Jumat, 30 Oktober 2020

INI ALASAN TAK ADA PERKOSAAN TKW DI ARAB SAUDI


Sudah sering kita dengar kisah pilu para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di negara Arab Saudi. Mereka disiksa sampai ada yang mengalami cacat fisik. Tak sedikit juga TKW itu diperkosa (menurut standar umum). Bahkan ada di antara mereka yang meregang nyawa. Derita pilu yang dialami para TKW ini ironisnya terjadi di sebuah negara yang berlandaskan pada ajaran agama, yaitu agama islam. Mirisnya lagi, para korban kekerasan dalam rumah tangga itu umumnya beragama islam.
Sekalipun ada kekerasan seksual (perkosaan), namun berita kasus TKW diperkosa nyaris tak pernah terdengar (kalau tak mau dikatakan tak ada sama sekali). Meski ada proses pengadilan, pelaku biasanya dijerat dengan pasal kekerasan fisik, bukan kekerasan seksual, walau korban benar-benar mengalami hal tersebut.
Tentu orang akan bertanya, sungguhkah ada terjadi perkosaan terhadap TKW? Jika menyimak sepenggal lirik lagu Doel Sumbang yang berjudul, “Balada Seorang TKW”, kita tidak saja menyakini adanya kasus perkosaan itu tetapi juga hilangnya kasus tersebut dari kehidupan, alias tidak ada. Doel Sumbang menulis, “Mungkin karena kau jelita ibu // Majikanmu mau memperkosamu // Janganlah kau ragu ibu // Ambillah palu atau mutu // Dan hajarlah anu-nya // Kemudian hajarlah anu-nya.” Di sini, secara implisit, terdengar nada kebencian dan kemarahan terhadap hukum yang tidak adil. Sekalipun ada tindak perkosaan, namun hukum pengadilan tidak bisa membuktikan dan menghukum pelakunya. Karena itulah Doel Sumbang menawarkan “main hakim sendiri” biar keadilan ditegakkan.
Atau kita bisa membaca tulisan Muthiah Alhasany di kompasiana dengan judul “Ini Penyebab TKW Diperkosa di Arab Saudi”. Judul tersebut sudah mengisyaratkan adanya perkosaan di tanah islam itu. Akan tetapi, selalu saja kasus perkosaan ini tidak terdengar ke publik. Karena itu, menjadi pertanyaan, kenapa kasus perkosaan di Arab Saudi atau negara islam pada umumnya sulit dibuktikan sehingga nyaris kasus tersebut tidak ada? Jadi, sekalipun ada, namun tidak ada.

Jawabannya terletak pada hukum yang dipakai, yaitu hukum yang berdasarkan agama. Seperti yang sudah diketahui Arab Saudi adalah negara agama, yang mendasarkan hukumnya pada hukum islam. Hukum islam mengacu pada Al-Qur’an dan hadis. Kasus perkosaan sulit dibuktikan karena keterbatasan saksi. Korban perkosaan adalah wanita. Al-Qur’an mengajarkan bahwa kesaksian seorang wanita nilainya hanya setengah dari kesaksian seorang pria. Dibutuhkan 2 orang wanita untuk senilai kesaksian 1 orang pria, sementara dalam pesidangan dibutuhkan 2 orang saksi (bdk. QS al-Baqarah: 282). Dengan kata lain, kesaksian seorang wanita tidaklah penuh, berbeda dengan kesaksian seorang pria yang dinyatakan penuh. Hukum islam sepertinya tidak memberi peluang pada ilmu pengetahuan, misalnya lewat visum. Maklum, metode ini tidak tertulis dalam Al-Qur’an dan hadis. Mengambil kesaksian orang ketiga juga tetap akan menemui jalan buntu. Kesulitannya bisa dipahami dengan mempelajari dan membandingkan yurisprudensi kasus perzinahan yang terjadi pada tahun 17 Hijriah (638 Masehi). Berikut kisahnya.
Suatu hari dibawa ke hadapan Umar sepasang anak manusia, al-Mughirah ibn Shu’bah dan Um Jamil, yang kedapatan berbuat zinah. Tiga sahabat nabi, yakni Abi Bikra, Nafi ‘a bin al-Harith dan Shibal bin Ma’abad mengaku telah menyaksikan kedua orang tersebut berzinah. Ketika sahabat nabi yang keempat (Zaiad ibn Shamalah) muncul, Umar meyakinkannya bahwa dia tidak akan mengecewakan al-Mughirah ibn Shu’bah. Umar menanyakan apa yang dilihat Zaiad.
Zaiad menjawab: “Aku melihat mereka, dan mendengar dengusan nafas yang kuat, dan kulihat dia telungkup di atas perut dan payudara Um Jamil.”
Umar: “Apakah kau melihat dia memasuk-keluarkan penisnya saat al-Mail masuk ke dalam al-Mukahal?”
Zaiad menjawab: “Tidak. Tapi aku melihat dia mengangkat kedua kaki Um Jamil dan tubuhnya naik turun di antara kedua kaki Um Jamil. Dan aku melihat dia melakukannya dengan sepenuh tenaga dan aku mendengar dengusan nafas yang keras.”
Umar kembali bertanya: “Apakah kau melihat dia memasuk-keluarkan penisnya saat al-Mail masuk ke dalam al-Mukahal?”
Dengan tegas Zaiad menjawab, “Tidak.”
Sontak Umar berkata, “Allahu Akbar. Panggil al-Mughirah ibn Shu’bah kemari dan beri ketiga saksi delapan puluh cambukan.”
Bayangkan kesulitan dan tantangan orang ketiga untuk membuktikan sungguh adanya perkosaan. Dia harus sungguh yakin melihat penis majikan masuk ke dalam lobang vagina pembantu rumah tangga (TKW). Jika tidak, maka dia sendiri akan mendapat hukuman. Karena itulah, kasus perkosaan benar-benar sulit dibuktikan dengan menggunakan hukum islam. Berhadapan dengan kasus perkosaan, korban hanya berjuang sendiri, namun malangnya kesaksiannya tidak diakui karena dia seorang wanita.
Selain itu, tidak adanya kasus perkosaan di Arab Saudi karena dalam arti tertentu majikan boleh melakukan persetubuhan dengan pembantunya (TKW), terlepas apakah TKW itu mau atau tidak. Hal ini dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, ….., yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki (QS al-Mukminun: 1, 5 – 6).
Wahyu Allah SWT ini kembali ditegaskan dalam QS al-Ma’arij: 29 – 30, dimana mereka yang melakukan hal tersebut dikatakan tidak tercela.
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
Wahyu Allah ini dimaknai bahwa seorang majikan boleh melakukan persetubuhan dengan istri dan juga hamba sahayanya. Sekalipun ia tidak terikat perkawinan dengan hambanya, namun ia bisa bersetubuh dengannya; dan ini bukan dosa zinah. Malah, menurut surah al-Mukminun, ia adalah orang yang sungguh beruntung. Jika majikan bersetubuh dengan hambanya, entah hambanya suka atau tidak, berarti majikan telah melakukan kehendak Allah SWT.
Siapa itu hamba sahaya? Memang hamba sahaya, dalam kutipan Al-Qur’an di atas, adalah konteks masa lalu. Untuk saat ini, hamba sahaya dapat dimaknai sebagai pembantu atau pelayan rumah tangga. Mereka itulah TKW. Karena itu, wahyu Allah ini bisa diterjemahkan dengan “Sungguh beruntung ………, orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau pembantu rumah tangga yang mereka miliki.”
Wahyu Allah inilah yang meloloskan majikan yang melakukan pemaksaan bersetubuh dengan pembantunya, sekaligus membuat tidak adanya kasus perkosaan di Arab Saudi. Semua umat islam, temasuk hakim yang menjalankan proses pengadilan harus tunduk pada hukum Allah. Majikan yang melakukan persetubuhan dengan pembantunya, tak peduli apakah itu dilakukan atas dasar sukarela atau paksaan, dilihat sedang menjalankan kehendak Allah SWT. Masak orang yang melakukan kehendak Allah dihukum? Allah sendiri telah menyebut mereka yang melakukan hal itu adalah sungguh beruntung.
Muthiah Alhasany, dalam tulisannya, menyebut alasan ini sebagai bentuk feodalisme. Alhasany menulis, “Masih banyak orang Arab yang menganggap bahwa TKW tak lebih dari budak belian yang bebas diperlakukan apa saja. Jadi, mereka merasa sah-sah saja menggauli TKW yang bekerja di rumahnya.” Mungkin Alhasany tidak menyadari bahwa mental feodalisme yang disebutnya itu berakar dari wahyu Allah SWT yang tertulis dalam Al-Qur’an. Orang Arab yang menggauli TKW telah melaksanakan kehendak Allah SWT.
Jadi, kasus majikan menyetubuhi pembantunya, yang bagi mata publik (termasuk Indonesia) dinilai sebagai perkosaan, adalah lumrah di Arab Saudi. Hal itu merupakan pelaksanaan kehendak Allah SWT. Tindakan tersebut tidak melanggar hokum, malah “sesuai” dengan hukum.
Lingga, 1 Okt 2020
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar