Sabtu, 23 Agustus 2014

Cinta Membuat Hidup Tetap Hidup

Sigmund Freud, bapak pendiri psikoanalitik, menggolongkan insting manusia ke dalam dua kelompok besar, yaitu insting hidup dan insting mati. Insting mati, yang terkadang disebut juga dengan istilah insting merusak (destructive) merupakan hasrat setiap manusia untuk mati. Kematian mendapat perhatian lebih bagi Freud. Ia pernah berkata bahwa tujuan semua kehidupan adalah kematian.
Hasrat kematian itu bisa ditujukan keluar dari diri sendiri (external object) seperti orang lain atau lingkungan (vandalism), bisa juga terarah kepada diri sendiri (internal object). Salah satu derivatif insting mati ini adalah benci. Kebencian selalu membawa dampak pada kehancuran atau kerusakan. Misalnya, jika kita benci kepada seseorang, maka kita dapat merusak orang itu, baik secara fisik (mencederainya atau bahkan membunuh) maupun secara psikis (fitnah, menghina, dll).
Kebencian atau rasa benci kepada orang, entah itu diri sendiri maupun orang lain, dan kepada lingkungan, bukanlah merupakan akar dari insting mati. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya rasa benci ini. Salah satunya adalah iri hati. Contohnya dalam kasus perseteruan antara Tuhan Yesus di satu sisi dengan kaum Farisi, ahli Taurat dan para imam Yahudi di sisi lain. Mereka sangat iri akan popularitas Yesus sehingga muncul hasrat untuk menyingkirkan Yesus dari pengaruh sosial. Puncak perseteruan adalah penyaliban Tuhan Yesus di Bukit Golgota.
Seperti insting mati, insting hidup juga dapat ditujukan keluar dari diri sendiri (external object) seperti orang lain atau lingkungan, dan bisa juga terarah kepada diri sendiri (internal object). Salah satu derivatif insting hidup ini adalah cinta. Jika rasa benci selalu membawa dampak pada kehancuran atau kerusakan, maka cinta membawa kehidupan. Ungkapan cinta dapat terlihat dari sikap-sikap seperti menghormati, menghargai, memelihara, merawat, perhatian, dll. Semua sikap ini akan menimbulkan efek harmoni, damai, hidup nyaman dan bahagia.
Bagi Freud, insting mati dan hidup dengan derivatifnya dapat bercampur, saling menetralkan atau saling mengganti. Misalnya, hasrat hidup dikalahkan oleh hasrat mati atau sebaliknya; cinta menggantikan kebencian, dan/atau kebencian menggantikan cinta. Freud menilai bahwa hasrat mati lebih dominan dari hasrat hidup. Hal ini ditunjang oleh fakta bahwa setiap orang pada akhirnya pasti mati. Karena itu, dalam bukunya Beyond the Pleasure Principle. In Standard edition. Vol 18, Freud berkata, “Tujuan semua kehidupan adalah kematian.”
Dominannya insting mati ini membuat hidup hanya bersifat sementara dan tiada bernilai. Orang seakan bertanya “buat apa hidup jika pada akhirnya mati.” Karena itu, orang umumnya berusaha untuk memuaskan dan memenuhi hidup dengan kenikmatan yang tanpa disadari berdampak pada kematian. Jadi, di balik pemuasan hidup itu justeru terkandung hasrat kematian. Dengan kata lain, insting mati berselubungkan hasrat hidup. Contohnya dapat dijumpai dalam kasus penyakit akibat pola makan yang keliru atau dalam kasus narkoba.
Konsep pemikiran Freud ini bertentangan dengan apa yang pernah diajarkan oleh Tuhan Yesus. Salah satu ajaran Yesus yang terkenal adalah cinta kasih. Yesus bukan hanya sebatas menyampaikan ajaran tersebut lewat kata-kata saja, melainkan nyata dalam perbuatan. Seperti yang dikatakan Freud, memang cinta merupakan bagian dari insting hidup. Cinta membawa kehidupan. Dan Tuhan Yesus datang membawa kehidupan. Dia menawarkan hidup yang merupakan ungkapan cinta-Nya. “Yang makan tubuh-Ku dan minum darah-Ku, akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6: 51 – 56). Puncak cinta Yesus terlihat dari pengorbanan-Nya di salib. Kematian Yesus bukanlah wujud insting mati, melainkan wujud cinta yang adalah hidup. Hal ini terbukti Ia bangkit dari mati setelah tiga hari di dalam kubur.
Cinta Allah kepada manusia yang tampak dalam diri Yesus Kristus hendak mengatakan bahwa memang cinta membawa kehidupan. Dan Yesus berusaha menanamkan budaya cinta ini dalam hidup manusia agar kehidupan terpelihara. Yesus sadar betapa kebencian orang Israel terhadap bangsa Romawi dapat membawa kehancuran terlebih bagi bangsa Israel sendiri. Yesus ingin menghindari hal itu dengan menawarkan budaya cinta kasih. Cinta mengalahkan benci.
Dengan mengalahkan kebencian, maka akan tumbuhlah kehidupan. Akan tetapi perlu disadari bahwa tujuan Yesus dengan budaya cinta ini bukan semata-mata demi tumbuhnya kehidupan, melainkan membuat hidup itu lebih hidup. Jika dalam hidup masing-masing orang menumbuhkan benih cinta, maka bukan saja akan ada hidup, melainkan juga damai, harmoni dan nyaman. Hidup terasa indah. Dengan cinta, orang membuat hidup itu berarti; dan inilah inti dari hidup semakin hidup. Bagi Yesus, hidup yang hidup adalah ketika orang memberi hidup kepada orang lain; atau dengan kata lain di saat orang bermakna bagi sesamanya.
Karena itu, ajaran Tuhan Yesus tentang cinta kasih sangat jelas, bukan saja bertentangan melainkan berusaha mengubah cara pandang orang tentang hidup sebagaimana yang sudah ditanamkan Freud. Hidup bukan untuk mati, melainkan untuk hidup, baik untuk diri sendiri maupun sesama. Sekalipun orang pada akhirnya mati, namun hidup yang dia berikan kepada sesama sewaktu hidup, yaitu cinta kasih, membuat orang ini tetap hidup.
Pangkalpinang, 18 Juli 2014
by: adrian
Baca juga:
1.      All About Love
4.      Memaknai Hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar