Rabu, 03 Mei 2017

PENODAAN AGAMA: PERTARUNGAN AHOK ATAU MUI?

Pada 11 Oktober 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait dengan pernyataan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok terhadap surah Al Maidah ayat 51. Pernyataan Ahok itu dilontarkannya saat kunjungan dinas ke Kepulauan Seribu. Oleh MUI Ahok difatwa telah melakukan penodaan terhadap Al Quran dan ulama.
Memang satu minggu kemudian (18/10), sejumlah elemen masyarakat terdiri dari ulama, budayawan, akademisi, advokat dan organisasi kepemudaan, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Cinta Damai, menggelar aksi damai di kantor MUI. Mereka meminta MUI untuk mencabut fatwa tersebut. Salah satu alasa mereka adalah fatwa MUI tersebut dapat meningkatkan ketegangan politik dan konflik horisontal di dalam masyarakat. Fatwa tersebut akan dimanfaatkan sekelompok golongan untuk kepentingan di kancah pilkada.
Apa yang dikhawatirkan oleh aliansi masyarakat tersebut terbukti. Setelah dikeluarkannya fatwa MUI, aksi bela islam mulai digelar. Beberapa ormas islam, yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal fatwa MUI, mulai menggalang kekuatan. Pada 4 November mereka melakukan aksi unjuk rasa. Ratusan ribu umat islam tumpah ruah di jalanan ibukota untuk memberi tekanan kepada pihak pemerintah, khususnya kepolisian, agar menangani kasus Ahok segera (sesuai selera mereka).
Seakan takut menghadapi tekanan GNPF MUI, atau konsekuensi terjadinya konflik horizontal, pada 16 November pihak kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka. Banyak pihak menilai penetapan status tersangka Ahok ini untuk meredam niat umat islam yang akan melakukan aksi bela islam pada 24 November. Namun, karena keinginannya belum terpenuhi (melihat Ahok dipenjara), GNPF MUI menggelar aksi bela islam pada 2 Desember.
Banyak orang melihat bahwa kasus penodaan agama ini merupakan pertarungan Ahok. Dalam kasus ini Ahok akan berjuang melawan sekelompok umat, yang mengatas-namakan agama islam. Di saat sedang berjuang dalam pertarungan Pilkada DKI, Ahok juga bertarung melawan umat islam, yang merasa agamanya dihina. Tentulah Ahok disibukkan dengan pembelaan-pembelaan bahwa dirinya tidak melakukan penodaan terhadap islam. Jangankan menistakan agama islam, niat untuk menodakan saja tak ada.
Hal ini sudah pernah diungkapkan Ahok. Ketika menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka, Ahok menegaskan bahwa tidak ada niat dirinya menistakan agama islam. Bagaimana mungkin Ahok berniat menistakan agama islam, sementara calon wakilnya orang islam, banyak pendukungnya beragama islam, dan tim suksesnya, baik dalam tim kampanye maupun tim Teman Ahok, banyak yang beragama islam. Di samping itu, selama menjadi gubernur, Ahok banyak melakukan kebijakan yang pro umat islam.
Akan tetapi, mata sebagian umat islam sudah ditutupi oleh kebencian dan kemunafikan. Ditunjang dengan perintah Allah untuk membela islam, maka turunlah mereka ke jalanan menyuarakan tuntutan agar Ahok dipenjarakan, dan bila perlu “dibinasakan”. Dan inilah pertarungan Ahok.
Benarkan kasus penodaan agama ini murni hanya pertarungan Ahok? Jika dicermati secara kritis, setelah penetapan fatwa penodaan agama, sebenarnya kasus penodaan agama ini merupakan juga pertarungan MUI. Kenapa?
Tak sedikit juga umat islam yang menolak fatwa MUI tentang penodaan agama yang dilakukan Ahok. Seperti yang diungkapkan di atas, Aliansi Masyarakat Cinta Damai meminta MUI mencabut fatwa tersebut. Beberapa tokoh islam juga dengan tegas mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan terhadap Al Quran. Bahkan ada umat islam yang mencoba membandingkan pernyataan Ahok dengan pernyataan Habib Rizieq. Pada suatu kesempatan, Habib Rizieq berkata, “Dia (ulama bejat) nipu umat pakai ayat Quran. Dia nipu umat pakai Hadis Nabi.”
Hal ini, tentulah menuntut MUI untuk melihat kembali dirinya. Ini memungkinkan jika para ulama yang tergabung dalam MUI itu memiliki hati untuk menelaah kasus ini dengan jernih. Apalagi bila para ulama ini merunut pada kasus-kasus penodaan agama islam lainnya, yang penanganannya tidak seheboh Ahok. MUI harus bertanya apakah fatwa yang dikeluarkannya sudah benar, murni lahir dari telaah agama, atau ada titipan kepentingan. Sungguh dibutuhkan kejujuran diri para ulama. Di sini tentulah MUI akan bertarung antara kejujuran dan kebohongan. Jujur itu tentu sangat menyakitkan, baik bagi para ulama maupun bagi MUI sebagai lembaga.
Pertarungan MUI lainnya adalah bila MUI mau melihat permasalahan penodaan agama ini secara total, bukan cuma melihat dari kepentingan islam saja. Para ulama harus menyadari bahwa ternyata, jika memakai cara pandang mereka terhadap pernyataan Ahok, Al Quran sudah menistakan agama kristen. MUI harusnya berpikir, jika umat islam bisa mempidanakan Ahok, sudah sepantasnya  umat Kristen bisa mempidanakan Al Quran. Misalkan, suatu hari ada sekelompok umat kristen datang ke polisi dengan membawa Al Quran, lalu mengatakan bahwa Al Quran telah melakukan penodaan agama. Coba MUI bayangkan, apa yang bakal terjadi.
Memang, umat Kristen tidak akan melakukan hal itu karena pertimbangkan kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa. Jadi, MUI harus memikirkan hal ini, bukan hanya untuk kepentingan islam, melainkan untuk kepentingan bangsa. Percuma saja beberapa ulama menyatakan dukungan terhadap NKRI dan kebhinnekaan Indonesia, jika hal ini tidak bisa ditangani dengan arif dan bijaksana.
Selain pertarungan-pertarungan di atas, MUI bakal menghadapi pertarungan terkait dengan proses hukum. Sebagaimana sudah diketahui, MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah melakukan penodaan agama dan ulama. Dan sekarang Ahok akan menghadapi proses hukum. Bagaimana jika seandainya dalam sidang pengadilan, baik di tingkat banding bahkan di MA, hakim memutuskan bahwa Ahok tidak bersalah. Tentulah salah satu tuntutannya adalah pemulihan nama baik. Selain harus memulihkan nama baik Ahok, MUI seakan harus menelan ludahnya sendiri dengan menarik fatwanya. Menarik fatwa tersebut seakan mengakui salah. Akankah MUI berani melakukannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar