Selasa, 21 Februari 2017

KELUARGA BERWAWASAN EKOLOGIS

Pengantar
Manusia menjadi pusat dan sekaligus tujuan dari pembangunan. Pembangunan yang merusak lingkungan, juga akan merusak manusia. Dalam Evengelii Gaudium, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa alam itu rapuh dan tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri terhadap eksploitasi yang dilakukan; oleh manusia. Paus juga mengingatkan bahwa manusia bukan hanya sebagai pengguna alam semesta, tetapi manusia juga harus sekaligus berperan sebagai penjaga dan pemelihara alam semesta. Oleh karena itu, keberhasilan suatu pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia menjadi kunci penting untuk menuju kesejahteraan hidup. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia akan dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar (berkeadilan dan berkeutuhan ciptaan) jika diimbangi dengan sumber daya manusia yang bermutu. Salah satu cara untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan pendidikan.
Proses pendidikan berawal dari dan dalam keluarga. Dalam pesan hari kedamaian sedunia, Sri Paus Yohanes Paulus II tanggal 1 Januari 1994 menegaskah dan mengingatkan kembali pentingnya keluarga sebagai ruang dan tempat untuk menumbuhkembangkan pendidikan yang berkualitas. Keluarga, sebagai persekutuan pendidikan yang fundamental dan esensial, merupakan sarana yang pertama dan paling istimewa untuk mewariskan nilai-nilai agama dan budaya yang membantu manusia untuk memahami realitas dirinya sebagai bagian dari seluruh ciptaan. Karena didirikan atas dasar cinta kasih dan terbuka bagi anugerah kehidupan, keluarga dalam dirinya sendiri berisikan masa depan masyarakat; dan tugasnya paling khusus ialah untuk secara efektif memberikan sumbangan untuk masa depan yang penuh damai. “Keluarga adalah sal dasar masyarakat, di mana kita meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain dengan menjadi milik satu sama lain; keluarga juga merupakan tempat di mana orangtua mewariskan iman kepada anak-anak mereka” (Evangelii Gaudium art.66).
Sejalan dengan hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) ke-4 tahun 2015, yang merefleksikan keluarga Katolik sebagai sukacita Injil; Panggilan dan perutusan keluarga Katolik dalam Gereja dan masyarakat Indonesia yang majemuk, gerakan APP Tahun 2017 mengambil fokus gerakan “Keluarga Berwawasan Ekologis”, sebagai tema tahun pertama dari tema tiga tahunan Gerakan APP tahun 2017 - 2019, “Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup Bersama".
Gerakan APP Tahun 2017, “Keluarga Berwawasan Ekologis” mempunyai sasaran dan tujuan untuk membangun dan mewujudkan perubahan dan pembaharuan iman umat:
1. Menghormati dan menghargai alam semesta sebagal sumber dan penyangga keberlangsungan hidup seluruh ciptaan.
2. Menyadari fungsi dan peran manusia sebagai bagian dari keutuhan ciptaan yang bertanggung jawab dalam menjaga dan memelihara, mengolah dan mengelola alam semesta sebagai rumah bersama.
Wawasan Ekologis; Ciptaan Sebagai Anugerah Allah yang Harus Dijaga dan Dipelihara
“Segala yang diciptakan Allah adalah baik’ tulis Rasul St. Paulus (Tim. 4,4) yang menggemakan ayat Kitab Kejadian yang mengungkapkan kepuasan Allah pada setiap karya-Nya. Berkuasa atas ciptaan bagi umat tidak berarti merusaknya, menyempurnakannya, mengubah dunia menjadi kekacauan melainkan menjadi tempat tinggal bersama dengan saling menghormati satu sama lain. Inti hakiki ciptaan adalah menjadi anugerah Allah, anugerah bagi semua ciptaan, dan Allah menghendakinya demikian. Maka berlakulah perintah Allah, yaitu melestarikan bumi sebagai anugerah dan berkat serta tidak mengubahnya menjadi sarana kekuasaan atau motif perpecahan. Ciptaan adalah anugerah pertama yang diberikan oleh Allah kepada manusia “untuk mengusahakan dan memeliharanya" (Kejadian 2,15). Ciptaan diberikan kepada manusia sebagai sumber penghidupannya dan sarana pengembangan hidup yang bermartabat, di mana semua anggota keluarga umat manusia harus berbagi dalam semangat persaudaraan atas dasar kasih dan keadilan.
Paus Paulus VI dalam Konferensi Tentang Lingkungan Hidup tahun 1972 menegaskan, bahwa lingkungan hidup secara hakiki sangat mempengaruhi hidup dan perkembangan manusia dan bahwa manusia pada gilirannya, menyempurnakan dan memuliakan lingkungannya dengan kehadiran, pekerjaan, dan pemikirannya. Manusia dengan segala keberadaannya sering mempunyai kecenderungan untuk mengorbankan alam dan lingkungan hanya demi ambisi dan keakuan dirinya, hanya demi mengejar pertumbuhan ekonomi semata dengan kurang memperhatikan keharmonisan dan keutuhan ciptaan. Kemajuan peradaban berjalan seiring dengan semakin rusaknya alam dan lingkungan. Hal ini menjadi tanda bagaimana peran alam mulai tersisih. Peran alam sebagai penyangga seluruh kehidupan di atas permukaan bumi menjadi semakin rapuh.
Krisis ekologis yang terjadi saat ini, yang tampak dalam perubahan iklim, habisnya sumber daya dan meningkatnya jurang antara si kaya dan si miskin, bermula dari krisis dalam diri manusia. Pada abad terakhir ini, tampak jelas bahwa perubahan sosial telah terjadi dengan besar-besaran. Pemahaman diri tentang apa itu manusia berubah banyak. Pemahaman diri sebagai ciptaan berakal budi yang serba kecukupan dan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang baik dan cocok bagi keberlangsungan hidup manusia, ke pemahaman diri sebagai ciptaan yang tidak pernah dapat menjadi puas. Manusia menjadikan teknologi sebagai alat pemuas hasrat yang tak terkendali.
Indikasi paling mendalam dan serius implikasi moral yang mendasari soal ekologis adalah kurangnya rasa hormat terhadap hidup yang tampak jelas pada banyak pola pencemaran lingkungan. Seringkali kepentingan produksi diutamakan atas keprihatinan martabat pekerjaan. Sedangkan kepentingan ekonomis didahulukan di atas kesejahteraan umum. Demikian juga penyalahgunaan teknologi atas sumber daya alam mengakibatkan desertifikasi, erosi dan kehilangan lahan yang layak untuk pertanian dan peternakan, juga mengakibatkan pencemaran udara, air dan tanah yang akan mempengaruhi hewan dan tumbuhan, kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pemanfaatan sembarang bahan baku pada gilirannya mengakibatkan kehancuran dan kehilangan sumber daya tak terbarukan yang pada tahun-tahun mendatang membahayakan masa depan dan mengakibatkan degradasi lingkungan.
Merusak keutuhan ciptaan adalah cermin bahwa manusia kurang menghormati, menghargai dan memuliakan Allah sebagai pemilik dan penguasa alam semesta. Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis sudah menegaskan bahwa persediaan sumber-sumber alam itu terbatas keberadaannya. Bumi mesti diolah dengan sikap syukur (Centesimus Annus, 1991). Sehingga dalam Audiensi Umum tahun 2001, Paus Yohanes Paulus II menyerukan pentingnya pertobatan ekologis. Seruan ini ditegaskan kembali oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si, yaitu membangun hubungan yang sehat dan benar dengan seluruh alam ciptaan dan tidak lagi mengulang sikap dan perilaku yang merusak.
Visi Ekologis dalam Keluarga; Segala Sesuatu Terkait dan Terhubung Sebagai Kesatuan Ciptaan
Keluarga membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal, lingkungan yang layak, di mana mereka dapat menjalin hubungan-hubungan yang layak. Untuk keluarga umat manusia, rumah itu adalah bumi, lingkungan, yang diberikan Allah Pencipta kepada manusia supaya dihuni dengan kreativitas dan tanggung jawab. Lingkungan dipercayakan kepada manusia, agar manusia melindungi dan mengolahnya dalam kebebasan yang bertanggung jawab, dengan kesejahteraan semua orang sebagai tolok ukur dalam pemanfaatan atas seluruh realitas dunia yang ada.
Dari sudut pandang trinitarian, realitas dunia ini sesungguhnya adalah Allah, manusia dan ciptaan lain (baik yang terlihat maupun yang tak terlihat), yang disatukan oleh Kekuatan Ilahi, Roh Allah sendiri, yang merupakan sumber yang menghidupkan dan sekaligus yang menjaga keberlangsungan realitas tersebut. Melalui perjumpaan atas realitas ini, manusia dipanggil untuk menemukan dan menyadari cinta Allah dalam diri manusia dan ciptaan lainnya. Tentunya, untuk dapat mencapai itu semua diperlukan suatu kesediaan untuk mengubah diri. Sama seperti solidaritas manusia dalam dosa telah menjangkiti seluruh ciptaan, demikian juga penyembuhan manusia akan mengalir kepada semua ciptaan, memulihkan kesatuan hingga semua berbagi dalam berkah Allah yang sepenuhnya menerima semuanya sebagai anak-anak-Nya. Relasi manusia dengan Aliahlah yang menentukan relasi dengan sesama dan lingkungannya.
Pengelolaan lingkungan yang benar seharusnya juga melibatkan dimensi ilahi, suatu dimensi yang sering terlupakan. Krisis ekologi atau krisis lingkungan terjadi karena ada kealahan dalam pengelolaan ini, yaitu dilupakannya dimensi ilahi ini. Akar krisis ekologis ini terletak pada rusaknya hubungan manusia dengan Allam dan dengan alam semesta. Ini berarti bahwa krisis ekologi hanya dapat diselesaikan dengan menghadirkan kembali dimensi Ilahi dalam realitas hidup. Kristus sendiri mengajar Gereja untuk mau merangkul dan masuk ke dalam realitas hidup sesama, pribadi umat manusia (bdki/lat 25:31-46). Tugas ini menjadi berarti di tengah berkembangnya budaya penyingkiran, atau globalisasi ketidakpedulian terhadap keutuhan ciptaan. “Bukan hanya bumi dianugerahkan Allah kepada manusia, melainkan manusia dari dirinya sendiri adalah anugerah dari Allah dan, oleh karenanya, harus menghormati struktur kodrati dan moral yahg telah dianugerahkannya” (Centesimus Annus, art. 38).
Gerak Tobat Ekologis dalam Keluarga
Keluarga adalah sel dasar masyarakat. Sebagai sel dasar, keluarga menjadi titik awal untuk membangun gerak ‘tobat ekologis’ yang akan menumbuhkan dan mengembangkan pembahan dan pembaharuan sikap dan tindakan hidup yang berwawasan ekologis dalam membangun keutuhan hidup bersama. Keutuhan hidup bersama dipahami sebagai suatu relasi harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam ciptaan dan manusia dengan Allah Sang Pencipta. Keutuhan hidup mencakup manusia dan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup atau ekologi mempunyai fungsi penyangga peri kehidupan yang amat penting. Oleh karena itu, membangun sikap hormat terhadap hidup dan keutuhan ciptaan menjadi dasar dari gerak tobat ekologis.
Hormat terhadap hidup, terutama terhadap martabat pribadi manusia adalah norma pedoman utama untuk setiap kemajuan ekonomi, industri dan terknologi yang sehat. Hormat yang melengkapi terhadap pribadi dan hidup manusia ialah tanggung jawab menghormati seluruh ciptaan. Allah adalah pencipta dan perancang alam semesta. Alam semesta dan hidup dalam segala bentuknya merupakan kesaksian kuasa Allah yang kreatif, kasih-Nya, kehadiran-Nya terus menerus. Segala ciptaan mengingatkan akan misteri dan kasih Allah.
Langkah pertama dalam menumbuhkan gerak tobat ekologis adalah menyandarkan diri dan membuahkan kembali perjumpaan dengan Kristus, akan Injil-Nya. Hal ini merupakan langkah spiritual, menempatkan hidup terutama dalam relasi personalnya dengan Kristus dan menyatukan hidupnya dalam hidup Kristus sebagaimana Kristus bersatu dengan Allah Bapa-Nya. Oleh sebab itu, menjadi penting membangun kesadaran bahwa Kristus sungguh berarti bagi diri kita masing-masing, secara pribadi. Kesatuan Yesus yang dalam dengan Bapa dinyatakan bukan hanya dalam identifikasi diri-Nya dengan semua manusia, tetapi juga dalam kesatuannya dengan alam semesta. Allah secara aktif memelihara dan menyelenggarakan hidup bagi semua ciptaan setiap hari, setiap saat (Matius 6,25 - 30). Penciptaan bukan sekali jadi, melainkan terus menerus berlangsung sebagaimana ditunjukkan melalui pembuktian ilmiah atas evolusi semesta. Daya kreatif Allah terus berlangsung dalam hidup semesta yang ada dalam kesatuan yang sekaligus saling terhubung dan tergantung, sehingga tidak ada satu pun peristiwa yang terisolir di dalam sejarah semesta. Segala sesuatu terkait dan terhubung sebagai kesatuan ciptaan. Kesadaran ini akan mengubah dan memperbaharui cara bersikap dan bertindak atas hidup.
Pola konsumsi yang menimbulkan sandungan dan pemborosan segala macam sumber daya oleh sedikit orang harus diperbaiki untuk menjamin keadilan dan pengembangan lestari bagi semua ciptaan. Paus Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa, “kesederhanaan, pengendalian diri dan disiplin, demikian juga semangat berkorban menjadi bagian hidup sehari-hari, agar jangan semua orang menderita konsekuensi negatif dari kebiasaan sembarang sedikit orang”.
Membuat prioritas konsumsi dengan mengedepankan penghematan atas konsumsi keluarga dalam segala bidang bisa dihayati sebagai cara partisipasi dalam pemeliharaan ekosistem. Memenuhi kebutuhan domestik dengan upaya kreatif bersama, alih-alih mengandalkan teknologi dan produk turunannya bisa melatih komunitas dalam menghargai proses. Promosi, dukungan dan partisipasi dalam gerak komunitas lokal yang memiliki strategis bisa menjadi kesempatan melatih diri dalam keterlibatan yang lebih luas dengan semua orang yang berkehendak baik untuk melestarikan budaya kehidupan dan alam semesta.
Penutup
Keluarga berwawasan ekologis berarti keluarga yang memahami dan menyadari akan keberadaannya sebagai keluarga manusia yang segala sesuatunya terkait dan terhubung sebagai kesatuan ciptaan dari Pencipta Alam Semesta. Dengan demikian, Allah Pencipta Alam Semesta akan tercermin dari segala ciptaan-Nya. Seperti tergambar dalam Kidung Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Assisi:
"Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua Makhluk-Mu,
terutama Tuan Saudara Matahari:
dia terang siang hari, melalui dia kami Kau beri terang.
Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang cemerlang;
tentang Engkau, Yang Mahaluhur. dia menjadi tanda lambang.
Terpujilah Engkau. Tuhanku,
karena Saudari Bulan dan bintang-bintang,
di cakrawala Kau pasang mereka, gemerlapan, megah dan indah.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin,
dan karena udara dan kabut, langit yang cerah dan segala cuaca,
dengan-Nya Engkau menopang hidup makhluk ciptaan-Mu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Air;
dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api,
dengannya Engkau menerangi malam;
dan indah, cerah ceria, kuat dan perkasa."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar