Rabu, 30 September 2020

SEBELUM CERAI, BACALAH KISAH INI


Pada hari pernikahan, Joko membopong istrinya, Sri. Mobil pengantin berhenti di depan flat mereka yang cuma berkamar satu. Sahabat-sahabat Joko menyuruhnya membopong Sri begitu keluar dari mobil. Maka Joko membopong Sri memasuki rumah mereka. Mereka kelihatan malu-malu. Joko merasa dirinya adalah seorang pengantin pria yang sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.

Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening. Mereka mempunyai seorang anak. Joko terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih di antara mereka pun semakin surut. Sri adalah pegawai sipil. Setiap pagi mereka berangkat kerja bersama-sama dan sampai di rumah juga pada waktu yang kurang lebih bersamaan.

Anak mereka sedang belajar di luar negeri. Perkawinan mereka kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka. Dewi hadir dalam kehidupan Joko. Waktu itu adalah hari yang cerah. Joko berdiri di balkon dengan Dewi yang sedang merangkulnya. Hatinya sekali lagi terbenam dalam aliran cinta. Ini adalah apartmen yang dibelikan untuknya. Dewi berkata, “Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis.” Kata-katanya tiba-tiba mengingatkan Joko pada istrinya. Ketika mereka baru menikah, istrinya pernah berkata, “Pria sepertimu, begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang ini, Joko menjadi ragu-ragu. Joko tahu kalau dirinya telah  mengkhianati Sri. Tapi dia tidak sanggup menghentikannya. Joko melepaskan tangan Dewi dan berkata, “Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, O.K.? Aku ada sedikit urusan di kantor” Kelihatan Dewi jadi tidak senang karena Joko telah berjanji menemaninya.

Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas dipikiran Joko walaupun kelihatan tidak mungkin. Bagaimanapun, Joko merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada Sri. Walau bagaimanapun dijelaskan, ia pasti akan sangat terluka. Sejujurnya, ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai di depan TV. Makan malam segera tersedia. Lalu mereka akan menonton TV sama-sama. Atau Joko akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dewi. Ini adalah hiburan.

Suatu hari Joko berbicara dalam guyon, “Seandainya kita bercerai, apa yang akan kau lakukan?” Sri menatap selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Joko tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa dirinya serius.

Ketika Sri mengunjungi kantor Joko, Dewi baru saja keluar dari ruangannya. Hampir seluruh staf menatap Sri dengan mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu  selama berbicara dengannya. Ia kelihatan sedikit curiga. Ia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahan suaminya. Tapi Joko membaca ada kelukaan di matanya.

Sekali lagi, Dewi berkata padaku, Mas, ceraikan ia, O.K.? Lalu kita akan hidup bersama.” Joko mengangguk. Joko tahu tidak boleh ragu-ragu lagi.

Ketika malam itu Sri menyiapkan makan malam, Joko memegang tangannya, ”Ada sesuatu yang harus kukatakan.” Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi Joko melihat ada luka di matanya. Tiba-tiba Joko tidak tahu harus berkata apa. Tapi Sri tahu kalau dirinya terus berpikir. “Aku ingin bercerai,”  Joko mengungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang.

Sri seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi ia bertanya secara lembut, ”kenapa?” Joko menghindari pertanyaannya dan hanya jawab: “Aku serius.” Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepada Joko, ”Kamu bukan laki-laki!”

Pada malam itu, mereka saling membisu. Sri sedang menangis. Joko tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkawinan mereka. Tapi Joko tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatinya telah dibawa pergi oleh Dewi. Dengan perasaan yang amat bersalah, Joko menuliskan surat perceraian dimana istrinya memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaan. Ia memandang sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian.

Joko merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah 10 tahun hidup bersama sekarang menjadi seorang yang asing dalam hidup. Tapi Joko tidak bisa mengembalikan apa yang telah diucapkan. Akhirnya Sri menangis dengan keras di depan Joko, dimana hal tersebut tidak pernah dilihat sebelumnya. Bagi Joko, tangisannya merupakan suatu pembebasan. Ide perceraian telah menghantui dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.

Pada larut malam, Joko kembali ke rumah setelah menemui klien. Joko melihat Sri sedang menulis sesuatu. Karena capek Joko segera ketiduran. Ketika terbangun tengah malam, Joko melihat Sri masih menulis. Joko tertidur kembali. Sri menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya. Ia tidak menginginkan apapun dari Joko, tapi Joko harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu mereka harus hidup bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana: Anak mereka akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak mereka melihat kehancuran rumah tangga orangtuanya.

Sri menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya, Mas, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita?”

Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah. Joko mengangguk dan mengiyakan.

“Kamu membopongku di lenganmu,” katanya. “Jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu.” 

Joko menerima dengan senyum. Joko tahu Sri merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap perkawinan mereka diakhiri dengan suasana romantis.

Joko memberitahukan Dewi soal syarat-syarat perceraian dari istrinya. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini,” ia mencemooh. Kata-katanya membuat Joko merasa tidak enak.

Sri dan Joko tidak mengadakan kontak badan lagi sejak dikatakan perceraian itu. Mereka saling menganggap orang asing. Jadi ketika Joko membopongnya di hari pertama, mereka kelihatan salah tingkah. Anak mereka menepuk punggung mereka, ”Wah, papa membopong mama, mesra sekali.” Kata-katanya membuat Joko merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, Joko berjalan 10 meter dengan Sri dalam lengannya. Sri memejamkan mata dan berkata dengan lembut, ”Mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan pada anak kita.”  Joko mengangguk, merasa sedikit bimbang. Joko melepaskan Sri di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan Joko pergi ke kantor.

Pada hari kedua, bagi mereka terasa lebih mudah. Ia merebah di dada Joko, mereka begitu dekat sampai-sampai Joko bisa mencium wangi dibajunya. Joko menyadari bahwa dirinya telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Joko melihat bahwa Sri tidak muda lagi, beberapa kerut tampak di wajahnya.

Pada hari ketiga, Sri berbisik pada Joko, “Kebun di luar sedang dibongkar, hati-hati kalau kamu lewat sana.”

Hari keempat, ketika Joko membangunkan istrinya, ia merasa kalau mereka masih mesra seperti sepasang suami istri dan Joko masih membopongnya di lengannya. Bayangan Dewi menjadi samar.

Pada hari kelima dan enam, Sri masih mengingatkan Joko beberapa hal seperti, dimana ia telah menyimpan baju-bajunya yang telah disetrika, harus hati-hati saat memasak, dll. Joko mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin erat.

Joko tidak memberitahu Dewi tentang ini. Joko merasa begitu ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatnya semakin kuat. Joko berkata padanya, “Kelihatannya tidaklah sulit membopongmu sekarang.”

Sri sedang mencoba pakaiannya, Joko sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat, ”Semua pakaianku kebesaran.” 

Joko tersenyum. Tapi tiba-tiba Joko sadar istrinya semakin kurus. Itu sebabnya dia bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan dirinya semakin kuat. Joko tahu Sri mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, Joko merasakan perasaan sakit. Tanpa sadar disentuh kepala istrinya.

Anak mereka masuk pada saat tersebut. “Pa, sudah waktunya membopong mama keluar.” Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yang penting. Sri memberikan isyarat agar anak mereka mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Joko membalikkan wajah sebab takut akan berubah pikiran pada detik terakhir. Joko menyanggah Sri di lengannya, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangan Sri memegang Joko secara lembut dan alami. Joko menyanggah badannya dengan kuat seperti kembali ke hari pernikahan. Tapi Sri kelihatan agak pucat dan kurus, membuat Joko sedih.

Pada hari terakhir, ketika membopongnya, Joko melangkah dengan berat. Anak mereka telah kembali ke sekolah. Sri berkata, “Sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua.” Joko memeluk istrinya dengan kuat dan berkata, “Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra.”

Di depan rumah Dewi, Joko melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Joko takut keterlambatan akan membuat pikiran berubah. Joko menaiki tangga. Dewi membuka pintu. Joko berkata padanya, ”Maaf Dewi, aku tidak ingin bercerai. Aku serius.” 

Dewi melihat kepada Joko, kaget. Ia menyentuh dahi Joko. “Kamu tidak demam.” 

Joko menepiskan tangannya dari dahi. “Maaf, Dewi, Aku cuma bisa bilang maaf padamu, aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku minta maaf padamu.”

Dewi tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepada Joko dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak.

Joko menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam perjalanan Joko melewati sebuah toko bunga, memesan sebuah buket bunga kesayangan istrinya. Penjual bertanya apa yang mesti ditulis dalam kartu ucapan.

Joko tersenyum, dan bilang: “Tulislah: Aku akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua…”

diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar