan Allah. Kata ‘Muhammad’ yang ada dalam tanda kurung (2 kali) merupakan tambahan kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Artinya, kata tersebut tidak pernah diucapkan Allah saat Dia menyampaikan wahyu ini kepada Muhammad. Melihat dan membaca teks di atas, orang langsung menemukan pembenaran wahyu Allah, yaitu wahyu Allah jelas dan mudah. Dengan sangat mudah orang menafsirkan kalimat Allah di atas sebagai berikut: “Muhammad itu tidak gila dan hanya seorang pemberi peringatan yang jelas.” Sangat sederhana.

Akan tetapi, kalau kita menempatkan kutipan kalimat di atas pada konteksnya, maka langsung ditemukan keanehan dan masalah. Konteks wahyu Allah dalam Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengar. Allah menyampaikan wahyu-Nya hanya kepada Muhammad. Jadi, ketika Allah menyampaikan kutipan ayat di atas, Muhammad adalah lawan bicaranya. Karena itu, secara logika dan juga secara linguistik, tafsiran bahwa yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan itu Muhammad adalah salah besar. Menafsirkan dengan Muhammad itu berarti tidak sesuai dengan kehendak Allah, karena bukan itu maksud Allah. Dapat dipastikan yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan itu bukanlah Muhammad. Jika yang dimaksud itu adalah Muhammad, seharusnya Allah berkata, “Dan apakah mereka tidak merenungkan bahwa engkau tidak gila. Engkau tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.”

Tafsiran sebagai Muhammad yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan bukan hanya bertentangan dengan logika akal sehat dan ilmu linguistik, tetapi juga tidak sejalan dengan alur wahyu. Muhammad ini dilihat sebagai “teman mereka”. Menjadi pertanyaan, siapa yang dimaksud ‘mereka’ itu? Jika melihat ayat-ayat sebelumnya, khususnya ayat 182, yang dimaksud dengan ‘mereka’ ini adalah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Orang-orang ini adalah orang-orang yang binasa. Apakah Muhammad termasuk golongan ini? Dan siapa pula yang dimaksud dengan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah? Tidaklah jelas. Jadi, tafsiran ‘teman mereka’ dalam ayat 184 sebagai ‘Muhammad, tidak memperlihatkan korelasi yang jelas dan sinkron dengan ayat 182 dan 183.

Demikianlah kajian logis atas surah al-Araf ayat 184. Dari kajian ini dapatlah disimpulkan surah al-Araf ayat 184 tidaklah jelas. Ini tentulah bertentangan dengan wahyu Allah sendiri yang mengatakan wahyu-Nya itu jelas dan mudah. Tafsiran ulama islam bahwa yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan itu adalah Muhammad jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Allah. Tafsiran itu hanya berdasarkan selera. Dan karena jelas-jelas tidak jelas, maka haruslah dikatakan bahwa surah al-Araf ayat 184 ini bukanlah wahyu Allah. Bagaimana mungkin Allah yang maha sempurna menghasilkan wahyu yang tidak jelas? Karena bisa dilihat bukan wahyu Allah, maka dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Muhammad, atau hasil rekayasa Muhammad sendiri. Muhammad hendak mengatakan kepada para pengikutnya bahwa dirinya tidak gila dan hanya sebagai pemberi peringatan, dan kata-kata Muhammad ini kemudian diletakkan di mulut Allah sehingga seolah-olah Allah yang mengatakannya kepada Muhammad. Dengan demikian dapatlah juga dikatakan kalau Al-Qur’an merupakan kebohongan Muhammad.

Lingga, 13 Agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar