Senin, 15 Agustus 2016

ISLAM, TOA DAN TERORISME

Di penghujung bulan Juli lalu Kota Tanjung Balai Asahan membara. Sekitar 6 rumah ibadah (vihara dan klenteng) dibakar oleh massa islam yang marah karena merasa agamanya dilecehkan. Peristiwa ini berakar pada TOA. Seperti yang sudah diketahui publik, menjelang shalat isya, seorang perempuan Tionghoa bernama Meliana (41 tahun) meminta agar pengurus masjid Al Maksum yang ada di lingkungannya mengecilkan volume TOA tersebut.
Sesudah shalat isya, sejumlah jemaah dan pengurus masjid mendatangi rumah Meliana. Ia dan suaminya kemudian dibawa ke kantor lurah ( bayangkan, 2 orang minoritas, China pula, berada di tengah gerombolan jemaah islam). Suasana memanas sehingga kedua orang itu akhirnya “diamankan” ke Polsek Tanjung Balai Selatan. Tak lama sesudah itu terjadilah aksi anarki.
Semuanya berawal dari TOA. Ada apa dengan TOA? Tentulah semua orang sudah tahu jawabannya. Suara TOA sangat membisingkan. Ibu Meliana merasa terganggu dengan suara-suara yang keluar dari TOA itu. Mungkin bukan cuma ibu Meliana saja. Ada orang lain juga yang merasa terganggu, tetapi baru Ibu Meliana yang berani meminta pengurus mengecilkan volume TOA. Mungkin, setelah peristiwa ini umat agama lain tidak mau ambil resiko, karena terbukti niat baik melahirkan malapetaka. Dan tanpa disadari, umat islam telah mencoreng agamanya sendiri. Saya tak tahu apakah umat islam menyadari semua hal ini atau tidak.
Saya melihat keberadaan TOA ini tak jauh bedanya dengan teroris. Malah, dalam satu titik, keduanya bisa disamakan. Sebagaimana teroris menganggu ketenangan, demikian pula TOA. Ia sungguh menggangu orang yang membutuhkan ketenangan. Suara yang keluar dari TOA sungguh sangat membisingkan.
Masalah TOA sebenarnya bukan baru ada saat rusuh melanda Tanjung Balai Asahan. Dan bukan juga berarti setelah kerusuhan itu reda, masalah itu pun hilang. Pada bulan Juni 2015 lalu Wakli Presiden Jusuf Kalla pernah melarang masjid memutar kaset mengaji karena menyebabkan “polusi suara”. Jelas, yang dimaksud polusi itu adalah kebisingan yang dilahirkan dari TOA. Hingga kini pun masalah TOA itu masih ada.
Saya sebutkan beberapa kasus saja. Di daerah Batu Aji, Batam, ada umat nasrani mengeluh dengan suara TOA, yang kesannya sengaja diarahkan ke gereja. Akibatnya, saat ibadah umat sama sekali tidak bisa atau kesulitan mendengar suara imamnya karena kalah bersaing dengan suara TOA dari masjid yang tak jauh di depannya. Pengurus gereja pernah menyampaikan keluhannya, namun aksi mereka seperti setitik hujan di padang pasir.
Tak jauh dari Batu Aji, ke arah Sagulung, sekelompok masyarakat juga mengeluh dengan bunyi TOA dari mushola di tempat mereka. Warga, yang kebanyakan umat kristiani, sebenarnya tidak mempermasalahkan suara adzan, tapi tidak dengan suara yang lain. Suara lain ini misalnya seperti yang dipersoalkan oleh Bapak Jusuf Kalla. Pernah seorang bapak meminta supaya volume suara diperkecil, namun reaksi umat islam tak jauh beda dengan yang di Tanjung Balai Asahan. Nyaris terjadi konflik.
Saya pribadi pun sering mengalami gangguan dari TOA ini. Di banyak tempat sering ketenangan istirahat pagi saya terganggu dengan suara TOA. Biasanya pada pukul 04.00 sudah mulai terdengar suara lagu irama Arab atau pembacaan ayat-ayat al quran. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka pernah mendatangi masjid itu, dan ternyata sepi. Jadi, pengurus masjid datang, menghidupkan tape recorder lalu “hilang” entah kemana. Pertanyaan, apakah mereka sadar kalau sekitar masjid itu tidak semuanya umat islam, yang tidak membutuhkan suara TOA itu? Ataukah ini mental mayoritas sehingga bisa berbuat seenaknya saja?
Pernah juga saya mendengar kelompok ibu-ibu sedang pengajian. Semua ada di dalam masjid. Akan tetapi terasa aneh, kenapa segala pembicaraan mereka harus disiarkan ke luar masjid melalui TOA? Malah ada anak-anak bermain dan rebutan mic dan ngobrol, yang semuanya itu tersiar ke luar masjid. Ini pernah saya alami, dan ini menggangu ketenangan istirahat siang saya.
Ini belum lagi soal kotbah Jumat yang tersiarkan juga lewat TOA. Bukan hanya sekedar menimbulkan kebisingan, tetapi juga terkadang isi kotbahnya membuat telinga umat agama lain menjadi merah. Mungkin karena mental minoritas atau tahu sifat galak mayoritas membuat semua itu dipendam saja. Atau karena mengikuti ajaran agamanya, mendoakan orang yang membenci atau memusuhinya.
Apakah saya melarang suara adzan? Sama sekali tidak. Namun, jika memang tidak perlu dengan TOA jauh lebih baik. Mungkin otoritas islam perlu menjelaskan ke umat yang lain kenapa harus menggunakan TOA. Dengan penjelasan ini umat lain akan tahu, dan dari sini lahirlah pemahaman. Jika orang sudah memahami, maka orang dapat memaklumi dan menghormati. Dari sinilah lahir semangat toleransi. Tapi, umat islam juga perlu memahami bahwa suara TOA itu benar-benar menggangu ketenangan.
Cukuplah aksi bom bunuh diri sebagai bentuk teror, yang menganggu ketenangan hidup. Jangan ditambah lagi dengan TOA.
Batam, 8 Agustus 2016
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar