JANGAN SALAHKAN PARPOL TAK AJUKAN CALON
Dewasa ini, menjelang
pemilihan kepala daerah serentak, Indonesia disibukkan dengan fenomena calon
tunggal. Tercatat ada 7 daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Pasangan
calon pimpinan daerah ini maju dalam proses PEMILU 9 Desember nanti tanpa lawan
tanding.
Ada tiga alasan utama yang
saling berkaitan kenapa akhirnya muncul calon tunggal ini. Pertama, pasangan incumbent
terlalu baik di mata rakyatnya. Dalam pemilihan ini ia mencalonkan diri untuk
periode kedua dan terakhir. Karena kinerjanya di periode awal sangat memuaskan,
maka sudah dapat dipastikan rakyat akan mendukung dia lagi. Bahkan dapat
dikatakan, ia tak perlu lagi mengeluarkan biaya kampaye, seperti spanduk, iklan
atau sejenisnya. Tanpa itu semua, ia dapat dipastikan menang dalam pesta
demokrasi. Contoh paling gamblang adalah calon pasangan Risma dan Wisnu.
Kedua,
dalam
pertarungan, orang Indonesia belum memiliki budaya “siap kalah”. Prinsip yang
selalu dipegang adalah “siap menang”. Sekalipun menjelang masa kampanye selalu
diadakan acara kesepakatan bersama antar kandidat untuk “siap menang – siap
kalah”, tetap saja akan ada gugatan. Sebagai contoh, ketika Pilpres lalu, baik
kubu Jokowi – JK maupun Prabowo – Hatta, sama-sama menyatakan “siap menang –
siap kalah”. Tapi, apa yang terjadi? Kita semua tentu sudah tahu.
Ketiga,
undang-undang
PEMILU yang mewajibkan adanya kompetisi. Bahwa kompetisi selalu mengandaikan
adanya dua atau lebih pasangan kompetitor. Dalam proses demokrasi PEMILU, baik
itu pilkada maupun pilpres, harus ada setidaknya dua pasang calon. Kalau hanya
ada satu pasang calon (calon tunggal), maka pesta demokrasi ini ditunda.
Inilah tiga faktor penyebab
munculnya calon pasangan tunggal dalam pilkada kali ini. Dapat dipastikan
fenomena calon tunggal ini tidak akan muncul jika calon-calon kepala daerah itu
baru pertama kali bertarung, atau calon petahananya gagal dalam menjalani tugas
di periode pertamanya. Misalnya, seorang bupati suatu daerah mencalonkan diri
untuk periode kedua, tapi di periode pertama ia memiliki kelemahan. Dalam kasus
ini, pastilah akan muncul lawan tandingnya.
Atau pesta demokrasi tetap
bisa berjalan jika tidak ada undang-undang PEMILU yang mewajibkan adanya
kompetisi. Artinya, sekalipun calon tunggal, pesta demokrasi tetap berjalan.
Siapa yang patut disalahkan
dalam kasus calon tunggal ini? Sebagaimana diketahui, jika akhirnya tetap tidak
ada calon lawan, maka pilkada akan diundur. Jabatan kepala daerah akan dipegang
oleh pelaksana tugas. Dan ini akan sangat merugikan rakyat.
Banyak orang menyalahkan
parpol-parpol yang tidak mengajukan calon kepala daerah. Menteri Dalam Negeri,
Cahyo Kumolo, mengajak rakyat untuk memberi sanksi kepada parpol-parpol yang
tidak mau mengajukan kadernya menjadi calon kepala daerah. Peneliti LIPI, Siti
Zuhro mengkritik parpol-parpol yang sudah menyerah sebelum berlaga dalam
pilkada. “Partai harusnya mempunyai jiwa ksatria. Jangan mundur jika belum
mencoba,” ujar Siti dalam diskusi di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (07/08).
Selama ini orang hanya
melirik kesalahan pada faktor kedua, yaitu parpol-parpol tidak siap kalah.
Tidak ada yang menyinggung pada faktor pertama. Memang tidak bisa kita
menyalahkan pasangan petahana yang sudah berkarya dengan baik selama periode
pertamanya. Justru kemenangan dalam pilkada tanpa lawan tanding merupakan
bentuk apresiasi atas kinerjanya selama periode pertama.
Kurang pas juga kalau kita
hanya sibuk menyalahkan parpol yang tidak mengajukan calonnya dalam pilkada
ini. Saya juga tidak mau menyalahkan jika memang mereka memegang prinsip “tak
mau kalah”. Ini seperti yang dikatakan Ketua DPP Gerindra, Desmon J Mahesa,
menyikapi kenapa partainya tak mengajukan lawan tanding bagi Risma. “Ngapain
kita ajukan calon kalau untuk kalah juga? Kalau lawan Risma bakalan kalah,
ngapain keluarin duit,” ungkap aktivis 98 yang pernah diculik.
Pernyataan Desmon ini seakan
membenarkan dugaan selama ini bahwa untuk menjadi calon pimpinan daerah
dibutuhkan biaya yang sangat tinggi. Biaya tinggi inilah yang menjadi alasan
utama kenapa mereka tidak berani maju. Dan saya tidak mau menyalahkannya. Saya
hanya memakluminya saja. Prinsip ini lumrah dalam kehidupan manusia. Orang baru
mau berkompetisi jika melihat ada peluang. Sekalipun berbiaya tinggi, tapi jika
ada peluang, pastilah ia akan maju. Namun jika sama sekali tidak ada peluang,
wajar saja bila akhirnya mundur.
Jika faktor pertama tak bisa
disalahkan, sedang faktor kedua dapat dimaklumi, maka yang patut disalahkan
adalah undang-undang PEMILU yang mewajibkan adanya kompetisi. Produk hukum ini
semestinya tidak menghalangi calon tunggal untuk maju kembali dalam PEMILU.
Sekalipun tidak ada lawan tanding, proses PEMILU harus tetap terus berjalan,
karena rakyat tetap punya dua pilihan, yaitu memilih calon tunggal itu atau
tidak memilih. Tetap dibutuhkan syarat untuk memenangi PEMILU bagi calon
tunggal. Salah satunya, jumlah suara harus melebihi 50% dari jumlah pemilih.
Tentulah saat ini tidak
mungkin kalau kita mengajukan judifical
review atas undang-undang PEMILU itu. Pilkada sudah di depan mata. Judifical review hanya dapat diajukan
setelah pilkada ini. Saat ini, yang mendesak dilakukan adalah mengeluarkan
perppu. Hanya perppu yang dapat mengatasi persoalan calon tunggal saat ini.
Karena itu, daripada terus
mendesak parpol untuk mengajukan calon kepala daerah, ada baik dan bijaksana
jika pemerintah segera mengeluarkan perppu. Harus disadari parpol-parpol tidak
akan mangajukan calon karena mereka melihat tidak ada peluang untuk menang.
Pangkalpinang,
8 Agustus 2015
by: adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar