Ketika mau menerima tahbisan imam, seorang calon musti mengikrarkan
tiga kaul (untuk imam diosesan dikenal dengan janji), yaitu
kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Dengan mengucapkan kaul janji kemiskinan,
seorang imam (termasuk biarawan dan biarawati) diajak untuk menghayati hidup
miskin, sebagaimana Yesus Kristus. Spiritualitas kemiskinan ini adalah Yesus
Kristus, karena Yesus sendiri hidup miskin.
Di zaman dulu, ada banyak imam sungguh-sungguh menghayati panggilan hidup
miskin ini. Sekedar menyebutkan beberapa nama, ada St. Yohanes Maria
Vianney, Yosef Maria
Pignatelli, Martinus de
Porres, dll. Yang terkenal adalah Santo Fransiskus Asisi.
Ordo yang dibangun oleh Fransiskus Asisi ini pun terkenal dengan hidup
miskinnya.
Akan tetapi, dewasa ini sangat sulit menemui imam yang benar-benar
menghayati janji kemiskinan ini. Jika ditanya alasannya, mereka akan menjawab
lain padang, lain belalang; lain dulu, lain sekarang. Zaman berkembang. Jadi,
sekalipun janji atau kaulnya sama, namun penghayatannya berbeda.
Saat ini sangat mudah menjumpai imam dengan “kemewahan”nya. Ada imam yang
punya HP lebih dari 2 dengan harga yang fantastis dibandingkan dengan uang saku
yang mereka dapat. Ada imam punya kamera mahal, yang harganya membutuhkan uang
saku 3 bulan. Ada pula imam yang punya mobil, motor, tanah dan barang mahal
lainnya.
Tentulah orang akan bertanya, dari mana mereka dapat uang untuk membeli semua itu? Tak mungkinlah mereka mengandalkan uang sakunya. Sekedar perbandingan, untuk dapat beli Samsung Galaxy S6, dibutuhkan uang saku sekitar 4 bulan. Itu pun dengan catatan, uang saku itu harus utuh, tidak kurang sedikit pun untuk kebutuhan lainnya. Nah, bagaimana bisa dijelaskan bila seorang imam punya Samsung Galaxy, Blackberry, tablet, laptop, kamera DLSR, dll.
Pemandangan seperti ini tak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh yang pada
akhirnya terjerat kasus korupsi. Misalnya, Gayus. Orang bertanya, bagaimana
mungkin seorang pegawai golongan menengah dengan gaji sedang punya rumah mewah
beberapa, harta berlimpah, uang hingga ratusan miliyar, mobil beberapa, dll.
Dan setelah diusut, semua itu berasal dari korupsi.
Apakah para imam ini juga telah melakukan korupsi? Untung tidak ada KPK di
Gereja Katolik. Akan tetapi, jika ditanya kepada imam, tentulah mereka tidak
akan mengaku telah melakukan tindak korupsi. Pada umumnya, para imam punya
jawaban yang mirip: dari umat. Ketika ditanya dari mana datangnya
berang-barang yang dimiliki, umumnya seorang imam akan menjawab bahwa berang
itu diberi oleh umat. Karena merupakan pemberian, maka harus diterima. Ada
semacam kewajiban menerima pemberian umat, karena penerimaan itu merupakan
bentuk penghormatan dan penghargaan pemberian orang.
Jadi, ada imam yang punya kamera DLSR pemberian umat. Ada imam punya mobil
juga hadiah dari umat. HP Samsung Galaxy pun diberi umat. Memang sungguh luar
biasa umat ini.
Dengan menerima pemberian umat ini seakan imam tidak menyalahi kaul kemiskinannya. Toh,
dia hanya menerima. Dan setelah menerima ia hanya menggunakan dan merawatnya.
Apakah memang demikian? Bagaimana jika yang memberi itu bukan umat yang
dikenal, apakah masih diterima? Tentulah umat yang memberi itu adalah umat yang
sudah dikenal; dan umat itu dikenal ‘baik’. Nah, bagimana jika yang memberi itu
umat yang sudah tekenal tidak baik? Misalnya, sudah diketahui bahwa pemberian
itu bersumber dari pencurian. Apakah imam akan menerima juga?
Sekedar perbandingan, mari kita renungkan kisah Tuhan Yesus melawan godaan
iblis dalam Matius 4: 1 – 11.
Pada pencobaan ketiga, Tuhan Yesus ditawari kemegahan dunia. Sama seperti dua
tawaran lainnya, tawaran ketiga ini pun ditolak Tuhan Yesus dengan tegas.
Menjadi pertanyaan: apakah penolakan itu karena hakikat pemberian itu atau
karena iblis, si pemberi?
Iblis sudah dikenal sebagai sosok yang jahat. Karena itu, pemberiannya pun
pasti jahat. Sekarang kita ganti tokoh pemberinya dengan malaikat. Sudah
diketahui bahwa malaikat adalah sosok yang baik. Nah, sekarang malaikat ini
datang kepada Tuhan Yesus dan menawarkan kemegahan dunia. Pertanyaannya: apakah
Tuhan Yesus menerima atau menolak?
Dapat dipastikan bahwa Tuhan Yesus akan menolak. Penolakan itu didasari
pada hakikat pemberian itu yang bertentangan dengan misi perustusan-Nya. Jadi,
penolakan itu bukan didasari pada si pemberi, melainkan pada nilai
pemberiannya.
Hal yang sama dengan para imam. Ketika ditawari kemewahan duniawi,
hendaknya mereka berani menolak, karena kemewahan duniawi itu bertentangan
dengan hakikat kaul kemiskinannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar