Rabu, 23 Oktober 2019

MEMPERSOAL KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM RKUHP


Salah satu alasan penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah intervensi negara dalam kehidupan rumah tangga. Salah satu pasal yang ditolak adalah soal kekerasan dalam rumah tangga, terlebih soal pemerkosaan suami terhadap istri. Dalam RKUHP, kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 595 – 599.
Perlu diketahui bahwa pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan. Artinya, tindak kekerasan tersebut baru akan diproses bila ada laporan atau pengaduan dari korban. Jadi, selama tidak ada laporan, maka hukum tidak dapat menjangkaunya. RKUHP memberikan tiga kategori kekerasan dalam rumah tangga. Yaitu:
1.    Kekerasan fisik (pasal 595)
2.    Kekerasan psikis (pasal 596)
3.    Kekerasan seksual (pasal 597 – 599)
Sekalipun tujuan pengaturan pidana ini baik dan benar, namun bukan lantas berarti pelaksanakaannya akan berjalan dengan mulus tanpa kendala. Penerapan pasal ini akan dapat bermasalah dengan umat beragama islam. Penegak hukum akan menghadapi dilema menegakkan hukum dengan konsekuensi mengkriminalisasi agama atau membiarkan dengan konsekuensi akan ada korban jiwa.
Seperti apa persoalan pasal kekerasan dalam keluarga ini bermasalah dalam ajaran islam? Mari kita lihat satu per satu.
Kekerasan Fisik

Masalah kekerasan fisik dalam RKUHP diatur dalam pasal 595. Di sana ada 5 ayat. Dalam 5 ayat itu tidak ada penjelasan tentang apa dan seperti apa kekerasan fisik itu. Kelima ayat itu lebih mengatur hukuman dan denda dengan gradasi tingkat kekerasan fisik, yang dilihat dari akibat yang ditimbulkannya. Mungkin pembuat undang-undang mengandaikan bahwa masyarakat sudah dapat memahami apa itu kekerasan fisik.
Secara umum kekerasan fisik dimengerti sebagai kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh. Kekerasan fisik dapat terwujud dalam tindakan memukul, baik dengan anggota tubuh sendiri atau pun dengan benda lain, menampar dan juga menendang. Orang yang mengalami kekerasan fisik biasanya mengalami memar, lebam, luka, cacat fisik atau juga trauma.
Bagaimana kekerasan fisik suami istri dalam ajaran islam? Dalam agama islam, seorang suami boleh memukul istrinya. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (QS an-Nisa: 34). Bagi umat islam Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah SWT (QS as-Sajdah: 2 dan QS Sad: 1 – 2, 41), sehingga umat islam harus mengikuti apa yang tertulis di dalamnya (QS al-Qiyamah: 18).
Apa yang telah diwahyukan Allah tersebut sepertinya sudah dipraktekkan Nabi Muhammad. Sebagai seorang suami, Muhammad pernah memukul istrinya, yaitu Aisyah. Dalam salah satu hadis terpercaya, Aisyah menceritakan peristiwa itu; “Dia memukul dadaku sampai terasa sakit.” Jadi, masalah kekerasan fisik dalam islam dibolehkan. Dasarnya langsung dari Al-Qur’an dan Hadis. Jika Al-Qur’an merupakan wahyu Allah, maka hadis merupakan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad yang harus diteladani. Setiap umat islam wajib taat kepada Allah dan Muhammad. Hal ini sudah diperintahkan Allah. “Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS an-Anfal: 1)
Memang harus dikatakan bahwa tidak berarti suami dapat memukul istri seenaknya saja. Memukul istri merupakan hal yang dihalalkan dalam islam apabila termasuk dalam empat kasus berikut ini:
a.    Jika istri tidak mau berdandan atau berias diri padahal suaminya menghendaki begitu. Menjadi persoalan, apakah riasan itu harus sesuai selera suami? Bisa saja istri sudah berias tapi tidak sesuai keinginan suami. Karena itu, suami dapat memukul istrinya.
b.    Jika istri tidak mau berhubungan seks dengan suami tanpa alasan yang diakui islam. Tidak dijelaskan kriteria “alasan yang diakui islam”. Tentu saja hal ini memunculkan tafsiran luas. Dan hal ini berdampak juga pada kekerasan seksual.
c.    Jika istri disuruh membersihkan diri untuk shalat dan dia tidak mau.
d.    Jika istri pergi keluar rumah tanpa izin suami. Satu persoalan kecil, bagaimana jika suami tak ada di rumah dan sulit dihubungi, sementara istri hendak ke pasar?
Melihat dasar-dasar ajaran islam tentang kekerasan fisik, tentulah penerapan pasal 595 ini akan menemui kendalanya bila berhadapan dengan umat islam. Bagaimana mungkin aparat hukum menindak warga yang melakukan kekerasan fisik sementara dia melihat dirinya melaksanakan ajaran agamanya? Setiap umat beragama terpanggil untuk menjalankan ajaran agamanya. Dasar ajaran agama islam ada dalam Al-Qur’an dan Hadis; dan di sana suami boleh memukul istrinya.
Karena itu, tindakan mempidanakan suami yang melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik tertentu, ini merupakan bentuk penghinaan agama.
Kekerasan Psikis
Masalah kekerasan psikis dalam RKUHP diatur dalam pasal 596. Di sana ada 3 ayat. Sama seperti kekerasan fisik, dari 3 ayat itu tidak ada penjelasan tentang apa dan seperti apa kekerasan psikis itu. Ketiga ayat itu lebih mengatur hukuman dan denda dengan gradasi tingkat kekerasan psikis, yang dilihat dari akibat yang ditimbulkannya. Mungkin pembuat undang-undang mengandaikan masyarakat sudah dapat memahami apa itu kekerasan psikis.
Dalam pasal 7 Undang-undang no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan psikis dipahami sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Tindakan kekerasan psikis dapat terwujud dalam perbuatan menghina, merendahkan, mencaci-maki, pelabelan negatif, membatasi atau mengontrol istri agar memenuhi tuntutan suami. Kekerasan psikis biasanya menimbulkan efek buruk seperti ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, merasa diri hina, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tak berdaya.
Apakah kekerasan psikis tidak menemui kendala dengan ajaran islam? Memang tidak ada ajaran islam yang secara eksplisit menyingung masalah kekerasan psikis. Namun dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan pasal kekerasan psikis juga akan menemui kendala. Dari 4 kasus dimana suami boleh memukul istrinya, kasus pertama dan keempat dapat berdampak pada kekerasan psikis. Ada kuasa untuk membatasi dan mengontrol istri oleh suami. Suami memaksa istrinya untuk berias sesuai seleranya, memaksa agar tidak keluar rumah tanpa izinnya atau wajib mengenakan pakaian muslimah.
Jadi, dengan mengontrol istri tidak bisa keluar rumah tanpa izin suami dan dengan memaksa istri berias sesuai selera suami, seorang suami telah melaksanakan ajaran agamanya. Akankah perbuatannya ini dipidana dengan pasal kekerasan psikis? Mempidana suami yang melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik tertentu, ini merupakan bentuk penistaan agama.
Soal menghina atau merendahkan, banyak tulisan tentang islam menyebut posisi wanita dalam islam memang rendah. Ada hadis yang menyatakan wanita itu bodoh dalam berpikir dan beragama. Ada juga yang mengatakan bahwa kebanyakan wanita adalah penghuni neraka. Ada pula hadis mengatakan bahwa orang yang memilih wanita sebagai pemimpin tidak akan makmur. Karena itu, dengan mengatakan istrinya bodoh, atau “kau memang pantas menghuni neraka jahanam,” seorang suami sudah mengikuti ajaran islam. Akankah perbuatannya ini dipidana dengan pasal kekerasan psikis? Mempidana suami yang melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik tertentu, ini merupakan bentuk penistaan agama.
Kekerasan Seksual
Masalah kekerasan seksual dalam RKUHP diatur dalam 3 pasal, yaitu pasal 597 – 599. Dari 3 pasal itu tidak ada penjelasan tentang kekerasan seksual itu. Sama seperti dua kekerasan sebelumnya, ketiga pasal itu lebih mengatur hukuman dan denda dengan gradasi tingkat kekerasan fisik, yang dilihat dari akibat yang ditimbulkannya serta tujuan dari kekerasan seksual. Mungkin pembuat undang-undang mengandaikan masyarakat sudah dapat memahami apa itu kekerasan fisik.
Secara sederhana kekerasan seksual dimengerti sebagai tindakan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa persetujuan. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), kekerasan seksual masuk kategori perkosaan. Dalam pasal 16 disebut bahwa perkosaan adalah “kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.”
Sama seperti kekerasan fisik dan psikis, penerapan pidana kekerasan seksual juga akan menemui masalah bagi umat islam. Tidak seperti kekerasan psikis, yang tak mempunyai dasar eksplisit ajaran islam, problem kekerasan seksual mendapatkan pendasarannya dalam Al-Qur’an dan Hadis. Jika Al-Qur’an diidentikkan dengan Allah SWT, maka Hadis diidentikkan dengan Nabi Muhammad. Seperti yang sudah dikatakan di atas, umat islam wajib taat kepada Allah dan Nabi Muhammad (QS an-Anfal: 1).
Allah telah berfirman, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (QS al-Baqarah: 223). Ayat suci ini sering ditafsirkan dalam konteks hubungan seksual bagi suami istri. Artinya, seorang suami punya hak penuh atas tubuh istrinya, sehingga kapan saja dia mau bersenggama istri wajib melayaninya. Jadi, hubungan seksual tidak perlu membutuhkan persetujuan istri atau memperhatikan kondisi dan situasi batin istri. Soal hubungan seksual suami istri dalam islam tidak ada istilah bagi istri mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Istri wajib melayani shyawat suami. Menolak keinginan suami untuk bersenggama membuat istri bisa dipukul (bandingkan dengan uraian kekerasan fisik di atas) dan juga dikutuk para malaikat. Hadis Sahih Bukhari dan Muslim menulis perkataan Nabi Muhammad, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi.”
Jadi, dalam islam, jika suami “memperkosa” istrinya atau melakukan kekerasan seksual terhadap istrinya, dia melaksanakan apa yang difirmankan Allah SWT dan yang disabdakan Nabi Muhammad SAW. Akankah perbuatannya ini dipidana dengan pasal kekerasan seksual? Mempidana suami yang melakukan kekerasan seksual terhadap istrinya dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik tertentu, ini merupakan bentuk pelecehan agama islam.
Beberapa Persoalan
Dalam uraian tentang tiga kekerasan dalam rumah tangga di atas, sudah terlihat persoalan hukumnya. Memang secara hukum, jika diadukan, maka pelaku tindak kekerasan (entah itu fisik, psikis maupun seksual) itu salah dan harus dihukum. Akan tetapi, secara agama, khususnya agama islam, pelaku tindak kekerasan (terlebih suami) dilihat sebagai pelaksanaan ajaran agama, atau aqidah islam. Bagaimana mungkin orang yang menjalankan aqidah agamanya dipidana dengan hukum sipil? Bisa saja hal ini dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama islam dan juga penistaan agama.
Selain itu, persoalan lain adalah dampak lanjut dari proses hukum dari ketiga jenis kekerasan itu. Karena jika suami menghadapi proses hukum dan divonis bersalah, maka akibat dari putusan pengadilan tidak hanya menimpa suami tetapi juga istri dan anak. Siapa yang akan mencari biaya hidup istri dan anak jika suami di penjara? Seandainya pun menggunakan sanksi denda, tentu hal ini justru akan memberatkan ekonomi keluarga tersebut.
Karena itu, persoalan-persoalan hukum dari kasus kekerasan dalam rumah tangga harus perlu disikapi dengan bijak.
Dabo Singkep, 20 Oktober 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar