Rabu, 18 Januari 2017

JANGAN AJARI ORANG DAYAK TOLERANSI

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Tengku Zulkarnain, bersama rombongan ditolak menginjakkan kaki oleh sekelompok orang Dayak di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Rombongan, yang baru mendarat di Bandara Susilo dengan pesawat Garuda, terpaksa melanjutkan perjalanan ke Pontianak.
Aksi penghadangan ini menimbulkan respon oleh beberapa pihak. Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, seperti dikutip dari Kompas Online, ikutan memberikan tanggapan atas peristiwa tersebut. Haedar seakan mau mengguri orang Dayat soal toleransi. Beliau menghimbau, jika berbicara soal toleransi antarumat beragama, maka semua unsur masyarakat seharusnya siap hidup dalam keberagaman. “Semua pihak, kalau ingin menegakkan toleransi, ya harus siap dalam keberagaman. Saya ulangi, seluruh pihak. Itu poin saya,” ujar Nashir.
Sekalipun dalam pernyataannya Nashir menekankan seluruh pihak, namun pernyataannya itu sangat jelas ditujukan kepada orang Dayak. Frase seluruh pihak hanyalah sebagai kedok bahwa Nashir mau bersikap netral. Frase itu adalah gaya bahasa diplomatis. Di baliknya seakan Nashir mau mengajari orang Dayak bertoleransi. Padahal sudah ratusan tahun orang Dayak hidup berdampingan dengan orang Melayu, dan nyaris tak pernah terdengar riak perselisihan. Konflik orang Dayak dan Madura disebabkan karena orang Madura yang bersikap kasar terhadap orang Dayak. Hal yang sama dengan kasus penolakan ini.
Saudara Andreas, yang memimpin Forum Pemuda Dayak DAD Sintang, menyampaikan pernyataan terkait dengan penolakan itu. Dikatakan bahwa mereka menolak Sekjen MUI itu karena pernyataan Tengku Zulkarnain di salah satu media sosial yang menista perasaan warga masyarakat Dayak. Ditegaskan bahwa warga Dayak Kabupaten Sintang tidak membenci MUI, tetapi lebih  kepada pribadi Tengku Zulkarnain, yang kebetulan menjabat wakil sekjen MUI.
Jadi, pernyataan Nashir, yang seakan mau menggurui orang Dayak untuk bertoleransi, sungguh berlebihan dan aneh. Berlebihan karena pesan itu menjadi sumbang, seperti mengajari ikan berenang. Orang Dayak sudah tahu hidup bertoleransi. Bila perlu Haedar Nashir perlu belajar dari warga Dayak di Kalimantan. Dikatakan aneh, karena pesan itu muncul ketika ada kejadian yang menimpa salah satu atribut islam. Kenapa ketika MUI mengeluarkan fatwa penistaan agama kepada Ahok, Nashir tidak berkomentar.
Bagi saya, kasus penolakan ini tak jauh beda dengan fatwa MUI. Ketika dirasakan dan ditafsir bahwa Ahok telah melakukan penistaan, maka MUI mengeluarkan fatwa. Demikian pula halnya dengan Forum Pemuda Dayak DAD Sintang. Ketika dirasakan bahwa Tengku Zulkarnain telah melakukan penghinaan, maka mereka menolak kedatangannya. Menolak kedatangan orang sama artinya mengeluarkan fatwa. Bentuk fatwa Forum Pemuda Dayak DAD Sintang atas Tengku Zulkarnain adalah menolaknya menginjakkan kaki di tanah Dayak Sintang.
Jadi, jika Nashir mempersoalkan aksi penolakan sekelompok orang Dayak terhadap wakil sekjen MUI, Nashir juga harus mempersoalkan fatwa MUI atas Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok. Jika Nashir mendukung langkah MUI mengeluarkan fatwa penistaan agama kepada Ahok, maka Nahsir juga harus mendukung langkah Forum Pemuda Dayak DAD Sintang menolak kedatangan wakil sekjen MUI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar