Kamis, 20 April 2017

MESKI SERING DIANCAM, UMAT TETAP RAYAKAN PASKAH

Umat kristiani di beberapa gereja di Indonesia yang mengalami konflik tetap merayakan Pekan Suci meskipun sebelumnya ada aksi protes dari kelompok Islam garis keras terkait dengan izin pembangunan gereja. Umat menerima ancaman dan protes di beberapa gereja dalam beberapa pekan terakhir oleh umat Islam, yang menuntut tempat ibadah mereka ditutup, meskipun mereka sudah memegang izin. Ini contoh dari intoleransi agama di negara mayoritas muslim, walaupun negaranya sekuler.
Beberapa waktu lalu, kekerasan meletus ketika ratusan umat islam menggelar aksi protes terhadap pembangunan Gereja Katolik St. Klara di Bekasi Utara, Jawa Barat. Polisi terpaksa menembakkan gas air mata untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang mencoba untuk memaksa masuk ke dalam gereja.
“Aksi protes seperti itu adalah pengingkaran terhadap upaya kita untuk mempertahankan keragaman,” kata Rasnius Pasaribu, sekretaris dewan paroki. “Tidak peduli. Kami akan tetap merayakan Pekan Suci di ruko, dimana kami mengadakan perayaan setiap Minggu.”
Paroki yang didirikan pada tahun 1996 itu memiliki sekitar 9.400 umat yang melaksanakan misa Minggu di ruko tersebut. Pada tahun 2015 ia memperoleh izin mendirikan bangunan dari pemerintah setempat untuk membangun sebuah gereja setelah semua persyaratan yang ditetapkan dalam hukum Indonesia. Undang-undang menyatakan pejabat gereja harus memberikan daftar nama dan tanda tangan dari 90 umat dan dukungan tertulis dari setidaknya 60 warga setempat bersama dengan persetujuan kepala desa.
Pembangunan konstruksi dimulai pada November 2016 dan pada saat yang sama intimidasi dari kelompok Islam dimulai. “Kami akan bekerja sama dengan polisi dan masyarakat setempat untuk menjaga perayaan,” ujar Pasaribu.
Gereja Metodis Indonesia di Parung Panjang mengalami masalah yang sama, namun pihak berwenang setempat tunduk pada tekanan kelompok islam ekstremis dan otoritas setempat melarang jemaat untuk melakukan kegiatan keagamaan di dalam kompleks perumahan dimana mereka secara teratur bertemu.
“Kami tidak punya tempat lain. Kami akan mengadakan perayaan di rumah meskipun mungkin ada protes,” kata Pendeta Abdi Saragih. “Tidak mudah menjadi seorang kristen. Memikul salib adalah tugas kita.” Gereja dengan 116 anggota jemaat itu telah terdaftar pada Departemen Agama sejak tahun 2001 dan masih menunggu diberikan izin untuk membangun sebuah gereja.
Tyas Utomo, wakil ketua dewan paroki St. Yohanes Pembaptis Parung, mengatakan perayaan akan diadakan di tenda “karena ini adalah satu-satunya fasilitas yang kami miliki.” Paroki dengan lebih dari 3.000 umat telah sering mengalami intimidasi dari umat islam radikal sejak berdirinya pada tahun 2000. Pemerintah setempat belum mengeluarkan izin meskipun paroki telah mengajukan permohonan pada tahun 2009 dan 2011. “Kami tidak dapat menjamin bahwa perayaan Paskah akan aman dari ancaman,” ungkap Utomo.
Menurut Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamaian, pelanggaran kebebasan beragama masih merajalela di Indonesia, termasuk pelarangan kegiatan keagamaan. Dalam laporan terbaru, Setara mencatat 208 pelanggaran pada tahun 2016, naik dari 196 pada tahun 2015 dan 134 pada tahun 2014. Ironisnya, pelaku pelanggaran itu adalah umat islam, penduduk terbesar Indonesia, yang konon agamanya mengajarkan supaya mayoritas melindungi minoritas. (baca: cerpen “Doa Si Toni Kecil")

1 komentar:

  1. mudah2an hal ini tidak terjadi lagi
    saya muslim dan saya cinta kedamaian dalam bersosialisai antar umat beragama.

    BalasHapus