Sabtu, 26 November 2016

EKSTREMIS ISLAM ANCAM KEBEBASAN BERAGAMA

Ekstremis islam mengancam kebebasan beragama di seluruh dunia, terutama di negara-negara Barat, Timur Tengah, dan Afrika. Demikian laporan yang dirilis oleh sebuah yayasan Vatikan (Aid to the Church in Need), yang memberikan bantuan kepada orang-orang di daerah konflik. Laporan ini mengatakan “kekerasan bermotif agama” telah menimbulkan serangan di satu dari lima negara di seluruh dunia dalam dua tahun terakhir.
Laporan itu, yang dirilis secara bersamaan di Vatikan dan Filipina pada 15 November, mengatakan bahwa “tujuan utama ekstremis islam adalah menghilangkan komunitas agama lain.” Dari 196 negara, 38 menunjukkan “bukti pelanggaran kebebasan beragama yang signifikan.”
Studi ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama memburuk di 11 dari 23 negara, yang dikategorikan sebagai “negara-negara penganiaya”, termasuk Banglades, Tiongkok, Indonesia dan Pakistan. Setidaknya tujuh negara – Afganistan, Irak, Nigeria, Korea Utara, Arab Saudi, Somalia dan Suriah – yang digambarkan sebagai “terburuk”.
Laporan ini menggambarkan ancaman ekstremisme sebagai “mematikan dengan niat genosida.” Serangan mereka termasuk “pembunuhan massal, pemerkosaan, penyiksaan ekstrem, seperti membakar orang hidup-hidup, penyaliban, dan melemparkan orang dari gedung-gedung tinggi.”
Laporan itu mengatakan bahwa ekstremisme “jelas berkembang dengan baik” dan ada bukti “penyebaran ideologi militan” di negara-negara dengan gerakan ekstremis seperti Banglades, Nigeria, Filipina, Indonesia, dan Pakistan.
Krisis Pengungsi
Kebangkitan kekerasan ekstremis menciptakan peningkatan mendadak jumlah pengungsi. Pada akhir 2015 PBB memperkirakan sekitar 65,3 juta pengungsi mengungsi di seluruh dunia. Ini rekor tertinggi. “Banyak orang melarikan diri terutama akibat penganiayaan agama,” kata laporan itu. Ekstremisme telah menyebabkan “rezim kecenderungan diktator” untuk menerapkan kontrol ketat atas kebebasan beragama, mempengaruhi tidak hanya umat islam, tetapi juga orang dari agama lain.
Laporan itu mengatakan bahwa di Tiongkok, dimana lebih dari 2.000 gereja dan salib telah dihancurkan, kebijakan “sinisisasi” telah menyebabkan penahanan para pemimpin agama. Korea Utara puncak daftar global pelanggar kebebasan beragama dengan “penolakan hak untuk kebebasan berpikir, beragama dan hati nurani.”
Tanda-tanda Harapan
Namun laporan itu mengatakan bahwa meskipun peningkatan intoleransi berbasis agama, pemimpin agama global telah mulai melakukan dialog dan memberikan pemahaman.
Pada bulan Mei lalu, Paus Fransiskus bertemu dengan Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Islam Sunni. “Pertemuan bersejarah itu,” berlangsung 30 menit, dating pada waktu serangan ekstremis meningkat terhadap orang Kristen. Dalam konferensi di Maroko pada Januari, Cendekiawan Muslim dari lebih 120 negara mendesak negara-negara muslim “melindungi minoritas non-muslim dari penganiayaan.”
Laporan itu mengatakan bahwa sebuah “sinar harapan” harus diakui adalah “kesediaan beberapa pemimpin islam untuk meningkatkan respon terkoordinasi.” Pastor Martin Berta, asisten Aid to the Church in Need, kepada wartawan di Manila mengatakan bahwa membantu orang Kristen yang dianiaya dan menderita adalah prioritas utama” yayasan ini.
Dia mengatakan laporan itu bertujuan  untuk mendesak rezim untuk menegakkan kebebasan beragama dan hak untuk kehidupan manusia. “Sudah saatnya mengakhiri kekerasan agama dan belajar merangkul satu sama lain terlepas dari iman, ras dan budaya,” kata imam itu.
diolah dari UCAN Indonesia
Baca juga tulisan lainnya:
Tinjauan Buku: Sejarah Teror

Tidak ada komentar:

Posting Komentar