Jumat, 16 November 2018

NILAI SEORANG KAFIR DI MATA MUSLIM

Sebuah Kisah
Seorang pemuda datang menghadap pastor di sakristi usai perayaan ekaristi. Dia meminta waktu untuk bincang-bincang. Sang gembala segera mempersilahkannya duduk di kursi yang ada. Kemudian dimulailah pembicaraan.
Ketika merantau di Jakarta, dia bertemu dengan seorang gadis Sunda. Dia tertarik dan lalu melamarnya. Tuntutan dari si gadis dan juga pihak keluarga gadis adalah agar dia masuk islam dulu. Hal ini wajar, karena islam tidak mengenal perkawinan campur. Karena didorong keinginan untuk mendapatkan gadis itu, dia pun akhirnya mengucapkan kalimat syahadatin. Dan dia menjadi mualaf.
Setelah sekian lama hidup di Jakarta, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Hingga lahir anak keempat, hatinya selalu diliputi kegelisahan. Dia tidak pernah shalat. Puasa di bulan ramadhan juga tidak (tak jauh beda dengan istrinya). Setiap kali melihat umat katolik berdoa atau misa di samping rumahnya, hatinya seakan bergejolak; seolah-olah ada yang menarik-narik dirinya. Peristiwa ini terus menerus terjadi, membuat dia berpikir “Mungkin saya harus kembali.”
Memang keluarganya, yang semuanya katolik, selalu meminta dia untuk kembali ke katolik. Dia selalu berkelit bahwa sang isteri tak mau jadi katolik. Karena itulah, akhirnya dia memutuskan untuk meminta pendapat dari pastor. Dengan santai, pastor hanya menyebut dua kata saja, yaitu kembali dan konvalidasi. Pastor menyadari bahwa kegelisahan yang dirasakan dan dialaminya berpangkal dari penyangkalan imannya. Dia masuk islam karena dipaksa atau terpaksa. Beriman itu harus merupakan keputusan bebas. Karena itu, Gereja Katolik tidak akan memaksa orang masuk katolik hanya karena perkawinan atau alasan lain selain memang keputusan pribadi yang bersangkutan.
Setelah kembali ke katolik, dia harus mengesahkan perkawinannya dalam Gereja Katolik agar dia tidak dikenai sanksi Gereja. Pengesahan perkawinan dalam Gereja Katolik tidak menuntut pihak non katolik harus masuk katolik. Malah ditegaskan pastor itu bahwa salah satu tujuan pengesahan ini adalah menyelamatkan iman pemuda itu. Jadi, setelah pengesahan itu si pemuda bisa menghayati iman katoliknya, demikian pula si gadis menghayati iman islamnya. Bagaimana dengan anak-anak? Semua itu diserahkan kepada keputusan suami isteri.
Menutup pembicaraan, karena pastor harus ke stasi lain lagi untuk merayakan ekaristi, pastor meminta kepada pemuda itu agar dia membicarakan baik-baik persoalan ini dengan isterinya. Sang isteri harus memahami situasi batinnya sehingga memutuskan untuk kembali ke Gereja Katolik. Dia harus meyakinkan isterinya bahwa pengesahan ini tidak menuntut dia menjadi katolik. Pengesahan baru dapat dilaksanakan bila ada persetujuan dari isteri.
Dua minggu kemudian dia dan isterinya datang ke pastoran untuk bertemu dengan pastor itu. Mereka menyampaikan niat mereka untuk mengesahkan perkawinan mereka dalam Gereja Katolik. Soal anak-anak, mereka sudah sepakat, anak pertama tetap mengikuti ibunya, sedangkan yang lain ikut bapaknya. Alasannya, sang isteri mau supaya kelak dia meninggal ada yang mendoakannya. Dengan kata lain, anak pertama dipertahankan tetap islam agar bisa mendoakan jenasah ibunya.
Doa Orang Kafir Sia-sia
Mendengar penjelasan singkat itu, pastor itu menjadi kaget. Satu pertanyaan kecil, apakah anak-anak yang lain tak boleh mendoakan ibunya lantaran mereka itu katolik? Kekagetan pastor itu dapat dimaklumi, karena orang katolik boleh mendoakan siapa saja, bahkan yang tidak seiman dengannya. Dalam rumusan Doa Syukur Agung, dapat dijumpai doa Gereja untuk saudara-saudara yang sudah meninggal dunia, sekalipun mereka bukan katolik. Ini beberapa contoh kutipannya:
1.    Dari Doa Syukur Agung II: “Ingatlah akan saudara-saudari kami, kaum beriman, yang telah meninggal dengan harapan akan bangkit, dan akan semua orang yang telah berpulang dalam kerahiman-Mu.” Di sini tidak disebut secara khusus orang katolik, tapi semua orang beriman.
2.    Dari Doa Syukur Agung III: “Terimalah dengan rela ke dalam kerajaan-Mu, saudara-saudari kami dan semua orang yang berkenan pada-Mu, yang telah beralih dari dunia ini.” Di sini juga tidak disebut secara khusus orang katolik, tapi semua orang yang berkenan pada Allah.
3.    Dari Doa Syukur Agung IV: “Ingatlah juga saudara-saudari kami yang telah berpulang dalam damai Kristus dan semua orang yang meninggal, hanya Engkaulah yang mengenal iman mereka.” Di sini tidak disebut secara khusus orang katolik; semuanya diserahkan kepada Allah yang mengenal orang beriman.
Karena itu, hanya umat islam saja yang boleh mendoakan umat islam saja menjadi sesuatu yang baru, yang jauh berbeda dengan kebiasaan Katolik. Dalam hati kecilnya pastor itu bertanya, apakah ini pendapat pribadi atau memang sudah menjadi ajaran islam. Karena sumber ajaran islam itu ada pada Alquran dan Hadis, maka pastor itu memulai mencoba pencariannya.
Pastor itu mulai membaca Alquran yang diterbitkan Departemen Agama RI tahun 2006. Akhirnya dia menemukan satu kutipan dalam surah Ar-Ra’d: “Dan do’a orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (ayat 14). Pastor itu menjadi tertegun sejenak menatap teks suci itu. Ternyata, pernyataan ibu itu, yang meminta satu anaknya untuk tetap menjadi islam agar bisa mendoakan dirinya, bukanlah pendapat pribadi. Pernyataan itu memang benar-benar merupakan ajaran islam, karena berdasarkan pada ayat suci Alquran. Jadi, hanya umat islam yang dapat mendoakan umat islam, sementara yang lain tidak boleh. Seandainya pun tetap berdoa, maka doanya itu sia-sia.
Siapa yang dimaksud orang kafir itu? Umat islam sepakat bahwa yang bukan islam adalah kafir. Alquran jelas-jelas menyebut orang Kristen itu kafir karena pengakuan iman mereka akan keallahan Yesus dan juga Tritunggal Mahakudus. Karena itu, semakin jelas kalau doa-doa orang Kristen untuk saudara-saudarinya yang muslim akan menjadi sia-sia. Tapi ini di mata umat islam; tidaklah demikian di mata umat Katolik.
Sebuah Akhir …
Satu pertanyaan kecil, bagaimana nilai seorang kafir di mata islam. Pertanyaan ini penting diajukan mengingat kehidupan manusia yang plural. Dalam alam lingkungan dewasa kini, umat islam akan hidup berdampingan dengan umat beragama lain, yang di matanya adalah kafir. Dalam hidup bermasyarakat yang majemuk ini, perjumpaan, dialog dan komunikasi sudah tak terhindar lagi. Umat islam mau tidak mau akan bersentuhan dengan kaum kafir. Tapi, bagaimana nilai mereka di mata umat islam?
Dari sepenggal kisah di atas dapatlah disimpulkan bahwa orang kafir sama sekali tidak punya nilai di mata umat islam. Doa-doa mereka sia-sia belaka. Dan ternyata bukan hanya doa saja yang sia-sia, melainkan juga amal kebaikan. Dikatakan bahwa amal kebaikan orang-orang musyrik (kafir) oleh Allah dijadikan seperti debu alias sia-sia (bdk. QS Al-Furqan: 23). Di mata umat islam kaum kafir adalah penghuni neraka (bdk. QS Al-Baqarah: 24 dan QS Al-Maidah: 10). Dengan dasar ini, sulit membayangkan terjalinnya relasi antara umat islam dengan umat kafir, karena mana mungkin penghuni sorga berhubungan dengan penghuni neraka?
Jadi, nilai seorang kafir di mata kaum islam adalah sangat rendah, hina, bahkan tak bernilai sama sekali. Penilaian ini langsung dari Allah sendiri. Karena itu, Al-quran mengajarkan untuk memerangi orang-orang kafir (bdk. QS At-Tahrim: 9, QS At-Taubah: 73). Alquran juga mengajarkan bahwa Allah hendak memusnahkan orang kafir sampai ke akar-akarnya (QS An-Anfal: 7 dan 17). Karena begitu rendah dan hinanya, maka orang-orang kafir ini boleh dibunuh (QS An-Nisa: 89).
Dengan memahami ajaran islam ini, satu pertanyaan kecil: mungkinkah terjalin kerukunan dan toleransi dalam masyarakat? Silahkan jawab sendiri.
Lingga, 24 Oktober 2018
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar