Pada budak-bangka.blogspot.com tanggal 8 Maret lalu, ada sebuah
sharing pengalaman menjawab panggilan
Tuhan. Untuk memudahkannya, kami akan mengutip ulang sharing tersebut. Inilah kisahnya:
“Waktu kecil, Maria Margaretha
Tjin Mei Fung, mantan Kepala Sekolah Evangelisasi Pribadi Shekinah,
bercita-cita menjadi biarawati. Menginjak remaja, mencontoh sang ibu, idolanya,
ia jadi ingin berkeluarga. Ia pacaran dengan teman misdinarnya. Orang tua merestui
hubungan mereka. Namun terbersit perasaan tak enak di hatinya. Makin lama,
perasaan itu makin kuat. Ia gelisah. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.
Apakah aku dipanggil untuk berkeluarga?
Akhirnya, di tahun ke-3
berpacaran, Mei Fung memutuskan hubungannya. Ia lega, terasa terlepas dari
himpitan batu besar. Setelah 8 tahun menelusuri, apakah sebenarnya panggilan
hidupnya, ia menjawab: “Ya!” Tahun 1990, di usia 25 tahun,
Mei Fung menjadi selibater awam, dan mendirikan Komunitas Putri Sion, komunitas khusus bagi perempuan lajang. Aktif
di berbagai organisasi, pewarta, pengajar dan editor, ia masih mempunyai energi
untuk mendirikaan sekolah TK bagi mereka yang tak mampu. Saat ini ia prihatin,
melihat banyak orang katolik, yang meninggalkan Gereja. “Gereja harus lebih aktif menyapa umatnya, lebih merangkul,”
demikian harapannya.”
Syeringnya memang singkat, namun sangat menarik. Ada dua hal
yang menarik dari sharing itu. Pertama, bagaimana sdri Mei Fung mau mendengarkan
kata hatinya. Di sini kami mengartikan bahwa sdri Mei Fung menjawab panggilan
Tuhan. Hal ini sungguh menarik, karena di tengah hingar bingar dan kesibukan
kota metropolitan, masih ada seorang gadis yang memberi waktu luang pada
keheningan. Dalam keheningan itulah ia mendengarkan suara Tuhan dan
menjawabnya.
Kita lihat atau baca dalam kisahnya bahwa sdri Mei Fung
sebenarnya sudah punya pacar. Sudah tiga tahun menjalani pacaran. Tidak ada
masalah berarti. Keluarga sudah merestui. Dalam kacamata normal, tidak ada yang
kurang. Tinggal naik level ke jenjang pernikahan, selesai sudah. Namun, sdri
Mei Fung masih merasakan ada yang kurang dalam hidupnya. Kekurangan ini membuatnya
gelisah. Dari sinilah dia akhirnya masuk ke dalam keheningan untuk mendengarkan
kata hatinya.
Ini merupakan pelajaran berharga bagi manusia modern saat
ini. Kebanyakan manusia sibuk, sibuk dan sibuk sampai lupa pada dirinya sendiri
dan Tuhan. Pusat kesibukan itu ada di luar yang memaksa hidup manusia larut di
dalamnya. Hal ini membuat manusia tidak punya waktu untuk kesendirian bersama Tuhan.
Padahal, mungkin saja di tengah kesibukan itu Tuhan memanggil kita karena Dia
membutuhkan kita.
Kedua, cara hidup baru. Dalam syeringnya, sdri Mei Fung
menampilkan cara hidup baru. Sebenarnya cara hidup ini sudah lama dipraktekkan
orang, namun di tengah kesibukan dan modernitas kini, caranya masih terbilang
baru. Cara baru itu adalah selibater awam.
Mengapa ini dikatakan baru, sekalipun sudah lama dipraktekkan orang? Umumnya orang
mengetahui bahwa ada dua cara hidup, yaitu menikah dan tidak menikah, yang
dikenal dengan istilah selibat. Umumnya orang tahu bahwa selibat itu hanya dijalani oleh para
imam, biarawan (bruder dan frater) dan biarawati (suster). Sdri Mei Fung
bukanlah seorang suster. Dia adalah wanita biasa, yang mengambil keputusan
hidup selibat demi pelayanan Kerajaan Allah.
Di sini sdri Mei Fung kembali menegaskan apa yang pernah
dikatakan Yesus bahwa menikah itu bukanlah sebuah kewajiban, melainkan hak atau
pilihan hidup. Ada orang yang memilih hidup dengan menikah ada pula yang
memilih hidup untuk tidak menikah. Sdri Mei Fung menegaskan bahwa keputusannya
untuk tidak menikah bukan karena takut menikah atau “tidak laku” atau tidak
siap, melainkan murni untuk menjawab panggilan Tuhan. Tuhan Yesus pernah
berkata, “Ada orang tidak menikah demi Kerajaan Allah.” (bdk. Mat 19: 12). Sekalipun
tidak berstatus sebagai suster, sdri Mei Fung, dengan keselibatannya, dapat
mengabdi kepada Tuhan.
Ini merupakan pelajaran berharga bagi manusia modern saat ini,
khususnya kaum perempuan. Kebanyakan manusia berpikir bahwa dirinya harus
menikah. Pada umur sekian harus menikah. Kalau tidak maka akan menjadi aib atau
digelari “perawan tak laku” atau “ABG tua”. Karena itu, banyak orang mulai menyibukkan
diri untuk mencari pasangan hidup. Berbagai cara, pantas atau tidak pantas,
dilakukan. Karena kesibukan itulah, akhirnya orang lupa akan dirinya dan
panggilan Tuhan. Di sini sdri Mei Fung mau membuka mata kita, bahwa menikah itu
adalah pilihan hidup. Ia mau mengatakan bahwa menikah adalah hak setiap orang. Hak
itu bisa digunakan, bisa juga tidak.
Dengan ini, setiap kita diajak untuk mulai memikirkan hidup
kita. Sharing dari sdri Mei Fung ini
mengajak kita untuk bertanya pada diri kita, apakah saya akan menggunakan hak
saya untuk menikah atau tidak. Akan tetapi, yang terpenting itu bukanlah pada
pengunaan hak itu atau tidak, melainkan bagaimana mengisi hidup ini. Sdri Mei
Fung sudah mencontohkannya. Dia tidak berhenti pada keputusan tidak menggunakan
haknya, melainkan berlanjut pada pengabdian pada Kerajaan Allah. Ini sesuai
dengan amanat Yesus. Karena hidup ini berarti bukan karena menikah atau tidak
menikah, melainkan karena hidup itu berarti bagi sesama.
Jakarta, 12 Maret 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar