Selasa, 04 Januari 2022

BAHKAN MAUT PUN TAK MEMISAHKAN

Mobil antar jemput anak sekolah berhenti di depan rumah keluarga Yohanes Firmansyah Angsana. Pintu samping mobil terbuka, dan keluarlah gadis cilik dengan tas ransel di punggungnya. Dialah Theresia Putri Angsana, yang biasa disapa Tere, siswi SD St. Agustinus kelas 5.

“Terima kasih, Om Andre,” ucap Tere kepada sopir mobil itu sebelum menutup kembali pintu mobil. Diangkatnya tangannya untuk membalas lambaian tangan teman-temannya dari dalam mobil.

Setelah mobil hilang dari pandangannya, ia membalik badan menuju rumahnya. Di teras rumah ibunya, Maria Handayani Putri, sudah berdiri menanti. Direntangkan tangan menyambut putri bungsunya dalam pelukan. Sebuah kecupan mendarat di kening Tere. Kemudian keduanya memasuki rumah.

“Tere ada peer?”

“Ada, Ma.”

“Ya uda, Tere bawa dulu tasnya ke kamar, ganti baju baru maem. Jangan lupa cuci tangannya.”

Sambil mengiyakan perintah mamanya, Tere berlari kecil menuju kamarnya. Sementara itu Maria menyiapkan makan siang. Tak lama kemudian Tere muncul dan makan siang bersama mamanya.

“Ma, kenapa sih Bang Agus mau ke seminari?” Sambil menikmati makannya, Tere bertanya perihal abangnya yang memutuskan masuk seminari menengah.

“Kan abang mau jadi romo. Kalau mau jadi romo, ya musti masuk seminari.”

“Kayaknya abang betah di sana. Gak pulang-pulang. Gak telponan.”

“Kalau masuk seminari ya harus gitu. Dulu, waktu paman Markus masuk seminari juga gak pulang-pulang. Paling liburan semester aja.” Kisah Maria tentang abangnya.

Tere menghabiskan sisa terakhir makan siangnya dari piringnya. Maria tersenyum puas melihat putrinya menikmati makanannya. Setelah berdoa, Tere membawa piring dan gelas kotor ke dapur. Maria mengembalikan sisa makanan ke dalam lemari makanan.

“Habis ini Tere bobo siang, ya!” Ujar Maria tanpa menyadari Tere sudah di sampingnya.

“Ma, kalau Tere jadi suster boleh gak?”

Maria menatap wajah putrinya. Ia berlulut di hadapan Theresia dan memegang bahunya. “Kalau itu cita-cita Tere, mama setuju. Mama senang.”

“Tapi, nanti mama sendirian di rumah.”

Maria memeluk putrinya. Dibelainya kepala Tere dengan lembut. Ia merasa terharu dengan kepedulian putri bungsunya itu. Yah, sejak suaminya pergi meninggalkannya dan anak-anak 5 tahun lalu, Maria hidup sendiri bersama kedua anaknya. Ia menghidupi keluarganya dengan bisnis kecil-kecilan.

“Mama tetap mendukung,” bisiknya di telinga Tere. “Sekarang Tere bobo dulu ya. Mama mau siap-siap bahan untuk jualan besok.”

“Peernya?”

“Oya. Peer apa sih?”

“Bahasa Indonesia. Bikin cerita tentang anggota keluarga.”

“Maksudnya?”

“Ya bikin cerita tentang anggota keluarga gitu.”

“Kayak hidupnya, gitu?”

Tere mengangguk.

“Semua anggota keluarga atau satu saja?”

“Satu aja. Tere mau cerita tentang kakek. Kan mama suka banggain kakek.”

Maria tersenyum. “Kapan dikumpulin?”

“Ini hari Rabu. Besok…. ,” Tere berpikir sejenak. “Hari Jumat, Ma.”

“Yah uda, ganti dongeng malam ini, mama akan cerita tentang kakek. Besok Tere kembali tulis di buku tugasnya ya.”

Tere menganggukkan kepala lalu pergi menuju kamarnya. Maria termenung sejenak. Ia berpikir rangkaian cerita tentang ayahnya sebagai bahan cerita untuk Tere nanti malam. Apa yang mau kuceritakan tentang ayah, batin Maria.

Namun akhirnya Maria menemukan satu topik menarik. Dengan langkah ringan ia berjalan menuju dapur.

***

Di atas tempat tidur, Tere bersandar di dada Maria yang terus bercerita. Maria menceritakan perjuangan ayahnya menghidupi dan membesarkan ketiga anaknya seorang diri setelah istriya meninggal. Istrinya, yang adalah ibunya Maria, meninggal ketika Maria baru mau masuk sekolah; abang Maria yang pertama saat itu baru kelas 7 dan yang kedua kelas 4. Kematian ibu sangat mendadak. Padahal umur ibu saat itu baru 36 tahun.

Ayah hanya menggunakan jasa pembantu hingga Maria kelas 4 SD. Selebihnya ayah sendiri yang merawat anak-anaknya. Maria adalah anak putri satu-satunya. Kedua saudaranya sangat menyayanginya. Merekalah yang ganti menjaga dan mengurus Maria ketika ayahnya tidak di rumah.

Ayah tak mau mencari wanita lain sebagai ganti ibu bagi anak-anak, demi cintanya kepada istrinya. Para saudara ayah sudah mengusulkan hal itu. Malah ada yang menawarkan calon. Akan tetapi semuanya ditolak ayah dengan halus.

Perjuangan ayah tidaklah sia-sia. Ketiga anaknya terbilang sukses (mungkin kecuali Maria yang gagal dalam keluarga). Putra sulungnya menjadi imam misionaris. Mungkin karena dia, maka Agus, putra Maria, pun mau masuk seminari. Dia pernah bilang pengen seperti paman. Yang kedua tukang servis komputer. Sudah berkeluarga dengan 3 anak. Mereka tinggal di Bandung.

Ayah meninggal tak lama setelah Maria memperkenalkan pacarnya Firmansyah Angsana. Berbeda dengan kedua saudaranya, pernikahan Maria tidak dihadiri oleh orang tuanya.

“Kenapa kakek gak mau menikah lagi?”

“Kakek sangat mencintai nenek. Ketika menikah, cinta kakek hanya kepada nenek. Bahkan maut pun tidak memisahkan mereka.”

“Apa mama sangat mencintai papa sehingga mama gak mau menikah lagi?”

Maria kaget dengan pertanyaan Tere, tapi segera menyembunyikan kekagetannya. “Tere bobo aja ya. Uda malam. Lagian matanya uda ngantuk.”

Setelah berdoa bersama, Maria membuat tanda salib di dahi Tere dan kemudian mengecup keningnya. Ia meninggalkan Tere berbaring di ranjangnya. Maria berjalan menuju dapur. Pertanyaan Tere masih mengiang di telinganya. Pertanyaan itu pernah juga dilontarkan Agus sebelum masuk ke seminari.

“Mama masih mencintai papa kalian walau papa meninggalkan kita,” ujarnya.

“Kalau papa kembali lagi, mama terima?”

“Ketika mengucapkan janji nikah, mama akan menerima papa dalam suka maupun duka, untung dan malang. Hanya kematian saja yang dapat memisahkan. Apapun keadaan papa, mama harus terima. Kita tak boleh membenci papa, meski papa sudah berbuat demikian. Kita musti tetap mencintainya.”

Agus memeluk mamanya.

***

Ruang kelas 5, SD St. Agustinus, hari Jumat, pelajaran bahasa Indonesia. Tere sedang membacakan tugas bahasa Indonesianya. Cerita tentang kakek. Guru dan teman-teman pada serius mendengar. Suasana kelas senyap.

“Jadi, maut pun tidak dapat memisahkan cinta kakek pada nenek. Karena besarnya cinta kakek pada nenek, kakek tidak kawin lagi dan sendirian mengurus mama dan pamanku. Selesai.”

Ada jedah beberapa detik sebelum tepuk tangan menyambut cerita Tere. Mereka merasa terharu. Tere tersenyum. Dia merasa senang menerima pujian. Aku akan cerita ke mama, batinnya.

Wisma Unio, 27 Oktober 2014

by: adrian 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar