Sejak dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, 16 Oktober silam, Anies Baswedan resmi memangku jabatan Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun ke depan. Dalam pilkada, Anies mengalahkan calon petahana, Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok. Sebelum pilkada, banyak pengamat menilai lawan-lawan politik Ahok akan kesulitan mengalahkannya. Namun, hasil akhir pilkada membuktikan Ahok kalah, meski kemenangan Anies dinodai dengan kecurangan atau intrik busuk.
Selain itu, kemenangan 57,96 % suara Anies – Sandi tak lepas dari peran agama (dalam hal ini islam). Karena itu, beberapa tokoh islam, setelah hasil hitung cepat diketahui, dengan pongah mengatakan bahwa ini adalah kemenangan islam. Suatu kebanggaan ataukah kebodohan. Publik akhirnya menilai bahwa ternyata ada agama yang bisa dipolitisir; bahwa ada agama yang bisa dijadikan senjata untuk berpolitik busuk. Hal ini tak ubahnya dengan teroris yang berjuang menggapai cita-citanya dengan menggunakan senjata agama.
Akan tetapi, bukan maksud kami mempermasalahkan agama sebagai senjata yang menghantar Anies Baswedan ke kursi DKI-1. Kami akan fokus melihat gaya kepemimpinan Anies sejak resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ada satu ciri yang menonjol dari gaya kepemimpinan Anies Baswedan. Dalam banyak persoalan Anies Baswedan seakan mau menegaskan bahwa dia-lah yang terbaik; bahwa pendahulunya tidak baik, buruk dan salah. Media Indonesia, dalam salah satu tulisan editorialnya mengatakan bahwa Anies Baswedan hendak memutus hubungan dengan pendahulunya, atau dengan kata lain mau membuat garis pemisah yang jelas antara dirinya dengan gubernur lama (dalam hal ini adalah Ahok). Anies juga hendak menarik garis pembeda dengan pemerintah pusat (dalam hal ini adalah Jokowi).
Ciri ini terlihat dari sikap menyalahkan pendahulu. Menghadapi permasalahan di kawasan Tanah Abang, Anies mengkritik cara gubernur lama dalam menangani masalah Tanah Abang. Persoalan macet dan reklamasi, yang sudah ditangani Ahok, seakan mau diputus, dan sekali lagi kesalahan pada persoalan tersebut terletak pada pendahulunya. Di sini Anies mau menunjukkan kepada warga bahwa yang salah adalah pendahulunya sedangkan dia tidak salah; bahwa yang buruk itu adalah pendahulunya, sementara dia adalah baik.
Ada kesan bahwa Anies Baswedan berada di bawah bayang-bayang popularitas Ahok sehingga dirinya kurang percaya diri dengan kemenangan yang diperolehnya dalam pilkada. Apalagi Anies tahu bahwa kemenangan itu sarat dengan intrik busuk, sekalipun dibungkus dengan baju agama. Dengan membangun image bahwa pendahulunya yang salah dan buruk, Anies seakan mau cuci tangan jika ada kegagalan dalam pemerintahannya. Kegagalan adalah buah dari keburukan dan kesalahan pendahulunya. Bisa juga dikatakan bahwa Anies hendak menghapus jejak-jejak popularitas Ahok di mata warga.
Gaya kepemimpinan Anies Baswedan ini sepertinya bertolak belakang dengan kepemimpinan Jokowi. Sejak menjabat sebagai orang No 1 di Republik Indonesia ini, Jokowi langsung bekerja. Belum pernah terlontar dari mulutnya ungkapan yang menyalahkan pendahulunya ketika Jokowi menemukan masalah. Malah ketika dikritik, Jokowi menjawabnya dengan bukti kerja. Di sini Jokowi hadir sebagai pemberi solusi, bukan opini, tidak seperti Anies Baswedan, seperti yang diungkapkan editorial Media Indonesia, hanya bisa membangun oposisi, bukan solusi.
Kepemimpinan Anies yang hanya bisa membangun opini dan oposisi serta menjaga image, dapat dimaklumi karena latar belakangnya sebagai seorang akademisi. Kerja seorang akademisi hanyalah beropini dan beretorika. Bukan tidak mustahil jika masalah inilah yang kemudian membuat Jokowi mencopot Anies Baswedan dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di luar, opini dan retorika yang bangunnya sangat briliyan, tapi hasil kerjanya tidak nyata.
Akankah Jakarta bisa maju dengan kepemimpinan seperti ini? Warga DKI butuh bukti bukan opini.
Koba, 07 November 2017
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar