Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak
menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal
itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS 2: 216)
Al-Qur’an
diyakini oleh umat islam merupakan wahyu Allah yang secara langsung disampaikan
kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut: Allah
berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Apa yang didengar
Muhammad itulah yang kemudian ditulis dan akhirnya menjadi sebuah kitab yang diberi
nama Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan meyakini bahwa
apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah SWT sendiri.
Hal inilah yang membuat umat islam memandang kitab tersebut sungguh suci,
sehingga umat islam menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Pelecehan terhadap
Al-Qur’an sama artinya pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal
itu, berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).
Umat
islam menganggap dan menilai Al-Quran sebagai keterangan dan pelajaran
yang jelas, karena memang demikianlah yang dikatakan Allah sendiri. Secara
sederhana hal ini dimaknai bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang jelas. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa
dengan mudah pula memahaminya. Sebagai pedoman dan penuntun
jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga
mudah dipahami oleh umat islam. Umumnya
para ulama menafsirkan kata “jelas” di sini
dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah
menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah itu sudah
jelas makna dan pesannya, tak perlu banyak ditafsirkan lagi. Maksud dan pesan
Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah al-Baqarah ayat 216 di atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Dan apa yang disampaikan Allah ini sudah jelas maknanya. Dengan mudah umat akan memahami bahwa perang merupakan kewajiban bagi umat islam.
Kutipan
wahyu Allah di atas terdiri dari 3 kalimat. Kalimat pertama berisi pesan atau
peringatan bagi umat islam bahwa mereka wajib berperang sekalipun itu tidak
menyenangkan. Dalam kalimat kedua Allah membuat semacam perbandingan sederhana,
yang barangkali biasa dialami oleh umat. Perbandingan ini untuk menjelaskan
masalah perang yang tidak menyenangkan, meski menjadi keharusan (kewajiban).
Pada intinya Allah hendak mengatakan bahwa dalam hidup ada sesuatu yang tidak disenangi
meski itu baik, dan ada yang disukai meski itu tidak baik. Sebagai contoh,
samiloto atau brotoali itu tidak disenangi karena pahit meski ia baik untuk
melawan malaria, sementara es krim atau coklat itu disenangi karena enak meski
tidak baik bagi kesehatan. Kalimat ketiga lebih merupakan penegasan akan
kalimat kedua. Di sini Allah hendak menegaskan soal perbandingan itu, karena
manusia lebih cenderung memilih kesenangan daripada kebaikan.
Karena
itulah, kutipan ayat di atas dengan sederhana dimaknai bahwa umat islam
diwajibkan untuk berperang sekalipun itu tidak menyenangkan. Apa yang tidak
menyenangkan itu akan mendatangkan kebaikan. Kebaikan seperti apa yang datang
ketika umat islam melaksanakan kewajiban berperangnya? Jika menelusuri
ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an, akan ditemukan 2 kategori kebaikan, yaitu
kebaikan jangka pendek dan kebaikan jangka panjang. Untuk jangka pendek,
kebaikan dari perang itu adalah rampasan perang, seperti barang-barang material
dan juga para wanita, yang bisa dijadikan budak dan juga pemenuhan hasrat
seksual (bdk. QS an-Nisa: 24). Sedangkan untuk jangka panjang, kebaikan perang
adalah pahala masuk surga. Dan di surga Allah telah menyediakan bidadari yang
cantik dan juga gadis-gadis montok sebaya. Sudah jadi rahasia umum jika
kehadiran bidadari dan gadis montok itu demi pemenuhan kebutuhan seksual.
Kiranya
kutipan ayat di atas menjadi salah satu ideologi terorisme islam. Maka tidak heran bila ideologi terorisme islam berakar pada
wahyu Allah yang ada dalam Al-Qur’an. Dengan demikian perang dan terror adalah
kehendak Allah SWT, dan ini menjadi satu kewajiban bagi umat islam.
Membaca
firman Allah ini, tak sedikit umat islam menolak pemaknaan kewajiban perang
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an. Mereka menolak tafsiran demikian dengan
mendasarkan pada pandangan “Agama mengajarkan kebaikan”. Dengan pendasaran
inilah mereka akhirnya mengatakan bahwa kaum teroris atau umat islam yang
mencintai perang telah membajak ayat-ayat Al-Qur’an, atau telah salah
menafsirkan wahyu Allah tersebut. Dengan kata lain, mereka mau mengatakan bahwa
tafsiran merekalah yang benar. Tak sedikit juga umat islam akhirnya membuat
semacam rasionalisasi atau pembenaran diri terhadap tudingan yang terkait dengan
wahyu perang Allah ini. Mereka mengatakan bahwa kutipan ayat di atas harus
dilihat dari konteks waktunya. Artinya, kewajiban perang itu hanya berlaku pada
masa Muhammad saja, tidak lagi pada masa kini. Rasionalisasi lainnya adalah
bahwa perang yang dimaksud Allah dalam kutipan di atas harus ditafsirkan
sebagai perang melawan kejahatan, kemasiatan dan juga hawa nafsu.
Benarkah
rasionalisasi demikian? Seratus persen SALAH. Rasionalisasi seperti itu
jelas-jelas bertentangan dengan maksud dan kehendak Allah. Rasionalisasi
berdasarkan konteks waktu membuat wahyu Allah di atas tidak lagi relevan untuk
masa sekarang. Dengan kata lain, wahyu Allah tersebut jadi mati. Dengan
demikian wahyu Allah kehilangan sifat kekalnya. Sedangkan rasionalisasi
berdasarkan tafsir baru langsung kelihatan tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Dalam kutipan ayat di atas, kata “perang” harus dimaknai sebagai perang yang
sesungguhnya, dimana akan terjadi bunuh membunuh. Hal ini sangat jelas
diterangkan secara implisit dalam kalimat kedua wahyu Allah tersebut. Tentulah
perang dengan makna yang sesungguhnya tidak menyenangkan (bagi sebagian orang),
namun itu baik karena mendatangkan pahala. Sementara perang melawan kejahatan,
kemaksiatan dan hawa nafsu harus menjadi tindakan yang menyenangkan (agak aneh
bila dilihat sebagai sesuatu yang tak menyenangkan), dan itu tentu saja
mendatangkan pahala.
Makna
perang adalah perang berulang kali ditegaskan oleh Allah dalam beberapa
kesempatan. Misalnya, dalam surah an-Nisa ayat 74, Allah berfirman, “Karena
itu, hendaklah orang-orang yang menjual kehidupan dunia untuk (kehidupan)
akhirat berperang di jalan Allah. Dan barangsiapa berperang di jalan Allah,
lalu gugur atau memperoleh
kemenangan maka akan Kami berikan pahala yang besar kepadanya.” Dan dalam surah
at-Taubah ayat 111, Allah berkata, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang
mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh
…”
Dengan
demikian, kutipan ayat di atas dengan terang benderang bermakna kewajiban bagi
umat islam untuk berperang. Dan perang yang dimaksud adalah sungguh perang,
dimana disana akan terjadi peristiwa bunuh dan dibunuh. Pemaknaan lain tentulah
tidak sesuai dengan kehendak Allah. Pemaknaan seperti itu jelas-jelas hanya
untuk menyelamatkan pandangan “Agama mengajarkan kebaikan”, bukannya
melaksanakan perintah Allah. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kaum teroris
sudah sesuai pada jalan Allah, karena mereka sungguh-sungguh melakukan kehendak
Allah.
DEMIKIANLAH
kajian atas wahyu Allah dalam surah al-Baqarah ayat 216. Dengan kajian ini,
satu kesimpulan dasar yang bisa diambil adalah islam bukanlah agama kasih,
tetapi agama perang.
Batam,
26 Mei 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar