Jumat, 26 Februari 2021

MEMAHAMI PESAN TERSEMBUNYI DE-RADIKALISASI


 

Istilah de-radikalisasi selalu dikaitkan dengan terorisme, dan istilah terorisme selalu dikaitkan dengan islam. Umumnya terorisme biasanya dipahami sebagai tindakan kekerasan yang mengatas-namakan suatu agama tertentu sehingga menimbulkan ketakutan pada umat agama lain. Bisa dikatakan bahwa kaum teroris merupakan kelompok orang yang radikal, kelompok orang yang melaksanakan ajaran agamanya secara radikal. Memang ada pandangan bahwa kaum teroris telah menyalah-gunakan ajaran agamanya atau salah memahami ajaran agamanya. Bahkan ada pandangan yang ekstrem, yang menilai bahwa kaum teroris bukanlah penganut agama yang ajaran agamanya sedang dijalankan (baca: islam).

Konsep radikal sendiri sebenarnya mempunyai makna positif. Setiap umat agama, apapun agamanya, terpanggil untuk melaksanakan ajaran agamanya secara konsisten dan konsekuen, alias radikal. Akan tetapi, dalam konteks ini paham radikal selalu dikonotasikan dengan negatif. Kelompok radikal atau orang yang terpapar paham radikal selalu dinilai buruk, karena mereka akan dikaitkan dengan tindak kekerasan, bahkan kejahatan.

Biasa ditemui dalam pemberitaan di media massa terkait dengan pelaku teroris yang tertangkap bahwa mereka akan menjalani program de-radikalisasi. Atau juga adanya program de-radikalisasi yang ditujukan kepada orang atau sekelompok orang yang disinyalir sudah terpapar paham radikal. Contoh terakhir adalah kasus pembebasan Ustad Abu Bakar Ba’asyir (ABB), seorang tokoh ulama islam yang dikenal cukup radikal. Ada banyak seruan yang ditujukan kepadanya agar ia kelak dapat menjalankan dakwanya yang sejuk (tidak ada kekerasan). Dengan kata lain, ABB diminta untuk tidak menjadi radikalis. Semua contoh dengan radikalisme ini terkait dengan islam.

Secara sederhana konsep atau paham de-radikalisasi dimaknai sebagai upaya untuk menghapus paham atau ajaran islam yang radikal. Ada yang mengaitkannya dengan istilah moderat. Karena itu, konsep atau paham de-radikalisasi mengarahkan orang menjadi islam moderat. Pesan apa yang mau disampaikan dengan konsep atau paham de-radikalisasi ini?

Pertama-tama dapatlah dikatakan bahwa di balik konsep atau paham de-radikalisasi secara tidak langsung mau mengakui adanya wajah ganda islam. Artinya bahwa islam mempunyai wajah ganda. Di satu sisi islam berwajah radikal, dan di sisi lainnya berwajah moderat. Islam berwajah radikal tampak dalam islam teroris dan intoleran, yang penuh kekerasan, kebencian dan permusuhan. Sementara islam moderat terlihat dalam islam “toleran”, yang bisa bersahabat dengan umat agama lain. Karena itu, konsep atau paham de-radikalisasi merupakan sebuah upaya untuk menghapus salah satu wajah islam, yaitu wajah radikal. Atau dengan kata lain, konsep atau paham de-radikalisasi merupakan sebuah usaha untuk menampilkan hanya satu wajah islam, yaitu wajah islam moderat.

Jadi, dari uraian di atas setidaknya ada 2 pesan yang hendak disampaikan lewat konsep atau paham de-radikalisasi, yaitu pengakuan akan wajah ganda islam dan penegasian satu wajah islam. Pengakuan akan wajah ganda islam secara tidak langsung menolak pandangan ekstrem yang menilai bahwa islam bukan agama teror atau para teroris bukanlah penganut agama islam. Siapa yang berani mengatakan bahwa ABB bukan islam? Terorisme adalah islam, dan para teroris adalah pemeluk islam. Mereka menjalankan tindakannya berdasarkan ajaran agama, yang oleh banyak kalangan islam dinilai telah terjadi kesalah-pahaman.

Pesan kedua yang hendak disampaikan memiliki beberapa problem. Apa yang dilakukan oleh islam moderat untuk menghapus wajah islam radikal, tidak jauh berbeda dengan upaya islam radikal yang hendak menghilangkan wajah islam moderat. Secara tidak langsung, antara kedua wajah islam ini telah terjadi saling negasi satu sama lain. Hal ini terlihat dari beberapa argumen seperti islam moderat menilai bahwa kaum teoris bukanlah islam, sementara kaum teroris menganggap kelompoknya merupakan islam yang sebenarnya.

Problematik saling negasi antara islam moderat dan islam radikal dapat berujung pada pertanyaan wajah islam mana yang benar. Sudah bisa dipastikan pertanyaan tersebut tidak menemukan jawabannya, karena masing-masing pihak tentu bersikukuh dengan pendapat dan penilaiannya masing-masing. Masing-masing pihak mengklaim wajahnya yang benar, dan menyalahkan wajah yang lain.. Persoalan ini bahkan tidak pula menemui penyelesaiannya, karena dalam islam tidak ada otoritas yang berwewenang menjadi penentu setiap sengketa atau perbedaan pendapat.

Memang dalam Al-Qur’an, misalnya QS an-Nisa (4): 59, ada ajaran untuk membantu umat islam keluar dari permasalahan perbedaan pendapat, seperti perbedaan wajah islam ini. Akan tetapi, tetap saja ayat Al-Qur’an itu tidak bisa diterapkan untuk persoalan-persoalan saat ini. Dalam surah itu dikatakan bahwa ada 2 subyek yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat dalam islam, yaitu Allah dan nabi Muhammad. Menjadi persoalan, bagaimana bisa tahu keputusan Allah, dan bagaimana bertanya kepada Muhammad yang sudah mati.

Karena itulah, perbedaan-perbedaan dalam islam selalu diselesaikan, kalau tidak dengan cara negasi yah pakai cara kekerasan. Misalnya, islam sunni menegasi islam syiah, atau sebaliknya; tak sedikit umat islam Indonesia menolak dan menganggap Ahmadiyah bertentangan dengan islam; atau ketika Nahdlatul Ulama memproklamasikan “Islam Nusantara” tak sedikit umat islam yang menganggapnya sebelah mata, alias merasa aneh. Belum lagi soal beberapa perbedaan pandangan soal ajaran-ajaran islam. Intinya, atas perbedaan-perbedaan tersebut tidak ada satu penyelesaian; yang ada adalah penegasian tanpa ada dasar yang kuat.

Problem lain dari pesan kedua dari konsep atau paham de-radikalisasi menyangkut esensi agama islam itu sendiri. Sebagaimana diketahui, sekalipun berwajah radikal tetaplah ia islam, karena radikalismenya mendapat pendasarannya pada ajaran islam, yang tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT. Apa yang tertulis di dalamnya adalah kata-kata Allah sendiri. Nah, di dalam Al-Qur’an ada perintah kepada umat islam untuk memusuhi, bersikap keras bahkan membunuh orang kafir. Orang kafir adalah musuh yang harus dibinasakan. Bagi kaum radikal semua ini adalah perintah Allah. Karena itu, dengan bersikap keras, memusuhi bahkan membunuh orang kafir, kaum radikal telah melaksanakan kehendak Allah SWT.

Upaya de-radikalisasi tentulah akan bersentuhan dengan perintah Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an. Akankah teks-teks yang menjadi pembentuk wajah islam radikal itu dihilangkan dari Al-Qur’an? Pastilah hal ini justru akan menimbulkan masalah baru lagi, atau juga akan menciptakan lingkaran setan antara islam radikal dan islam moderat. Islam moderat mengatakan tafsir kaum radikal salah, sementara kaum radikal menilai islam moderat salah memahami perintah Allah itu. Masalah ini mirip dengan kasus Ustad Abdul Somad (UAS) yang telah menghina agama kristen dengan pernyataan “jin kafir”. Bagi UAS pernyataannya sudah sesuai dengan aqidah islam, yang didasarkan pada hadis, sehingga dia merasa tak perlu meminta maaf.

Tentulah bagi kelompok islam radikal upaya de-radikalisasi merupakan bentuk penghapusan islam, atau memakai istilah yang lazim dipakai, memusuhi islam. Menghadapi upaya de-radikalisasi ini tak sedikit tokoh islam radikal akan menyulut emosi umat islam lainnya dengan kata-kata “kriminalisasi agama” atau penghinaan terhadap islam. Untuk menguatkan emosi umat, tentulah diambil dasar Al-Qur’an yang selalu dipakai sebagai pendasaran “Bela Agama”.

Demikianlah pesan tersembunyi dari konsep atau paham de-radikalisasi dengan segala problematikanya. Adakah solusi yang bisa ditawarkan?

Tentulah sangat sulit untuk menentukan mana yang benar di antara kedua wajah islam ini. Mengakui yang satu dengan menegasi yang lain tentulah akan menciptakan masalah, dan hal itu jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Wahyu Allah yang tertuang dalam surah an-Nisa (4): 59 juga tidak bisa dipakai menyelesaikannya. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah saling mengakui di antara kedua wajah islam ini. Artinya, islam moderat harus mengakui bahwa islam radikal adalah juga islam, demikian pula halnya dengan islam radikal. Dengan kata lain, setiap umat islam harus mengakui wajah ganda islam; bahwa islam mempunyai wajah radikal sekaligus moderat. Kedua wajah ini tak terpisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Tidak ada islam tanpa wajah islam radikal atau wajah islam moderat. Wajah islam yah radikal sekaligus moderat. Tidak bisa hanya satu wajah saja. Inilah paradoks islam.

Setelah sama-sama saling mengakui, maka langkah berikutnya adalah berusaha untuk sama-sama menampilkan wajah tersebut secara berimbang. Sangatlah tidak bijaksana ketika salah satu wajah tampil dominan wajah lainnya malah menegasinya. Sikap menegasi merupakan bentuk iri atau cemburu karena tidak bisa tampil dominan. Hal inilah yang terjadi pada wajah islam moderat. Mereka iri terhadap islam radikal yang tampil dominan. Seharusnya, bukan sikap iri hati yang ditampilkan, melainkan islam moderat harus berusaha kuat menampilkan wajahnya sehingga terciptalah keseimbangan wajah islam. Dengan kata lain, baik islam moderat maupun islam radikal sama-sama berupaya, dengan caranya masing-masing, agar wajah islam terlihat seimbang.

Ada satu nasehat Allah SWT, yang selalu diulang-ulang. Allah menghendaki agar umat islam tidak melampaui batas, karena Allah memang tidak suka  pada orang-orang yang melampaui batas [bdk. QS al-Baqarah (2): 190; QS Hud (11): 112]. Allah akan membinasakan atau memberi azab kepada orang-orang yang melampaui batas [QS Taha (20) 127: QS az-Zariyat (51): 34]. Nasehat untuk tidak melampaui batas sangatlah cocok untuk kaum islam radikal dan juga islam moderat demi terciptanya islam yang sejati.

Dabo Singkep, 20 Januari 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar