Jumat, 11 November 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-ANAM AYAT 104

 


Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu. Barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka dialah yang rugi. Dan aku (Muhammad) bukanlah penjaga(mu). (QS 6: 104)

Publik sudah tahu kalau Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad kemudian meminta pengikutnya untuk menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an dikenal juga sebagai wahyu Allah. Karena Allah itu maha benar, maka benar pula apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Selain itu, Al-Qur’an dinilai suci karena Allah adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qur’an berarti juga penghinaan terhadap Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberi bentuk hukuman bagi mereka yang menghina-Nya (QS al-Maidah: 33).

Al-Qur’an dikenal juga sebagai kitab atau keterangan yang jelas. Kata “jelas” di sini dimaknai bahwa apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an harus dimaknai secara lugas. Dengan kata lain, ketika Allah berbicara, Allah tidak menggunakan kata-kata kias. Karena itu, kata “membunuh” harus dipahami dengan tindakan menghilangkan nyawa seseorang, tidak ada makna lain. Demikian pula dengan kata “perang” atau “jihad”. Memang tidak semua perkataan Allah itu selalu bermakna lugas. Ada beberapa yang memiliki makna kias, terlebih kata-kata yang berkonotasi seksual. Misalnya, kata “bercampur” dimaknai dengan bersetubuh. Sekalipun memakai makna kias, tetap saja perkataan Allah itu mudah dipahami, karena Allah sendiri sudah berfirman bahwa diri-Nya telah memudahkan Al-Qur’an supaya mudah dipahami.

Berangkat dari premis-premis di atas, dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa kutipan di atas tidaklah sepenuhnya merupakan perkataan Allah. Tulisan yang berada di dalam tanda kurang harus diakui sebagai tambahan kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Dengan perkataan lain, kata-kata yang ada dalam tanda kurung tidak pernah diucapkan oleh Allah. Karena itu, aslinya wahyu Allah ini berbunyi sebagai berikut: Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu. Barangsiapa melihat, maka bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta, maka dialah yang rugi. Dan aku bukanlah penjaga.”

Ketika wahyu Allah berada dalam bentuk aslinya, maka yang dijumpai adalah ketidak-jelasan makna. Apa bukti nyata yang datang dari Tuhan? Apa yang dilihat? Apa maksud “bagi dirinya sendiri”? Apa dan siapa yang dijaga? Semuanya tidak jelas. Dengan demikian, ia bertentangan dengan wahyu Allah sendiri, yang menyatakan Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas. Yang ada sekarang sungguh tidak jelas. Ketidak-jelasan ini akhirnya melahirkan kebingungan bagi umat islam di kemudian hari. Akhirnya, dengan inisiatif mereka kemudian ditambahkan beberapa kata pada wahyu Allah tersebut. Dengan penambahan itu maka wahyu Allah menjadi sedikit mudah dipahami, yakni bahwa yang melihat kebenaran akan mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri, sedangkan yang buta akan rugi sendiri; dan Muhammad bukanlah penjaga. Sekalipun sudah ditambah beberapa keterangan, tetap saja wahyu Allah ini menyisakan kebingungan dan juga persoalan.

Persoalan yang ada dari kutipan kalimat Allah di atas adalah benarkah kutipan tersebut, sekalipun tanpa tambahan keterangan, merupakan asli wahyu Allah. Artinya, kalau teks di atas dipahami pada konteksnya, maka waktu itu Allah berbicara kepada Muhammad. Apa yang dikatakan Allah itu, kemudian ditulis oleh pengikut Muhammad. Tentulah Muhammad mengulang lagi apa yang dikatakan Allah. Karena itulah, harus dipahami kutipan teks di atas merupakan perkataan Allah yang disampaikan kepada Muhammad. Akan tetapi, jika kutipan ayat di atas ditempatkan pada konteksnya, tentulah bagi orang yang masih punya nalar akal sehat segera menemukan persoalan.

Setidaknya ada 2 kata yang membuat kutipan di atas menjadi tidak logis sebagai wahyu Allah. Pertama, “Tuhanmu”. Kata “Tuhan” di sini sama maknanya dengan Allahmu. Pernyataan kalimat pertama dari kutipan di atas: “bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu” yang diucapkan oleh Allah, menunjukkan bahwa bukti-bukti nyata itu datangnya bukan dari diri-Nya, tetapi dari Tuhannya Muhammad. Dengan demikian, ada DUA Allah/Tuhan, yaitu Allah yang berbicara dan Allahnya Muhammad. Allah yang berbicara dan Allah Muhammad ini merupakan 2 entitas yang berbeda. Jika keduanya satu dan sama, seharusnya tidak dipakai kata “Tuhanmu”, tetapi langsung saja “Aku atau Kami”. Kedua, “Aku”. Kata “aku” oleh ulama di kemudian hari diartikan sebagai Muhammad. Sangat jelas ini bertentangan dengan logika akal sehat dan juga ilmu bahasa. Jika konteks Al-Qur’an itu adalah Allah berbicara dengan Muhammad, maka kata “aku” di sini merujuk pada Allah yang berbicara, bukan Muhammad. Allah sebagai subyek orang pertama, sedangkan Muhammad orang kedua.

Demikianlah kajian logis atas surah al-Anam ayat 104. Dari kajian sederhana ini terlihat jelas betapa wahyu Allah itu kacau balau. Pernyataan Allah bahwa wahyu-Nya jelas dan mudah tidak terlihat pada wahyu-Nya di ayat ini. Dengan kata lain, kutipan ayat 104 ini menunjukkan pertentangan dengan pernyataan Allah. Hal inilah yang akhirnya membuat orang bisa mengambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an, atau setidaknya surah al-Anam ayat 104 bukanlah wahyu Allah. Harus berani jujur untuk mengatakan kutipan ayat di atas merupakan hasil rekayasa atau karangan Muhammad.

Tanjung Pinang, 11 Agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar