Selasa, 13 Juli 2021

KETIKA MAKNA KATA MEMBINGUNGKAN

 


Kata adalah kumpulan huruf yang memiliki makna. Misalnya kata “kursi” mengacu pada sebuah tempat duduk yang memiliki empat tiang penyanggah. Ada banyak jenis kata dalam sebuah tata bahasa. Ada kata benda, kata kerja, kata sifat dan kata sandang dan masih banyak jenis kata lainnya.

Dalam tulisan ini kita akan melihat kata moral. Memang istilah ini tidak terdapat dalam tata bahasa. Yang dimaksud dengan kata moral adalah kata yang mempunyai nilai-nilai moral. Penilaian moral itu menyangkut baik dan buruk; baik dan jahat. Karena itu, dalam kata-kata moral itu ada penilaian baik atau jahat. Beberapa kata-kata moral adalah seperti: sederhana, dermawan, menolong, membunuh, korupsi, fitnah, dengki, dendam, murah hati, mengampuni, kasih, benci, iri hati, dll.

Selain terletak pada kata itu, nilai moral juga terletak pada sesuatu yang kepadanya diarahkan kata-kata itu. Misalnya, kata “pencuri”. Di dalam kata itu terkandung nilai jahat. Namun, jika kata itu ditujukan kepada seseorang, misalnya “Umar pencuri”, maka nilai jahat itu melekat juga pada diri si Umar. Contoh lain misalnya, kata “murah hati”, yang secara moral memiliki nilai baik, jika dikenakan pada “Si Amir”, maka itu berarti si Amir itu orang baik, atau memiliki nilai kebaikan.

Akan tetapi, ada beberapa kata moral yang sedikit bermasalah karena membingungkan. Kebingungan itu bukan terletak pada penilaiannya, karena soal nilainya sudah jelas. Kebingungan itu timbul dari efek penggunaannya, dan itu terfokus pada orang yang menyandang atau kepadanya kata itu dilekatkan. Ada dua kata moral yang dimaksud, yaitu iri hati dan menghina. Dua kata ini mempunyai nilai buruk atau jahat. Dan orang yang menyandangnya, atau kepadanya dikenakan kata ini, berarti yang bersangkutan itu buruk secara moral.

Agama mengajarkan agar umatnya tidak iri hati dan menghina sesama. Namun, kenapa dua kata ini membingungkan? Mari kita lihat satu per satu. Agar jelasnya, saya akan menunjukkannya langsung dalam contoh.

1.        Iri Hati

Kata “iri hati” ini sering disejajarkan dengan kata “cemburu”. Jadi, orang yang iri hati sama saja dengan orang yang cemburu. Tak jarang pula kata ini disamakan dengan kata “dengki”. Kata ini masuk kategori membingungkan.

Kita ambil contoh cerita SMK Fatamorgana tentang sdr. Atikus. Dalam cerita itu dikatakan bahwa guru-guru berpandangan negatif kepada sdr. Atikus yang sering pergi ke luar kota dengan boss. Para guru merasa aneh dengan kebiasaan itu. Keanehan itu dilihat dari keuangan, tugas dan urgensitasnya. Soal uang orang bertanya, biaya perjalanan itu dari mana? Satu masalah kecil, tak satu orang pun yang bisa mengetahui laporan keuangan kecuali boss dan sdr. Atikus. Soal tugas orang bertanya, apa hubungan kepergian itu dengan tugas sdr. Atikus? Satu masalah kecil, tugas sdr. Atikus sendiri memang kurang jelas. Soal urgensitas orang bertanya, apa kepentingannya sehingga sdr. Atikus pergi ke luar kota bersama boss? Bukankah kepergiannya itu mengganggu efektifitas kerjanya?

Terhadap keanehan-keanehan yang dilontarkan para guru itu, sdr. Atikus menanggapinya dengan sederhana. Ia mengatakan kalau pernyataan guru-guru itu lahir dari rasa iri hati. Mereka tidak senang melihatnya bahagia bisa bepergian dengan boss. Mereka cemburu karena mereka tidak mengalami nasib seperti dirinya atau tidak punya kesempatan seperti dirinya. Jadi, sebenarnya ada keinginan di hati para guru untuk bepergian ke luar kota bersama boss, namun tidak mendapat kesempatan.

Sdr. Atikus meletakkan kata moral “iri hati” dan “cemburu” kepada guru-guru yang menilai aneh kebiasaannya bepergian dengan boss ke luar kota. Pernyataan sdr. Atikus ini menempatkan para guru itu sebagai orang yang buruk secara moral. Mereka, dalam kacamata agama, masuk ke dalam golongan orang berdosa. Orang lain yang berada di luar pusaran ini, setelah mendengar penjelasan dari sdr. Atikus, juga menilai guru-guru tersebut sebagai jahat.

Namun, benarkah mereka itu jahat secara moral? Inilah yang membingungkan. Memang kedua kata itu (iri hati dan cemburu) memiliki nilai buruk; dan guru yang dikenakan kata itu, mau tidak mau, dinilai sebagai buruk. Akan tetapi, jika ditelaah dengan baik belumlah tentu demikian. Para guru itu sebenarnya mau bersikap kritis karena melihat adanya keanehan. Salahkah orang bersikap kritis?

2.        Menghina

Kata “menghina” ini sering disejajarkan dengan frase mencemarkan nama baik atau menjelek-jelekkan. Jadi, menghina seseorang sama artinya mencemarkan nama baik seseorang atau menjelek-jelekkannya. Tak jarang pula kata ini disepadankan dengan kata “memfitnah”. Orang yang menghina selalu dituding sebagai pemfitnah. Namun, kata ini masuk kategori membingungkan. Mari kita lihat dalam dua contoh berikut.

Pada jaman ORBA ada humor seperti ini. Pada sebuah aksi demostrasi, seorang mahasiswa berteriak, “Suharto membangun ekonomi bangsa ini di atas utang luar negeri. Memang terlihat derap pembangunan, namun ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat, karena rakyat harus membayar utang itu.” Karena pernyataannya, mahasiswa itu ditangkap dan dijatuhi hukuman. Dalam pengadilan terungkap kesalahan mahasiswa itu, yaitu menghina kepala negara (Suharto) dan membongkar rahasia negara.

Kita kembali ke kisah SMK Fatamorgana dan kita tinggalkan dulu sdr. Atikus. Kita melihat tokoh yang lain, yaitu Ibu Julia. Ibu Julia melihat ada yang aneh soal keuangan di sekolah. Ia mencurigai kepala sekolah bermain dengan uang sekolah. Ia punya alasan untuk curiga. Pertama, kenapa ketika ia menggunakan komputer bendaha dilarang kepala sekolah, sementara yang lain tidak. Kedua, kenapa laporan keuangan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan bedahara sekolah? Ketiga, kenapa ketika ia mengusulkan transparansi keuangan, kepala sekolah kelihatan gugup? Dan masih banyak lagi kecurigaan lain yang ia sendiri tak bisa menjawabnya.

Akan tetapi, seorang guru senior menasehati dia agar jangan menjelek-jelekkan orang. “Tidak baik menghina!” demikian nasehatnya. Agama melarang kita menghina sesama. Itu dosa. Kita harus positive thinking, demikian ia mengakhiri nasehatnya.

Karena kecurigaannya, ibu Julia dicap telah menghina atau menjelek-jelekkan orang lain, dalam hal ini kepala sekolah. Demikian pula dengan pernyataan mahasiswa dalam cerita humor di atas. Hal ini menempatkan ibu Julia dan mahasiswa itu sebagai orang jahat atau buruk secara moral. Akan tetapi, benarkah mereka ini jahat? Bukankah mereka mau menyampaikan sebuah kebenaran?

Memang kebenaran itu harus dibuktikan. Namun, mengungkap kebenaran di jaman ORBA itu ibarat mendirikan benang basah. Hal yang sama juga dalam kasus ibu Julia. Bagaimana mungkin kebenaran bisa terungkap jika laporan keuangan hanya kepala sekolah dan bendahara saja yang tahu; jika kepala sekolah menolak transparansi keuangan. Kebenaran bisa diungkap jika ada iklim demokrasi, bukan otoriterisme (kasus mahasiswa) atau jika ada transparansi keuangan (kasus ibu Julia).

Di sini terlihat pertentangan antara menghina dengan menyuarakan kebenaran. Agama melarang umatnya untuk menghina, tapi agama menganjurkan umatnya untuk menyatakan kebenaran. Di saat orang menyatakan sebuah kebenaran, ia dikenakan dakwaan menghina, yang secara otomatis menempatkan dia pada posisi sebagai orang jahat. Apakah kebenaran yang berdampak pada terbongkarnya kejelekan seseorang itu dikatakan menghina?

Yang sering menjadi permasalahan adalah orang lebih suka mendukung pada korban. Maka ketika ada orang yang terkena dampak kebenaran, orang lantas bersimpati padanya dan mendukungnya serta menilai mereka yang telah menyatakan kebenaran itu sebagai penghina atau pencemar nama baik. Mereka itu dinilai jahat.

Jelas hal ini sangat membingungkan!

Demikianlah dua kata moral yang sering membuat orang bingung. Maksud hati baik (bersikap kritis dan mengungkap kebenaran) namun akhirnya dituding jahat. Tentu tidak ada orang yang dari awalnya ingin mendapat gelar jahat. Namun efek jahat yang akan dikenakan sebagai dampak dari niat baik itu membuat orang sering mengurung niatnya. Akhirnya kejahatan tetap terlestari.

Nah, bikin galau kan?

diolah dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar