Senin, 23 Maret 2020

MENYIKAPI TRAGEDI DALAM HIDUP


Di sebuah kamar bersalin sebuah rumah sakit, lahir seorang anak dengan cacat jantung bawaan yang berasal dari latar belakang genetik orangtuanya. Cacat itu sungguh-sungguh membahayakan hidup anak itu.
Andaikata anak itu meninggal tak lama sesudah dilahirkan, tentu kedua orangtuanya akan pulang dengan hati pedih meskipun tidak menjadi terbenam oleh tragedi itu. Untuk beberapa saat mereka memang akan bersusah hati, merenungkan kemungkinan penyebabnya, namun mereka akan segera melupakan kejadian itu dan memulai menatap ke masa depan.
Akan tetapi, anak itu tidak meninggal. Berkat bantuan ilmu kedokteran modern dan pengabdian luar biasa dari para perawat dan dokter yang membidaninya, ia bertahan hidup. Ia tumbuh menjadi besar, otaknya cerdas, periang dan popular, namun terlalu lemah untuk ikut main dalam kegiatan-kegiatan olahraga.
Ia menjadi dokter. Ia menikah dan mempunyai anak-anak. Ia dihormati di lingkungan profesinya dan disenangi di lingkungan tempat tinggalnya. Isteri dan anak-anaknya mencintainya; banyak orang akhirnya tergantung pada dia.
Lalu, pada usia yang keempat puluh, kesehatannya yang rapuh itu mulai menyergapnya. Jantungnya yang memang lemah bawaan dan yang hampir saja menewaskannya tak lama sesudah ia dulu dilahirkan, mulai tampak cacatnya. Akhirnya ia meninggal.

Kematiannya itu kini menyebabkan genangan kesedihan selama berhari-hari. Kematiannya itu merupakan tragedi yang menghancurkan bagi isteri dan anak-anaknya, dan merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi semua orang lain dalam kehidupannya.
Andaikan ketika dilahirkan, orangtuanya tega membiarkannya mati pada saat dilahirkan, andaikan tim media tidak berusaha maksimal membantunya bertahan hidup, pastilah tragedi ini tidak terjadi. Tapi semuanya telah terjadi. Siapa yang patut disalahkan?
Diolah kembali dari Harold S. Kushner, Derita, Kutuk atau Rahmat: Manakala Kemalangan Menimpa Orang Saleh. Yogyakarta: Kanisius, hlm 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar