Sabtu, 17 Januari 2015

Kegelisahanku

Tulisan ini sama sekali tidak bertujuan menjelek-jelekkan siapapun; juga bukan untuk mencari perhatian dan dukungan. Tulisan ini lahir dari kegelisahan suara hati dan kegalauan akal budi. Awalnya ingin saya memendamnya sendiri dalam hati, membiarkan orang lain tak mengetahui; menjadi milik sendiri. Namun kegelisahan hati semakin menjadi. Jiwa ini gelisah memberontak.

Karena itulah, kuringankan tangan untuk menulis, membuka keprihatinanku ini, sehingga keprihatinanku menjadi keprihatinan bersama. Adalah keinginan saya agar orang lain memahami hal ini dan bisa mengambil sebuah sikap. Dasar tulisan ini adalah cintaku pada Gereja Kristus.

Tulisan ini terdiri dari tiga cerita, yang sekalipun tidak berhubungan satu sama lain, namun memiliki keterkaitan. Ada satu poin yang merangkum tiga cerita ini. Dan saya mempersilahkan pembaca untuk merangkai dan menemukan kaitan ketiga cerita ini.

BERAWAL DARI CERITAKU
Untuk memenuhi salah satu amanat sinode (lihat MGP no. 307), saya membentuk Tim Pendamping OMK (TPO) yang beranggota 12 orang. Memang untuk mencari anggota yang memiliki kriteria seperti yang digambarkan dalam buku sinode adalah sangat sulit. Karena itu, saya mendasarkan pilihan pada KEMAUAN dan potensi yang dimiliki tiap anggota. Namun belum ada tiga bulan keberadaan TPO, saya menerima surat pengunduran diri dari salah seorang anggota tim. Alasan mundur adalah faktor kesibukan. Saya tidak bisa menghalangi niat mundur tersebut karena ada dua alasan SIBUK mengacu pada kepentingan Gereja yang lebih besar.

Akan tetapi, selang beberapa bulan kemudian, mantan anggota TPO ini membentuk sebuah komunitas untuk karya pastoral parokial. Spontan nalar saya bertanya, bukankah dua kesibukan yang diungkap dalam surat pengunduran diri masih melekat pada dirinya. Koq masih bisa menyibukkan diri lagi dengan komunitas baru. Apakah ketika di TPO terasa sibuk, sedangkan di komunitas barunya itu tidak? Ketika saya mensyeringkan gangguan akal sehat ini kepada salah seorang anggota TPO lainnya, ia pun senasib-sebingung dengan saya. “Permainan apa yang mau dimainkan ....,” ujarnya.

Kebingungan saya semakin bertambah ketika mendengar langsung pernyataan mantan anggota TPO berkaitan dengan komunitas barunya itu. Dengan yakin dia menegaskan bahwa komunitas ini sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam buku sinode. Selama kurang lebih dua minggu setelah pernyataan itu, saya membaca kembali buku sinode hingga dua kali, tapi tidak menemukan pendasaran untuk komunitas ini sebagaimana yang dinyatakan. Atau mungkin saya yang bodoh atau kurang teliti membaca.

CERITA ORANG BIMAS (DEPAG)
Hampir seminggu, sebelum terbang ke Pangkalpinang, saya berada di Batam. Dalam satu kesempatan saya bersama Rm. Ansel, bertemu dengan salah seorang umat yang bekerja di Depag (Departemen Agama). Pertemuan informal ini terjadi di pastoran Tiban. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mencari tahu peluang mendapatkan dana bantuan untuk kegiatan temu imam Basepta (Bawah Sepuluh Tahun) Keuskupan Pangkalpinang di Paroki Ujung Beting pada bulan Februari tahun depan. Ketika mendengar rencana kegiatan, wajah pegawai Depag ini langsung ceria sumringah, namun segera redup saat mendengar kata Ujung Beting.

“Kalau dibuat di Batam bisa saja, Romo. Kebetulan program [/proyek] saya tahun 2013-2014 masih tinggal satu lagi. Jadi bisa pakai saya punya. Tapi itu pun hanya untuk satu hari dan panitianya dari saya.” Demikian penjelasannya.

Mendengar ceritanya ini, saya jadi ingat akan kegiatan OMK yang diadakan di TK Immanuel, Sei Bati setahun yang lalu. Sepertinya kegiatan tersebut bukan murni dari Gereja/Paroki, melainkan dari Depag atau kerjasama Depag dan oknum Gereja/Paroki. Pada waktu itu, bahkan para pesertanya pun mendapatkan “uang duduk”. Saya, yang waktu itu sebagai pemateri, juga menerima honor. Namun setelah menandatangani tanda terima, semua uang saya serahkan ke pengurus OMK sehingga sedikit menimbulkan kekagetan pada beberapa orang.

Dari obrolan kami, saya akhirnya tahu bahwa orang-orang di Depag itu sering membuat program/proyek pembinaan rohani. Membuat program/proyek itu sama artinya membuat proposal. Dan proposal itu identik dengan uang. Tiap orang dapat membuat lebih dari satu program. Jika programnya disetujui maka itu merupakan keuntungannya, karena selain mendapat uang dari gaji tetapnya, ia juga menerima uang dari proyeknya. Ia bisa bermain sendiri dengan tetap mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja setempat (pastor paroki), atau bekerja sama dengan “orang kepercayaan” di Gereja lokal. Karena itulah, ada banyak orang selalu membina relasi baik dengan pastor paroki (istilahnya: orang dekat). Dan tentulah umat akan tertarik mengikuti kegiatannya itu karena ada UANG DUDUK.

BERAKHIR DI CERITA SAHABAT
Malam pertama berjumpa dengan Rm. Yudhi, kami banyak ngobrol. Tema obrolan beragam, bukan cuma soal IT yang akan saya tangani nanti, melainkan menyentuh beberapa keprihatinan atas Gereja. Ada dua cerita Rm. Yudhi yang menarik untuk di-sharing-kan di sini. Pertama, di sebuah paroki (di wilayah Selatan keuskupan ini) ada umat rajin membuat proposal untuk kegiatan gerejawi. Proposal diajukan ke Depag, karena sejalan dengan kegiatannya. Namun sayang, proposal itu selalu ditolak. Kesalahan orang itu adalah bahwa proposal tersebut tidak ditandatangani oleh pastor paroki sebagai pejabat resmi Gereja.

Ketika mendengar cerita ini, saya langsung berkata bahwa untung orang Depag yang menolak itu baik. Bagaimana jika orang Depag itu sudah berkonspirasi dengan umat yang membuat proposal tadi? Selain itu perlu juga dipertanyakan kenapa ia tidak mau minta tanda tangan pastor paroki? Apakah ia takut diketahui niat buruknya atau ia tidak rela jatahnya berkurang karena harus berbagi dengan pastor paroki?

Kedua, di sebuah paroki lain lagi (masih di wilayah yang sama) ada umat yang bekerja di Depag kerapkali membuat kegiatan gerejawi. Semua kegiatan tersebut dia sendiri yang menanganinya. Mendengar cerita tersebut, otak saya langsung berkata bahwa orang itu membuat dan mendapat proyek yang banyak sehingga bisa melakukan banyak kegiatan gerejawi.
--o0o--
Demikianlah tiga cerita kegelisahan nurani saya. Tentulah dapat dikatakan bahwa ketika membuat proposal kegiatan gerejawi itu, dokumen Gereja dan tujuan mulia dikemukakan sebagai pendasaran kegiatan tersebut. Tak peduli soal kebenaran dokumen Gereja tersebut. Tak peduli juga soal kebenaran tujuan mulia itu. Mungkin ada yang bertanya, apakah kegiatan itu salah? Terus terang saya tidak mau menyalahkan kegiatan itu atau menilainya tidak baik. Namun dari semua ini ada satu pertanyaan mendasar saya:

APAKAH KEGIATAN-KEGIATAN GEREJAWI ITU DEMI PENGEMBANGAN GEREJA
ATAU DEMI KEPENTINGAN PRIBADI?
Pangkalpinang, 8 Agustus 2013
by: adrian
Baca juga:
3.      Uang
4.      Mati Rasa
6.      Ternyata…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar