RABU ABU: ALASAN, MAKNA DAN TUJUANNYA
Seorang muslim pernah
berkata, “Enak ya, jadi katolik itu gak ada puasanya.” Dia langsung kaget
ketika dikatakan bahwa orang katolik juga punya tradisi puasa. Lama masa puasa
itu adalah 40 hari. Angka 40 memiliki makna rohani sebagai lamanya persiapan,
seperti yang pernah dilakukan oleh Musa (lih. Kel 34: 28) atau Nabi Elia (lih.
1Raj 19: 8), dan Tuhan Yesus sendiri (lih. Mat 4: 2).
Masa puasa ini sering juga
disebut masa prapaskah. Perlu diketahui, masa prapaskah tidak semata-mata
dimaknai sebagai tindakan berpuasa saja, melainkan juga untuk bertobat dan
berderma. Masa prapaskah selalu diawali pada Rabu Abu. Pada hari ini semua umat
katolik diundang untuk mengikuti perayaan penerimaan abu.
1. Mengapa Hari Rabu
Gereja
Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak
dihitung karena dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Tuhan Yesus), maka masa
puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari.
Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu supaya bisa genap 40
hari.
Ritual
perayaan Rabu Abu ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad VIII. Sekitar
tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan dalam kotbahnya
bahwa menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh dengan kain kabung
merupakan ungkapan tobat. Aelfric mengajak umat untuk bersedia menerima abu di
kepala sebagai tanda bahwa “kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama
masa Prapaskah.”
Penggunaan
abu dalam liturgi berasal dari jaman perjanjian Lama. Abu adalah tanda
pertobatan, perkabungan dan ketidakabadian. Beberapa kisah dalam Kitab Suci
terkait dengan penggunaan abu ini dapat dibaca dalam Yun 3: 6 tentang
pertobatan Niniwe, Est 4: 1 tentang perkabungan Mordekhai, Ayb 42: 6 tentang
penyesalan Ayub, serta Dan 9: 3 tentang nubuat Daniel akan Yerusalem yang
ditawan ke Babel. Makna ketidakabadian selalu dikaitkan dengan kisah penciptaan
manusia yang berasal dari debu tanah (lih. Kej 2: 7).
Gereja
perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam
bukunya De Poenitentia, Tertulianus
(sekitar 160 – 220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanda
bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.” Eusebius (260 – 340),
sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya bagaimana
seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan
kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi
mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan
mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.
3. Asal Abu
Abu
yang dipakai pada perayaan Rabu Abu berasal sisa pembakaran daun-daun palma
yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Imam
memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda
salib dan berkata, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” atau “Kamu adalah
debu dan akan kembali menjadi debu.”
4. Memaknai Abu dalam Masa Prapaskah
Dengan
menerima abu pada perayaan Rabu Abu, kita memasuki masa Prapaskah. Selama masa
Prapaskah ini, hendaklah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita
menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita diajak juga untuk
mengarahkan hati kepada Kristus yang sengsara, wafat dan bangkit demi
keselamatan kita. Selain itu, kita perlu menyadari bahwa kerajaan dunia ini
akan segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam Kerajaan Allah sekarang
ini serta merindukan kepenuhannya di sorga kelak.
Jadi,
dengan menerima abu, kita diajak untuk menghayati makna abu selama masa
Prapaskah. Patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam
karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Dalam masa prapaskah, tindakan belas
kasih yang tulus harus menjadi bagian dari silih dan pembaharuan hidup kita,
karena tindakan-tindakan belas kasih mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan
yang teramat penting bagi datangnya Kerayaan Allah di dunia ini.
Demikianlah informasi
singkat mengenai perayaan Rabu Abu. Dengan informasi ini diharapkan supaya kita
tidak menjadikan perayaan Rabu Abu hanya sebagai seremonial belaka. Kita diundang
untuk memanfaatkan perayaan ini sebagai penyadaran diri sebagai manusia lemah
dan berdosa, yang butuh rahmat kerahiman Allah. Dengan kesadaran itu, kita
terpanggil untuk bertobat dan melakukan silih atas dosa-dosa kita.
Marilah kita melangkah
memasuki masa Prapaskah dengan mengungkapkan dalam hati, “Hanya debulah aku, ya
Tuhan. Kasihanilah aku!” Mari kita ungkapkan sesal dan tobat kita serta melakukan silih atas dosa-dosa kita.
Pangkalpinang, 28 Januari 2016
by: adrian
sumber:
yesaya indocell
Tidak ada komentar:
Posting Komentar