USKUP PENENTU WAJAH KEUSKUPAN KE DEPAN
Dewasa ini seringkali terdengar ada beberapa uskup yang sedikit
membuat sensasi negatif. Ada uskup yang antipati terhadap imam diosesan, sehingga
perkembangan imam diosesan di keuskupannya terhambat. Ada uskup yang bersikap
rasis, sehingga pelayanan terhadap umat dari suku tertentu terbengkelai. Ada
uskup yang sibuk mengumpulkan kekayaan (kalau tidak mau disebut koruptor),
sehingga banyak uang keuskupan tersedot demi kepentingan pribadinya. Ada uskup
yang arogan, nepotis, dan lain sebagainya.
Semua gambaran uskup di atas tentu akan berpengaruh pada
wajah keuskupannya. Gambaran uskup yang negatif akan berdampak pada wajah
keuskupan yang suram. Kalangan religius akan terpecah; demikian pula umatnya.
Tentulah hal ini akan berdampak pada penghayatan iman umat. Tak bisa dipungkiri,
ada umat yang kehilangan pegangan sehingga beralih ke gereja atau iman yang
lain. Bahkan imam yang pendapat perlakukan buruk dari uskupnya pun banyak yang
mengundurkan diri dari imamatnya.
Jika banyak umat yang sudah mulai meninggalkan gereja, dan
imam-imamnya pun meninggalkan imamatnya, maka ini dapat menjadi awal kesuraman
wajah gereja keuskupan. Dan ironisnya, hal ini berlatar belakang pada pribadi
pimpinan tertinggi Gereja lokal, yaitu uskup. Mencermati sosok uskup yang
“bermasalah” ini, tak sedikit orang bertanya, apakah Roh Kudus salah memilih
atau manusia yang salah memilih?
Memang pemilihan uskup adalah proses manusiawi. Akan tetapi,
peran Roh Kudus ada di dalamnya. Dalam proses manusiawi ini, peran uskup yang
akan pensiun sangat menentukan. Ini yang terjadi saat ini. Berbeda dengan zaman
dulu. Menurut Cyprianus, pemilihan uskup baru itu ditentukan oleh klerus, awam
dan uskup lama. Bagaimana proses pemilihan uskup berlangsung?
Uskup Baru Di Tangan
Uskup Lama
Kitab Hukum Gereja, Kanon 377, secara rinci menguraikan cara
pemilihan uskup baru. Di sana dinyatakan bahwa para uskup provinsi gerejawi
mengajukan nama para imam yang dianggapnya pantas dan tepat untuk jabatan uskup
kepada Takhta Apostolik. Pengajuan nama-nama ini dilakukan setiap tiga tahun
sekali. Nama-nama para imam yang diajukan untuk menjadi uskup ini berasal dari
imam-imam diosesan dan juga imam tarekat. Yang penting mereka memenuhi
kriteria.
Kanon 378 memberikan beberapa kriteria bagi seorang calon
uskup. Dari beberapa kriteria itu, dapat diungkapkan tiga kriteria utama, yaitu:
1.
Mempunyai
nama baik, yang terlihat dari unggul dalam iman, hidup baik, kesalehan,
semangat merasul, kebijaksanaan, kearifan dan dalam keutamaan-keutamaan
manusiawi, dan lagi dianugerahi sifat-sifat lain yang membuat layak untuk
melaksanakan jabatan tersebut.
2.
Sekurang-kurangnya
berusia 35 tahun, dan sudah 5 tahun sebagai imam.
3.
Memiliki
gelar doktor atau setidaknya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi atau KHK, yang
diperolehnya pada lembaga pendidikan yang diakui Takhta Apostolik.
Dari ketiga kriteria di atas, dapatlah dikatakan bahwa
kriteria pertama memiliki peran yang sangat sentral. Kriteria pertama ini masuk
dalam kategori keutamaan moral. Seorang calon uskup musti memiliki nama baik.
Orang boleh memiliki gelar tinggi atau usia matang, namun semuanya itu tidak
mempunyai korelasi dengan keutamaan moral ini. Beberapa uskup yang berulah,
seperti yang diutarakan di atas, sebenarnya memiliki kelemahan dalam kriteria
pertama ini.
Kriteria pertama dapat membuat nama-nama para imam, yang
diajukan kepada Takhta Apostolik setiap tiga tahun sekali, berubah-ubah. Bisa
saja nama yang diajukan pertama kali tak muncul pada pengajuan berikutnya,
karena setelah pengajuan itu muncul skandal yang membuat nama imam itu tidak
baik. Misalnya, bulan Oktober 2010 uskup mengajukan ke Vatikan nama-nama: Agus,
Ruben, Beni, Johan, Frans dan Anton, sebagai calon uskup. Pada Agustus 2012
Johan terkena kasus yang membuat namanya tidak baik di kalangan umat dan imam.
Maka, pada pengajuan nama berikutnya (Oktober 2013) nama Johan akan hilang.
Bisa saja muncul nama baru atau juga tidak sama sekali.
Yang menentukan nama-nama untuk diajukan ke Vatikan adalah
uskup aktif. Oleh karena itu, tanggung jawab moral uskup sangat diharapkan.
Amat sangat diragukan jika uskupnya tidak bersikap netral. Artinya, uskup tidak
memiliki kepekaan untuk mendengarkan suara-suara yang mungkin berkaitan dengan
nama baik calon yang diajukannya. Apalagi jika uskupnya lebih mendasarkan pilihan
pada suka atau tidak suka. Uskup hanya mau mendengar suara-suara dari
orang-orang yang dia sukai.
Sikap yang mendasarkan pilihan pada suka-tidak suka sangat
rentan terhadap manipulasi. Orang yang berambisi menjadi uskup, sekalipun
kurang ditunjang keutamaan moral tadi, dapat dengan mudah lolos seleksi. Ambisi
itu dapat dengan mudah dikamuflase, sehingga terlihat sama sekali tidak
berambisi. Kelemahan-kelemahan dari kriteria pertama bisa diakali dengan
kedekatan dengan uskup. Ia akan membuat dirinya disukai uskup. Dia akan
menanamkan pengaruh pada uskup sehingga akhirnya uskup dengan mudah
dipengaruhi. Dan jika uskup sudah “dikuasai” maka skandal apapun yang terjadi
dengan dirinya, tidak akan berpengaruh. Namanya akan terus muncul setiap
pengajuan ke Vatikan.
Jangan Salah Pilih
Memang kata akhir keputusan uskup baru ada di tangan Takhta
Apostolik dengan berbagai pertimbangan dan proses yang panjang dan sangat
rahasia. Akan tetapi peran uskup lama tidaklah kurang penting. Karena itu,
hendaklah uskup jangan salah pilih calon penggantinya. Uskup harus mendengarkan
suara hatinya dan mempertimbangkan setiap pilihannya.
Dari tiga kritera di atas – kepribadian, usia dan gelar
akademik – poin kepribadian harus mendapat perhatian sungguh-sungguh. Untuk itu,
uskup harus membuka kran informasi seluas-luasnya. Jangan hanya berdasarkan
informasi kalangan dekat saja, karena bisa saja kalangan dekat itu sudah di-setting si calon. Uskup musti
mendengarkan juga informasi lain dan mempertimbangkan masukan tersebut. Jangan terbuai
dengan gelar atau mulut manis calon yang diunggulkan.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan uskup dalam mengajukan
calon penggantinya adalah keterbukaan untuk mencari calon lain di luar
keuskupannya jika memang calon dari keuskupan bakal menimbulkan gesekan, baik
dikalangan klerus maupun umat. Memaksakan calon sendiri, meski sudah jelas
dampak buruknya, sama saja menggali lobang untuk gereja keuskupan. Uskup memang
tidak akan masuk ke lobang itu, karena setelah pension ia bisa saja pergi ke
tempat lain, namun umat dan para imamnya yang masuk dalam pusaran masalah.
Jika uskup mau mendengarkan semua suara berkaitan dengan
calon uskup, dan bila mendapatkan informasi cacat kepribadian calon itu,
pastilah uskup tidak akan mengajukan nama tersebut kepada Vatikan. Artinya,
uskup hanya mengajukan nama-nama para imam yang benar-benar memiliki nama baik;
dan informasi ini didasarkan pada informasi yang luas, bukan hanya dari
kalangan dekat yang disukai uskup. Dengan demikian maka Vatikan akan dengan
mudah menelusuri rekam jejak mereka ini.
Akhir Kata
Mendengar informasi miring
di keuskupan-keuskupan Indonesia yang berkaitan dengan uskupnya, jelas membuat
hati miris. Banyak umat tak habis pikir kenapa ada uskup yang bertindak
demikian. Inikah wajah Gereja Kristus?
Meski Gereja kita adalah Umat Allah, namun peran Hierarki
masih mendominan. Para hierarki, sebagai gembala, memiliki peran penting. Sebagai
gembala, mereka bisa berada di mana saja; di belakang umat untuk mendorong, di
tengah umat untuk mengayomi dan di depan untuk memberi teladan. Sangat susah
dibayangkan jika uskup, sebagai gembala Gereja Lokal, memberi contoh buruk,
akan seperti apa dombanya.
Gambaran beberapa situasi uskup di atas kiranya dapat
dikurangi, atau malah dihapus, jika para uskup dengan kesadaran dan tanggung
jawab moral yang tinggi benar-benar mengajukan nama-nama calon pengantinya yang
memiliki kepribadian yang baik. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Para uskup
bukan mencari malaikat, tetapi manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya.
Namun janganlah uskup memilih calon yang memiliki kepribadian yang potensial
menimbulkan gesekan yang berdampak pada kesuraman wajah Gereja Keuskupan.
Pangkalpinang, 8 November 2014
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar