Kamis, 25 Juni 2020

SOMBONG + SERAKAH = SINGLE FIGTHER

Ketika membangun rumah tangga, suami dan isteri memiliki cita-cita mewujudkan kesejahteraan hidup rumah tangga, baik bagi mereka dan juga anak-anak hasil buah cinta mereka. Mewujudkan cita-cita ini merupakan tugas dan tanggung jawab semua anggota keluarga, disesuaikan dengan kapasitas masing-masing.

Ada sebuah keluarga terdiri dari suami, isteri dan lima orang ada. Mengikuti tradisi yang ada, suami adalah kepala keluarga. Dia bertanggung jawab atas kehidupan rumah tangganya. Karena ingin mewujudkan tanggung jawab itu, sekaligus ingin menunjukkan bahwa dia benar-benar suami (kepala keluarga yang bertanggung jawab), ia ambil semua peran yang ada.

Isteri hanya bertugas melahirkan dan menyusui anak (maklum, tugas yang satu ini tidak bisa diambil alihnya). Sedangkan anak-anak hanya makan dan belajar saja (ini juga tidak dibutuhkannya). Sementara sang suami ini, karena mau menunjukkan rasa tanggung jawabnya, mengambil alih tugas yang ada. Dia yang memasak, mencuci pakaian, mencuci piring dan membersihkan rumah serta halaman. Dia kerja mencari uang. Dia yang mengurus, mendidik dan membesarkan anak-anak. Dia yang mengantar anak ke sekolah, membayar uang sekolah anak di sekolah, mengikuti pertemuan anak di sekolah. Dia juga yang membayar rekening listrik, telepon, air, dll. Dia-lah yang mengurus semuanya. Isteri hanya melahirkan dan menyusui, dan anak-anak hanya makan dan belajar.

Suatu hari, ia bangun agak kesiangan. Setelah masak nasi dan menyiapkan sarapan bagi isteri dan anak-anak, ia mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor. Pakaian kotor, yang biasanya dicuci setelah masak nasi tadi, ditunda. “Mungkin, siang saya pulang sebentar untuk cuci pakaian.” Karena waktu juga sudah mepet, piring kotor pun tak sempat dicuci. Dia berpesan kepada isterinya bahwa nanti siang dia pulang sebentar sekalian cuci piring dan pakaian. Dengan mobil ia pertama-tama mengantar anak-anak ke sekolah.


“Pa, nanti jam sepuluh ada pertemuan kepala sekolah dengan orangtua.” Ujar anak tertuanya.

“Di sekolah kami juga ada. Jam 11.30.” Sambung anak kedua.

“Ya, papa akan datang.”

“Pa, hari ini ada acara perpisahan di sekolah. Papa diundang. Datang ya?” Pinta anaknya yang bungsu, yang masih duduk di TK.

“Jam berapa sayang?”

“Jam 09.00. Putri ada bawa acara nanti. Papa nonton ya?”

“So pasti!” Ujar sang suami sambil melirik arloji tangannya.

Setelah mengantar semua anaknya ke sekolah masing-masing, sang suami melaju ke kantornya. Tepat jam 07.45, ia tiba di sana. Setelah basa-basi dengan rekan kantor sebentar, ia langsung tenggelam dalam kesibukan kantornya.

Jam 08.35 ia meninggalkan kantor menuju ke TK Pertiwi. Dalam perjalanan ia coba membagi waktu untuk kegiatannya. Sementara menyaksikan acara perpisahan sekolah putri bungsunya itu, HP-nya mengeluarkan nada panggil. Boss di kantor mengingatkan bahwa jam 10.15 nanti ada pertemuan. Saat itu jam di arlojinya sudah menunjukkan jam 09.55. “Kalau saya pulang dulu antar Putri pulang, pasti tidak dapat ikut pertemuan. Tentulah boss akan marah.”

Jam 10.05 acara di TK selesai. Sang suami segera menjemput putrinya dan langsung menuju kantor. Ia meminta Putri untuk menunggu di ruang kerjanya. Sementara pertemuan di kantor cukup menyita banyak waktu. Sang suami sesekali menatap jam tangannya. Ia berpikir soal pertemuan di sekolah anaknya yang pertama dan kedua. Ia juga berpikir soal putri bungsunya yang sedari tadi menunggu. Tentu dia sudah lapar. Jam 12.10 pertemuan baru selesai.

Sang suami segera menuju ruang kerjanya. Didapatinya si Putri tertidur di bangku yang ada di kantor bapaknya. Dengan kebapaannya, digendong anaknya itu dan berjalan menuju mobil di halaman parkir. Mulailah ia menjemput anak-anaknya satu per satu. Setelah semua terkumpul, mereka pulang ke rumah.

Dalam keadaan lapar, mereka menuju ke rumah. Namun sampai di rumah, nasi dan lauk pauk tak ada. Piring masih kotor di tempatnya. Pakaian kotor pun masih menumpuk. Maklum, semua itu adalah tugas sang suami sebagai kepala keluarga.

Akhirnya, sang suami mengajak isteri dan anak-anaknya pergi ke warung untuk menikmati makan siangnya. Setelah menikmati santap siang, dank arena capek, mereka pulang dan langsung tidur. Ketika bangun sore, sang suami ingat akan pakaian kotor. Segera ia menuju tempat cuci. Dimasukkannya semua pakaian itu ke mesin cuci. Namun, ketika ia menghidupkan mesin itu, tak ada arus. Mesin tak bergerak sama sekali.

“Ma, listrik mati ya?”

“Pa, kita belum bayar listrik.”

Pesannya:

Ini adalah contoh bagaimana serakahnya sang kepala rumah tangga dalam tugas dan perannya. Sebenarnya ia dapat berbagi tugas dengan isterinya, bahkan dengan anak-anaknya. Rumah tangga bukan semata-mata menjadi tanggung jawabnya sendiri, melainkan tanggung jawab semua anggota keluarga. Keserakahan dalam peran atau single fighter ini menyebabkan bukan saja rumah tangga berantakan, melainkan anak-anak jadi korban.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar