Jumat, 28 Juni 2019

BPN: PECUNDANG ATAU PEMBOHONG


Drama perseteruan Badan Pemenangan Nasional (BPN) dan Tim Kampanye Nasional (TKN) sudah berakhir pasca putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan Kamis, 21.16 WIB. Dalam amar putusannya, MK menolak seluruh permohonan pemohon, yaitu tim kuasa hukum BPN. Dalam putusan, yang dibacakan bergantian oleh 9 Hakim Konstitusi selama kurang lebih 9 jam dengan waktu jeda (skorsing waktu) 2 kali, hakim benar-benar menguliti setiap dalil pemohon. Dan dalam proses itu terlihat jelas bahwa dalil-dalil yang dimohonkan pemohon sama sekali lemah, tidak relevan dan tak berdasar serta tidak terbukti.
Sangat menarik mencermati sikap BPN, yang diwakili oleh Prabowo, sekaligus pihak yang sangat berkepentingan dalam pertarungan tersebut, dalam menyikapi putusan MK itu. Bertempat di Jl. Kertanegara, dan didampingi para tokoh partai koalisi 02, Prabowo membacakan pernyataan sikap BPN. Setidaknya ada 3 pernyataan yang menarik, yang perlu dicermati.
Pertama, Prabowo menyatakan menerima dan menghormati keputusan MK. Bukan tidak mungkn hal itu dipahami bahwa BPN menerima keutusan MK sebagai keputusan akhir yang final dan mengikat. Secara tidak langsung Prabowo, mewakili BPN, menerima keputusan KPU dan menerima pasangan Jokowi – Maruf Amin sebagai pemenang pilpres 2019. Kedua, Prabowo menyerahkan kebenaran dan keadilan hakiki kepada Allah. Di sini secara implisit Prabowo menerima keputusan MK sebagai keputusan yang tidak adil. Dengan kata lain, Prabowo dan BPN masih mengalami ketidak-adilan. Terlihat kalau Prabowo belum ikhlas menerima keputusan MK tersebut. Ketiga, Prabowo mengatakan akan berkonsultasi lagi dengan tim hukum terkait langkah hukum selanjutnya. Sekalipun awalnya menyatakan menerima keputusan MK dan tahu bahwa keputusan tersebut final dan mengikat, namun Prabowo masih mau mencari peluang lain. Di sini, sama seperti poin 2, Prabowo terlihat belum rela menerima keputusan MK tersebut.

Dari 3 poin menarik di atas, muncul satu pertanyaan: apakah BPN itu pembohong atau pecundang? Socrates pernah berkata, “Ketika kalah dalam debat, fitnah menjadi alat bagi pecundang.” Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu terlebih dahulu melihat perjalanan pertarungan BPN melawan TKN sampai akhirnya bermuara di sidang MK.
Berangkat dari pernyataan Socrates, dapatlah dikatakan bahwa antara pembohong dan pecundang itu bedanya sangat tipis. Pembohong membangun kebenaran dari ilusi. Baginya ilusi itulah kebenarannya. Sedangkan pecundang membuat ilusi jadi indah sehingga orang lain tidak lagi melihat kebenaran sebenarnya tetapi hanya keindahan.
Kedua hal tersebut, yaitu pembohong dan pecundang dapat terlihat dalam kubu BPN. Mereka telah membuat kebohongan dengan mengatakan bahwa pasangan 02, Prabowo – Sandi, memenangi pilpres 2019. Bahkan sehari setelah pilpres, 17 April, BPN sudah mengklaim kemenangan itu. Dan sebagaimana kebohongan selalu ditutupi dengan kebohongan-kebohongan lainnya, maka mereka mulai menciptakan narasi-narasi yang membangun opini publik bahwa jika nanti KPU mengumumkan kemenangan pasangan 01, itu berarti klaim mereka bahwa ada kecurangan benar adanya.
Terkait dengan klaim kemenangan 02 dan soal kebohongan, Ade Armando pernah mengajukan pengaduan ke Bareskrim. Ade mengadu bahwa Prabowo telah melakukan kebohongan publik dengan mengklaim kemenangan dirinya. Akan tetapi, waktu itu pihak polisi menolak karena menunggu hasil pengumuman KPU sebagai dasar pijaknya. Seharusnya, sekarang Ade Armando dapat meneruskan pengaduannya karena sudah ada dasar pijak yang kuat, yaitu keputusan MK. Sudah terbukti bahwa Prabowo dan BPN telah melakukan pembohongan dengan mengatakan kemenangan mereka. Pihak MK sudah menyatakan bahwa data kemenangan BPN yang berbeda dengan KPU dan juga hasil quick count, tidak dapat dibuktikan. Dapat dikatakan bahwa data itu adalah data bodong.
Tidak hanya kebohongan soal data hasil pilpres saja yang bohong, tetapi juga kecurangan yang diklaim sebagai terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Narasi kecurangan ini sudah dibangun bahkan sebelum KPU mengumumkan hasil pemilu serentak, 21 Mei lalu. Dan ketika klaim itu diuji di MK, terlihat jelas bahwa semua tuduhan tersebut sama sekali tidak terbukti.
Sikap pecundang adalah sikap yang tidak mau menerima fakta realitas. Mereka selalu hidup di awang-awang atau dalam ilusi. Bagi mereka yang ilusi itulah yang benar. Karena itu, mereka berusaha memperindah ilusi tersebut. Inilah yang terjadi pada pihak BPN. Dalam setiap wawancara dengan media, orang-orang BPN selalu menampilkan narasi mimpi bahwa merekalah pemenang, bahwa jika kalah berarti mereka dicurangi. Tak kalah menarik dengan sikap para kuasa hukum BPN. Alih-alih tampil sebagai ahli hukum, terlihat jelas mereka lemah dalam hukum itu sendiri. Misalnya, hukum beracara di MK sendiri dilanggar, menyerahkan pembuktian kasus kepada hakim dan beberapa logika hukum yang lemah. Tapi, di luar sidang mereka tampil yakin diri bahwa mereka benar, mereka menang, dan menganggap pihak lawan lemah, arogan dll. Lebih lucunya lagi, mereka menggunakan dasar agama juga.
Tidak puas dengan soal data hasil pilpres dan kecurangan TSM, pihak BPN dan juga tim kuasa hukumnya, melontarkan amunisi-amunisi serangan lain seperti soal dana kampanye dari kas Jokowi, status Maruf Amin di dua bank syariah, netralitas PNS – Polri (TNI), jaminan keamanan para saksi dari LPSK seolah-olah ada ancaman, dan masih banyak lainnya. Mereka tidak hanya “berperang” di MK saja, melainkan juga di media. Akan tetapi, semua serangan itu dipatahkan oleh MK. Sekalipun sudah mengakui bahwa keputusan MK adalah keputusan final dan mengikat, namun terbukti Prabowo masih mau mencari celah lain lagi.
Dari semua rangkaian di atas, dapatlah dikatakan bahwa baik BPN maupun tim kuasa hukumnya adalah para pecundang politik dan hukum. Dengan mengikuti apa yang dikatakan Socrates, dapatlah juga dikatakan mereka adalah juga pembohong.
Dabo, 28 Juni 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar