Tulisan ini sama sekali tidak bertujuan
menjelek-jelekkan siapapun; juga bukan untuk mencari perhatian dan dukungan.
Tulisan ini lahir dari kegelisahan suara hati dan kegalauan akal budi. Awalnya
ingin saya memendamnya sendiri dalam hati, membiarkan orang lain tak
mengetahui; menjadi milik sendiri. Namun kegelisahan hati semakin menjadi. Jiwa
ini gelisah memberontak.
Karena itulah, kuringankan tangan untuk menulis,
membuka keprihatinanku ini, sehingga keprihatinanku menjadi keprihatinan bersama.
Adalah keinginan saya agar orang lain memahami hal ini dan bisa mengambil
sebuah sikap. Dasar tulisan ini adalah cintaku pada Gereja Kristus.
Tulisan ini terdiri dari tiga cerita, yang sekalipun
tidak berhubungan satu sama lain, namun memiliki keterkaitan. Ada satu poin
yang merangkum tiga cerita ini. Dan saya mempersilahkan pembaca untuk merangkai
dan menemukan kaitan ketiga cerita ini.
BERAWAL DARI
CERITAKU
Untuk memenuhi salah satu amanat sinode (lihat MGP no.
307), saya membentuk Tim Pendamping OMK (TPO) yang beranggota 12 orang. Memang
untuk mencari anggota yang memiliki kriteria seperti yang digambarkan dalam
buku sinode adalah sangat sulit. Karena itu, saya mendasarkan pilihan pada
KEMAUAN dan potensi yang dimiliki tiap anggota. Namun belum ada tiga bulan
keberadaan TPO, saya menerima surat pengunduran diri dari salah seorang anggota
tim. Alasan mundur adalah faktor kesibukan. Saya tidak bisa menghalangi niat
mundur tersebut karena ada dua alasan SIBUK mengacu pada kepentingan Gereja
yang lebih besar.
Akan tetapi, selang beberapa bulan kemudian, mantan
anggota TPO ini membentuk sebuah komunitas untuk karya pastoral parokial.
Spontan nalar saya bertanya, bukankah dua kesibukan yang diungkap dalam surat
pengunduran diri masih melekat pada dirinya. Koq masih bisa menyibukkan diri lagi dengan komunitas baru. Apakah
ketika di TPO terasa sibuk, sedangkan di komunitas barunya itu tidak? Ketika
saya mensyeringkan gangguan akal sehat ini kepada salah seorang anggota TPO
lainnya, ia pun senasib-sebingung dengan saya. “Permainan apa yang mau
dimainkan ....,” ujarnya.
Kebingungan saya semakin bertambah ketika mendengar
langsung pernyataan mantan anggota TPO berkaitan dengan komunitas barunya itu.
Dengan yakin dia menegaskan bahwa komunitas ini sesuai dengan apa yang
diamanatkan dalam buku sinode. Selama kurang lebih dua minggu setelah
pernyataan itu, saya membaca kembali buku sinode hingga dua kali, tapi tidak
menemukan pendasaran untuk komunitas ini sebagaimana yang dinyatakan. Atau
mungkin saya yang bodoh atau kurang teliti membaca.
Hampir seminggu, sebelum terbang ke Pangkalpinang,
saya berada di Batam. Dalam satu kesempatan saya bersama Rm. Ansel, bertemu
dengan salah seorang umat yang bekerja di Depag (Departemen Agama). Pertemuan informal
ini terjadi di pastoran Tiban. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mencari tahu
peluang mendapatkan dana bantuan untuk kegiatan temu imam Basepta (Bawah
Sepuluh Tahun) Keuskupan Pangkalpinang di Paroki Ujung Beting pada bulan
Februari tahun depan. Ketika mendengar rencana kegiatan, wajah pegawai Depag
ini langsung ceria sumringah, namun segera redup saat mendengar kata Ujung
Beting.
“Kalau dibuat di Batam bisa saja, Romo. Kebetulan
program [/proyek] saya tahun 2013-2014 masih tinggal satu lagi. Jadi bisa pakai
saya punya. Tapi itu pun hanya untuk satu hari dan panitianya dari saya.”
Demikian penjelasannya.
Mendengar ceritanya ini, saya jadi ingat akan kegiatan
OMK yang diadakan di TK Immanuel, Sei Bati setahun yang lalu. Sepertinya kegiatan
tersebut bukan murni dari Gereja/Paroki, melainkan dari Depag atau kerjasama
Depag dan oknum Gereja/Paroki. Pada waktu itu, bahkan para pesertanya pun
mendapatkan “uang duduk”. Saya, yang waktu itu sebagai pemateri, juga menerima
honor. Namun setelah menandatangani tanda terima, semua uang saya serahkan ke
pengurus OMK sehingga sedikit menimbulkan kekagetan pada beberapa orang.
Dari obrolan kami, saya akhirnya tahu bahwa
orang-orang di Depag itu sering membuat program/proyek pembinaan rohani.
Membuat program/proyek itu sama artinya membuat proposal. Dan proposal itu
identik dengan uang. Tiap orang dapat membuat lebih dari satu program. Jika
programnya disetujui maka itu merupakan keuntungannya, karena selain mendapat
uang dari gaji tetapnya, ia juga menerima uang dari proyeknya. Ia bisa bermain
sendiri dengan tetap mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja setempat (pastor
paroki), atau bekerja sama dengan “orang kepercayaan” di Gereja lokal. Karena
itulah, ada banyak orang selalu membina relasi baik dengan pastor paroki (istilahnya:
orang dekat). Dan tentulah umat akan tertarik mengikuti kegiatannya itu karena
ada UANG DUDUK.
BERAKHIR DI
CERITA SAHABAT
Malam pertama berjumpa dengan Rm. Yudhi, kami banyak
ngobrol. Tema obrolan beragam, bukan cuma soal IT yang akan saya tangani nanti,
melainkan menyentuh beberapa keprihatinan atas Gereja. Ada dua cerita Rm. Yudhi
yang menarik untuk di-sharing-kan di
sini. Pertama, di sebuah paroki (di wilayah Selatan keuskupan ini) ada
umat rajin membuat proposal untuk kegiatan gerejawi. Proposal diajukan ke
Depag, karena sejalan dengan kegiatannya. Namun sayang, proposal itu selalu
ditolak. Kesalahan orang itu adalah bahwa proposal tersebut tidak
ditandatangani oleh pastor paroki sebagai pejabat resmi Gereja.
Ketika mendengar cerita ini, saya langsung berkata
bahwa untung orang Depag yang menolak itu baik. Bagaimana jika orang Depag itu
sudah berkonspirasi dengan umat yang membuat proposal tadi? Selain itu perlu
juga dipertanyakan kenapa ia tidak mau minta tanda tangan pastor paroki? Apakah
ia takut diketahui niat buruknya atau ia tidak rela jatahnya berkurang karena
harus berbagi dengan pastor paroki?
Kedua, di sebuah paroki lain lagi (masih di wilayah yang
sama) ada umat yang bekerja di Depag kerapkali membuat kegiatan gerejawi. Semua
kegiatan tersebut dia sendiri yang menanganinya. Mendengar cerita tersebut,
otak saya langsung berkata bahwa orang itu membuat dan mendapat proyek yang
banyak sehingga bisa melakukan banyak kegiatan gerejawi.
--o0o--
Demikianlah tiga cerita kegelisahan nurani saya. Tentulah
dapat dikatakan bahwa ketika membuat proposal kegiatan gerejawi itu, dokumen
Gereja dan tujuan mulia dikemukakan sebagai pendasaran kegiatan tersebut. Tak
peduli soal kebenaran dokumen Gereja tersebut. Tak peduli juga soal kebenaran
tujuan mulia itu. Mungkin ada yang bertanya, apakah kegiatan itu salah? Terus
terang saya tidak mau menyalahkan kegiatan itu atau menilainya tidak baik.
Namun dari semua ini ada satu pertanyaan mendasar saya:
APAKAH KEGIATAN-KEGIATAN
GEREJAWI ITU DEMI PENGEMBANGAN GEREJA
ATAU DEMI
KEPENTINGAN PRIBADI?
Pangkalpinang, 8 Agustus 2013
by: adrian
Baca juga:
3.
Uang
4.
Mati Rasa
6.
Ternyata…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar