Senin, 10 Agustus 2015

Alasan Calon Tunggal Pilkada & Solusinya

JANGAN SALAHKAN PARPOL TAK AJUKAN CALON
Dewasa ini, menjelang pemilihan kepala daerah serentak, Indonesia disibukkan dengan fenomena calon tunggal. Tercatat ada 7 daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Pasangan calon pimpinan daerah ini maju dalam proses PEMILU 9 Desember nanti tanpa lawan tanding.
Ada tiga alasan utama yang saling berkaitan kenapa akhirnya muncul calon tunggal ini. Pertama, pasangan incumbent terlalu baik di mata rakyatnya. Dalam pemilihan ini ia mencalonkan diri untuk periode kedua dan terakhir. Karena kinerjanya di periode awal sangat memuaskan, maka sudah dapat dipastikan rakyat akan mendukung dia lagi. Bahkan dapat dikatakan, ia tak perlu lagi mengeluarkan biaya kampaye, seperti spanduk, iklan atau sejenisnya. Tanpa itu semua, ia dapat dipastikan menang dalam pesta demokrasi. Contoh paling gamblang adalah calon pasangan Risma dan Wisnu.
Kedua, dalam pertarungan, orang Indonesia belum memiliki budaya “siap kalah”. Prinsip yang selalu dipegang adalah “siap menang”. Sekalipun menjelang masa kampanye selalu diadakan acara kesepakatan bersama antar kandidat untuk “siap menang – siap kalah”, tetap saja akan ada gugatan. Sebagai contoh, ketika Pilpres lalu, baik kubu Jokowi – JK maupun Prabowo – Hatta, sama-sama menyatakan “siap menang – siap kalah”. Tapi, apa yang terjadi? Kita semua tentu sudah tahu.
Ketiga, undang-undang PEMILU yang mewajibkan adanya kompetisi. Bahwa kompetisi selalu mengandaikan adanya dua atau lebih pasangan kompetitor. Dalam proses demokrasi PEMILU, baik itu pilkada maupun pilpres, harus ada setidaknya dua pasang calon. Kalau hanya ada satu pasang calon (calon tunggal), maka pesta demokrasi ini ditunda.
Inilah tiga faktor penyebab munculnya calon pasangan tunggal dalam pilkada kali ini. Dapat dipastikan fenomena calon tunggal ini tidak akan muncul jika calon-calon kepala daerah itu baru pertama kali bertarung, atau calon petahananya gagal dalam menjalani tugas di periode pertamanya. Misalnya, seorang bupati suatu daerah mencalonkan diri untuk periode kedua, tapi di periode pertama ia memiliki kelemahan. Dalam kasus ini, pastilah akan muncul lawan tandingnya.
Atau pesta demokrasi tetap bisa berjalan jika tidak ada undang-undang PEMILU yang mewajibkan adanya kompetisi. Artinya, sekalipun calon tunggal, pesta demokrasi tetap berjalan.
Siapa yang patut disalahkan dalam kasus calon tunggal ini? Sebagaimana diketahui, jika akhirnya tetap tidak ada calon lawan, maka pilkada akan diundur. Jabatan kepala daerah akan dipegang oleh pelaksana tugas. Dan ini akan sangat merugikan rakyat.
Banyak orang menyalahkan parpol-parpol yang tidak mengajukan calon kepala daerah. Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo, mengajak rakyat untuk memberi sanksi kepada parpol-parpol yang tidak mau mengajukan kadernya menjadi calon kepala daerah. Peneliti LIPI, Siti Zuhro mengkritik parpol-parpol yang sudah menyerah sebelum berlaga dalam pilkada. “Partai harusnya mempunyai jiwa ksatria. Jangan mundur jika belum mencoba,” ujar Siti dalam diskusi di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (07/08).
Selama ini orang hanya melirik kesalahan pada faktor kedua, yaitu parpol-parpol tidak siap kalah. Tidak ada yang menyinggung pada faktor pertama. Memang tidak bisa kita menyalahkan pasangan petahana yang sudah berkarya dengan baik selama periode pertamanya. Justru kemenangan dalam pilkada tanpa lawan tanding merupakan bentuk apresiasi atas kinerjanya selama periode pertama.
Kurang pas juga kalau kita hanya sibuk menyalahkan parpol yang tidak mengajukan calonnya dalam pilkada ini. Saya juga tidak mau menyalahkan jika memang mereka memegang prinsip “tak mau kalah”. Ini seperti yang dikatakan Ketua DPP Gerindra, Desmon J Mahesa, menyikapi kenapa partainya tak mengajukan lawan tanding bagi Risma. “Ngapain kita ajukan calon kalau untuk kalah juga? Kalau lawan Risma bakalan kalah, ngapain keluarin duit,” ungkap aktivis 98 yang pernah diculik.
Pernyataan Desmon ini seakan membenarkan dugaan selama ini bahwa untuk menjadi calon pimpinan daerah dibutuhkan biaya yang sangat tinggi. Biaya tinggi inilah yang menjadi alasan utama kenapa mereka tidak berani maju. Dan saya tidak mau menyalahkannya. Saya hanya memakluminya saja. Prinsip ini lumrah dalam kehidupan manusia. Orang baru mau berkompetisi jika melihat ada peluang. Sekalipun berbiaya tinggi, tapi jika ada peluang, pastilah ia akan maju. Namun jika sama sekali tidak ada peluang, wajar saja bila akhirnya mundur.
Jika faktor pertama tak bisa disalahkan, sedang faktor kedua dapat dimaklumi, maka yang patut disalahkan adalah undang-undang PEMILU yang mewajibkan adanya kompetisi. Produk hukum ini semestinya tidak menghalangi calon tunggal untuk maju kembali dalam PEMILU. Sekalipun tidak ada lawan tanding, proses PEMILU harus tetap terus berjalan, karena rakyat tetap punya dua pilihan, yaitu memilih calon tunggal itu atau tidak memilih. Tetap dibutuhkan syarat untuk memenangi PEMILU bagi calon tunggal. Salah satunya, jumlah suara harus melebihi 50% dari jumlah pemilih.
Tentulah saat ini tidak mungkin kalau kita mengajukan judifical review atas undang-undang PEMILU itu. Pilkada sudah di depan mata. Judifical review hanya dapat diajukan setelah pilkada ini. Saat ini, yang mendesak dilakukan adalah mengeluarkan perppu. Hanya perppu yang dapat mengatasi persoalan calon tunggal saat ini.
Karena itu, daripada terus mendesak parpol untuk mengajukan calon kepala daerah, ada baik dan bijaksana jika pemerintah segera mengeluarkan perppu. Harus disadari parpol-parpol tidak akan mangajukan calon karena mereka melihat tidak ada peluang untuk menang.
Pangkalpinang, 8 Agustus 2015
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar