Jumat, 04 Maret 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-BAQARAH AYAT 143

 


Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS 2: 143)

Publik sudah tahu kalau Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam, selain hadis. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung berbicara kepada Muhammad, yang kemudian meminta pengikutnya untuk menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an dikenal juga sebagai wahyu Allah. Berhubung Allah itu diyakini sebagai maha benar, maka apa yang dikatakan-Nya pun adalah benar. Maka dari itu Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dikenal juga sebagai kitab kebenaran. Tidak ada kesalahan di dalamnya.

Al-Qur’an tidak hanya dilihat sebagai kitab suci semata. Allah sendiri sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah pedoman dan pelajaran bagi umat islam. Dengan perkataan lain, Al-Qur’an dijadikan tuntunan hidup bagi umat islam, bagaimana umat islam bersikap dalam hidup. Agar tidak menimbulkan perdebatan dikemudian hari terkait kehendak Allah itu, maka Allah sendiri telah memudahkan Al-Qur’an. Kemudahan itu pertama-tama terlihat dari bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Arab (QS 19: 97 dan QS 44: 58). Umumnya para ulama menafsirkan kemudahan itu dengan kesederhanaan bahasa yang tidak membutuhkan banyak tafsir, yang bisa berdampak pada perbedaan pendapat.

Berangkat dari dua premis di atas, maka bisa dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Apa yang tertulis di atas hanyalah kalimat pertama dari wahyu Allah yang terdapat dalam ayat 143. Sebenarnya wahyu Allah dalam ayat 143 terdiri dari 5 kalimat. Yang dikutip di atas, dan yang akan ditelaah adalah kalimat pertama. Sekalipun dikatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an merupakan wahyu Allah, namun haruslah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas tidak 100% merupakan perkataan Allah. Kata-kata yang ada dalam tanda kurung, seperti umat islam, perbuatan (2x) dan Muhammad, merupakan tambahan kemudian oleh tangan-tangan manusia. Jadi, aslinya kata-kata Allah (kalimat pertama dari ayat 143) itu berbunyai sebagai berikut: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”

Sejalan dengan perkataan Allah yang telah memudahkan wahyu-Nya, maka kata-kata Allah di atas dapat dipahamai sebagai berikut. Allah telah membuat umat islam sebagai “umat pertengahan” sehingga mereka menjadi saksi atas manusia, sedangkan Muhammad menjadi saksi atas umat islam. Jika dibalik, maka bisa dikatakan bahwa Muhammad menjadi saksi atas umat islam, sedangkan umat islam menjadi saksi atas umat manusia. Sampai di sini, wahyu Allah masih jelas. Namun jika diajukan pertanyaan lebih lanjut, maka akan menimbulkan perdebatan di antara umat islam sendiri.

Pertama, apa yang bisa dijadikan saksi atas manusia? Saksi seperti apa yang dapat diberikan umat islam kepada manusia? Umumnya wahyu Allah ini dipahami bahwa umat islam akan menjadi contoh teladan hidup bagi umat manusia. Menjadi persoalan, sulit menemukan peri hidup baik dari umat islam yang bisa dijadikan contoh. Kalau hanya sebatas kebaikan, umat manusia lain juga ada. Misalnya, mengasihi sesama, menolong, menghibur, dll. Justru yang dilihat manusia dari umat islam adalah hal negatif, seperti sikap permusuhan dan kebencian.

Kedua, kenapa Allah meminta bahkan menjadikan umat islam sebagai saksi bagi manusia lain? Hal ini sungguh menarik karena pada ayat lain, masih di surah yang sama, Allah sudah mengatakan bahwa tidak ada guna memberi peringatan kepada manusia kafir (ayat 6). Setidaknya ada 2 alasan kenapa tak ada guna memberi peringatan kepada manusia kafir, yaitu orang kafir adalah musuh bagi umat islam (QS an-Nisa: 101), dan Allah sudah menetapkan tempat bagi orang kafir adalah neraka. Peringatan saja sudah percuma, bagaimana bisa memberikan persaksian, sementara tidak ada hal baru yang bisa dijadikan saksi bagi umat islam.

Ketiga, apa yang dimaksud dengan “umat pertengahan”? Sesuatu dikatakan “tengah” apabila ia berada di dua sisi yang bertentangan. Sekedar perbandingan, ada istilah non-blok. Sikap non-blok hendak menunjukkan bahwa ia berada di antara dua blok yang berseberangan, namun is memilih bersikap netral, tidak cenderung ke salah satu blok. Jadi, adanya dua blok yang bertentangan. Kesulitan ditemui dengan istilah “umat pertengahan”, karena istilah ini hendak menunjukkan adanya dua sisi yang bertentangan. Menjadi pertanyaan, apa dan bagaimana dua sisi yang bertentangan itu, sehingga umat islam harus menjadi “umat tengah”. Apakah dua sisi itu ada di luar islam atau ada di dalam islam sendiri?

Tak sedikit ulama islam menafsirkan frasa ini dengan model islam moderat. Namun, seperti apa gambaran islam moderat itu, tetap saja kurang jelas. Jika kata “moderat” (yang bisa juga disamakan dengan kata “pertengahan”), hendak menunjukkan suatu sikap menolak 2 ekstrem dalam islam, maka pertanyaannya adalah seperti apa 2 ekstrem itu. Dengan demikian, secara tidak langsung mengakui dua sisi yang bertentangan itu ada di dalam islam sendiri. Selama ini diketahui, sebagaimana juga sudah terungkap pada poin pertama di atas, salah satu ekstrem islam adalah sikap negatif seperti sikap permusuhan, kebencian, intoleransi dan radikalisme serta terorisme. Ini baru satu ekstrem, yaitu sikap negatif. Secara logika, ekstrem lainnya tentulah adalah sikap positif. Akan tetapi, seperti apa gambaran ekstremnya, sangatlah tidak jelas.

Yang terjadi selama ini adalah justru ekstrem yang negatif langsung dipertentangkan dengan sikap moderat. Dengan kata lain, model islam moderat langsung menjadi lawan dari model islam negatif. Hal ini menimbulkan kesan bahwa sikap moderat atau sikap “pertengahan” adalah salah satu bentuk ekstrem lain, yang bernilai positif. Jika memang demikian, maka jelas itu bukanlah “pertengahan”, karena dikatakan “tengah” bila berada di dua sisi, yang bertentangan atau berseberangan, yaitu negatif dan positif. Dengan demikian, tafsiran “umat pertengahan” sebagai model islam moderat dirasakan kurang tepat.

DEMIKIANLAH telaah singkat atas wahyu Allah dalam QS al-Baqarah: 143. Dari telaah singkat ini dapat disimpulkan bahwa wahyu Allah itu kurang jelas, sekalipun Allah sudah mengatakan bahwa wahyu-Nya jelas. Dengan demikian, ada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Allah mengatakan bahwa wahyu-Nya jelas dan mudah, namun nyatanya tidaklah demikian. Selain itu, tafsiran “umat pertengahan” sebagai model islam moderat sangatlah tidak tepat. Tafsiran ini bukannya tanpa masalah. Dengan menafsirkan kata “pertengahan” dengan moderat secara tidak langsung menyetujui adanya islam negatif dan positif, meski yang positif itu sendiri tidaklah jelas.

Tanjung Pinang, 12 Januari 2022

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar