Sabtu, 06 Desember 2014

Sekilas Pemilihan Uskup Baru

USKUP PENENTU WAJAH KEUSKUPAN KE DEPAN
Dewasa ini seringkali terdengar ada beberapa uskup yang sedikit membuat sensasi negatif. Ada uskup yang antipati terhadap imam diosesan, sehingga perkembangan imam diosesan di keuskupannya terhambat. Ada uskup yang bersikap rasis, sehingga pelayanan terhadap umat dari suku tertentu terbengkelai. Ada uskup yang sibuk mengumpulkan kekayaan (kalau tidak mau disebut koruptor), sehingga banyak uang keuskupan tersedot demi kepentingan pribadinya. Ada uskup yang arogan, nepotis, dan lain sebagainya.

Semua gambaran uskup di atas tentu akan berpengaruh pada wajah keuskupannya. Gambaran uskup yang negatif akan berdampak pada wajah keuskupan yang suram. Kalangan religius akan terpecah; demikian pula umatnya. Tentulah hal ini akan berdampak pada penghayatan iman umat. Tak bisa dipungkiri, ada umat yang kehilangan pegangan sehingga beralih ke gereja atau iman yang lain. Bahkan imam yang pendapat perlakukan buruk dari uskupnya pun banyak yang mengundurkan diri dari imamatnya.

Jika banyak umat yang sudah mulai meninggalkan gereja, dan imam-imamnya pun meninggalkan imamatnya, maka ini dapat menjadi awal kesuraman wajah gereja keuskupan. Dan ironisnya, hal ini berlatar belakang pada pribadi pimpinan tertinggi Gereja lokal, yaitu uskup. Mencermati sosok uskup yang “bermasalah” ini, tak sedikit orang bertanya, apakah Roh Kudus salah memilih atau manusia yang salah memilih?

Memang pemilihan uskup adalah proses manusiawi. Akan tetapi, peran Roh Kudus ada di dalamnya. Dalam proses manusiawi ini, peran uskup yang akan pensiun sangat menentukan. Ini yang terjadi saat ini. Berbeda dengan zaman dulu. Menurut Cyprianus, pemilihan uskup baru itu ditentukan oleh klerus, awam dan uskup lama. Bagaimana proses pemilihan uskup berlangsung?

Uskup Baru Di Tangan Uskup Lama
Kitab Hukum Gereja, Kanon 377, secara rinci menguraikan cara pemilihan uskup baru. Di sana dinyatakan bahwa para uskup provinsi gerejawi mengajukan nama para imam yang dianggapnya pantas dan tepat untuk jabatan uskup kepada Takhta Apostolik. Pengajuan nama-nama ini dilakukan setiap tiga tahun sekali. Nama-nama para imam yang diajukan untuk menjadi uskup ini berasal dari imam-imam diosesan dan juga imam tarekat. Yang penting mereka memenuhi kriteria.

Kanon 378 memberikan beberapa kriteria bagi seorang calon uskup. Dari beberapa kriteria itu, dapat diungkapkan tiga kriteria utama, yaitu:
1.        Mempunyai nama baik, yang terlihat dari unggul dalam iman, hidup baik, kesalehan, semangat merasul, kebijaksanaan, kearifan dan dalam keutamaan-keutamaan manusiawi, dan lagi dianugerahi sifat-sifat lain yang membuat layak untuk melaksanakan jabatan tersebut.
2.        Sekurang-kurangnya berusia 35 tahun, dan sudah 5 tahun sebagai imam.
3.        Memiliki gelar doktor atau setidaknya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi atau KHK, yang diperolehnya pada lembaga pendidikan yang diakui Takhta Apostolik.

Dari ketiga kriteria di atas, dapatlah dikatakan bahwa kriteria pertama memiliki peran yang sangat sentral. Kriteria pertama ini masuk dalam kategori keutamaan moral. Seorang calon uskup musti memiliki nama baik. Orang boleh memiliki gelar tinggi atau usia matang, namun semuanya itu tidak mempunyai korelasi dengan keutamaan moral ini. Beberapa uskup yang berulah, seperti yang diutarakan di atas, sebenarnya memiliki kelemahan dalam kriteria pertama ini.

Kriteria pertama dapat membuat nama-nama para imam, yang diajukan kepada Takhta Apostolik setiap tiga tahun sekali, berubah-ubah. Bisa saja nama yang diajukan pertama kali tak muncul pada pengajuan berikutnya, karena setelah pengajuan itu muncul skandal yang membuat nama imam itu tidak baik. Misalnya, bulan Oktober 2010 uskup mengajukan ke Vatikan nama-nama: Agus, Ruben, Beni, Johan, Frans dan Anton, sebagai calon uskup. Pada Agustus 2012 Johan terkena kasus yang membuat namanya tidak baik di kalangan umat dan imam. Maka, pada pengajuan nama berikutnya (Oktober 2013) nama Johan akan hilang. Bisa saja muncul nama baru atau juga tidak sama sekali.

Yang menentukan nama-nama untuk diajukan ke Vatikan adalah uskup aktif. Oleh karena itu, tanggung jawab moral uskup sangat diharapkan. Amat sangat diragukan jika uskupnya tidak bersikap netral. Artinya, uskup tidak memiliki kepekaan untuk mendengarkan suara-suara yang mungkin berkaitan dengan nama baik calon yang diajukannya. Apalagi jika uskupnya lebih mendasarkan pilihan pada suka atau tidak suka. Uskup hanya mau mendengar suara-suara dari orang-orang yang dia sukai.

Sikap yang mendasarkan pilihan pada suka-tidak suka sangat rentan terhadap manipulasi. Orang yang berambisi menjadi uskup, sekalipun kurang ditunjang keutamaan moral tadi, dapat dengan mudah lolos seleksi. Ambisi itu dapat dengan mudah dikamuflase, sehingga terlihat sama sekali tidak berambisi. Kelemahan-kelemahan dari kriteria pertama bisa diakali dengan kedekatan dengan uskup. Ia akan membuat dirinya disukai uskup. Dia akan menanamkan pengaruh pada uskup sehingga akhirnya uskup dengan mudah dipengaruhi. Dan jika uskup sudah “dikuasai” maka skandal apapun yang terjadi dengan dirinya, tidak akan berpengaruh. Namanya akan terus muncul setiap pengajuan ke Vatikan.

Jangan Salah Pilih
Memang kata akhir keputusan uskup baru ada di tangan Takhta Apostolik dengan berbagai pertimbangan dan proses yang panjang dan sangat rahasia. Akan tetapi peran uskup lama tidaklah kurang penting. Karena itu, hendaklah uskup jangan salah pilih calon penggantinya. Uskup harus mendengarkan suara hatinya dan mempertimbangkan setiap pilihannya.

Dari tiga kritera di atas – kepribadian, usia dan gelar akademik – poin kepribadian harus mendapat perhatian sungguh-sungguh. Untuk itu, uskup harus membuka kran informasi seluas-luasnya. Jangan hanya berdasarkan informasi kalangan dekat saja, karena bisa saja kalangan dekat itu sudah di-setting si calon. Uskup musti mendengarkan juga informasi lain dan mempertimbangkan masukan tersebut. Jangan terbuai dengan gelar atau mulut manis calon yang diunggulkan.

Satu hal yang perlu dipertimbangkan uskup dalam mengajukan calon penggantinya adalah keterbukaan untuk mencari calon lain di luar keuskupannya jika memang calon dari keuskupan bakal menimbulkan gesekan, baik dikalangan klerus maupun umat. Memaksakan calon sendiri, meski sudah jelas dampak buruknya, sama saja menggali lobang untuk gereja keuskupan. Uskup memang tidak akan masuk ke lobang itu, karena setelah pension ia bisa saja pergi ke tempat lain, namun umat dan para imamnya yang masuk dalam pusaran masalah.

Jika uskup mau mendengarkan semua suara berkaitan dengan calon uskup, dan bila mendapatkan informasi cacat kepribadian calon itu, pastilah uskup tidak akan mengajukan nama tersebut kepada Vatikan. Artinya, uskup hanya mengajukan nama-nama para imam yang benar-benar memiliki nama baik; dan informasi ini didasarkan pada informasi yang luas, bukan hanya dari kalangan dekat yang disukai uskup. Dengan demikian maka Vatikan akan dengan mudah menelusuri rekam jejak mereka ini.

Akhir Kata
Mendengar informasi miring di keuskupan-keuskupan Indonesia yang berkaitan dengan uskupnya, jelas membuat hati miris. Banyak umat tak habis pikir kenapa ada uskup yang bertindak demikian. Inikah wajah Gereja Kristus?

Meski Gereja kita adalah Umat Allah, namun peran Hierarki masih mendominan. Para hierarki, sebagai gembala, memiliki peran penting. Sebagai gembala, mereka bisa berada di mana saja; di belakang umat untuk mendorong, di tengah umat untuk mengayomi dan di depan untuk memberi teladan. Sangat susah dibayangkan jika uskup, sebagai gembala Gereja Lokal, memberi contoh buruk, akan seperti apa dombanya.

Gambaran beberapa situasi uskup di atas kiranya dapat dikurangi, atau malah dihapus, jika para uskup dengan kesadaran dan tanggung jawab moral yang tinggi benar-benar mengajukan nama-nama calon pengantinya yang memiliki kepribadian yang baik. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Para uskup bukan mencari malaikat, tetapi manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Namun janganlah uskup memilih calon yang memiliki kepribadian yang potensial menimbulkan gesekan yang berdampak pada kesuraman wajah Gereja Keuskupan.
Pangkalpinang, 8 November 2014
by: adrian
Baca juga:
2.      Gembala yang Buruk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar