SALAH KAPRAH SOAL CINTA
Immature people falling in love destroy each other's freedom, create a
bondage, make a prison. Mature persons in love help each other to be free; they
help each other to destroy all sorts of bondages. And when love flows with
freedom there is beauty. When love flows with dependence there is ugliness
(OSLO)
Kalimat di atas sengaja ditampilkan untuk menimbulkan kontras dan keterkejutan terhadap mereka yang selama ini menganggap cinta sebagai benda statik yang akan terus begitu sepanjang masa atau sesuatu yang akan dicapai ketika menikah. Pengertian ini telah membawa banyak kekecewaan dalam kehidupan berpasangan maupun berkeluarga. Salah satu penelitian yang dimuat dalam berita online memperlihatkan tahun 2010 angka perceraian mencapai rekor tertinggi selama 5 tahun terakhir yakni 285.184 (sumber: Direktur Jenderal Badilag MA, Agung Wahyu Widiana). Berbagai alasan yang melatarbelakangi perceraian, mulai dari faktor cemburu, masalah ekonomi, ketidakharmonisan hingga masalah politik yang rupanya kian turut berkontribusi dalam menceraiberaikan perkawinan.
Selain itu, jumlah
kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia dari tahun ke tahun juga
semakin meningkat, terlihat dari laporan dari berbagai daerah di Indonesia,
masing-masing menunjukkan peningkatan signifikan. Misalnya, Kepala Badan
Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB)
Jateng Soelaimah mengatakan kasus kekerasan di 35 kabupaten/kota di tahun 2010
mencapai 2.829 dan hingga semester I/2011 tercatat 1.234 kasus. Di wilayah lain
seperti Tegal, Tuban, Makassar, Papua, bahkan Jakarta, tingkat KDRT juga
terbilang tinggi. Beberapa alasan yang melatarbelakangi adalah faktor ekonomi, minuman keras, rendahnya tingkat pendidikan
serta faktor usia dini. Menurut laporan PLAN, 44% kasus KDRT dengan frekuensi tinggi dialami
wanita yang menikah di usia dini, sementara 56% perempuan mengalami KDRT dalam
frekuensi rendah; dan laporan tersebut mengindikasikan banyaknya perkawinan
anak (13 - 18 tahun). Faktor tradisi, masalah sosial - ekonomi, perilaku
seksual dan kehamilan yang tidak dikehendaki, rendahnya pengetahuan tentang
reproduksi, rendahnya pendidikan orangtua serta lemahnya penegakkan hukum
menjadi persoalan yang memicu terjadinya perkawinan usia dini. Pertanyaannya,
apa sebenarnya yang terjadi ketika mengawali sebuah hubungan? Apakah hubungan
yang dilandasi oleh cinta sudah pasti akan abadi? Apakah hubungan yang tidak
abadi karena tidak ada cinta? Pertanyaan semacam ini kerap muncul dalam
pemikiran maupun asumsi-asumsi. Marilah kita telaah bersama.
Ada beberapa jenis cinta di dalam berbagai versi dan definisi
para pakarnya yang dapat diunduh maupun dipelajari lewat berbagai buku. Oleh
karenanya, dalam artikel ini kita tidak akan membahas jenis cinta maupun
manifestasinya, namun akan membatasi pembahasan pada persoalan problem
perkawinan.
It needs love to make two become one
Kalimat di atas bisa benar, tapi bisa pula keliru jika
mengartikannya secara sempit dan dangkal. Sebab, makna cinta tidak berhenti
pada rasa senang terhadap sesuatu, seseorang maupun lawan jenis (pacar, calon
suami atau calon istri). CS. Lewis
mengkategorikan perasaan "senang dan suka" di tingkat terbawah dari
derajat intensitas cinta; rasa senang dan suka ini muncul karena di antara
kedua pihak ada kesamaan, sama-sama senang nonton bioskop, menyukai group musik
yang sama, mempunyai tempat makan favorit yang sama, sedang menyukai kegiatan
yang sama, entah itu demonstrasi atau sama-sama ikut menjadi pendukung sebuah
gerakan. Kekuatan dan durasi perasaan suka ini sangat lemah karena sifatnya
yang situasional dan temporer; dan hubungan yang terbentuk atas dasar perasaan
suka ini pun rentan persoalan karena tidak punya fondasi yang kuat. Sementara
banyak orang yang mengambil keputusan untuk menikah atas dasar kuantitas
kesamaan, karena rasionalitas kedua pihak terhalang oleh emosi jiwa serta
fantasi fairy tale "happily ever after".
Selama ini banyak orang umumnya menganggap cinta adalah
sebuah produk pabrikan dan bersifat one for all.
Ketika di antara kedua manusia ada cinta, maka semua persoalan selesai atau
akan selesai. Sayangnya banyak pula yang lupa bahwa definisi cinta yang
digunakan sebagai acuan penilaian kualitas dan masa depan hubungan, adalah
perasaan "suka dan senang". Bagi Scott
Peck dalam bukunya The Roadless
Travelled, cinta bukanlah perasaan, melainkan tindakan nyata "The will to extend one's self for the
purpose of nurturing one's own or another's spiritual growth".
Motivasi dan tindakan untuk membuat diri sendiri dan orang lain yang
"dicintai" bertumbuh, menjadi pribadi yang punya identitas sejati dan
menggenapi panggilan hidupnya, itulah yang dinamakan cinta. Dan karena itulah,
cinta tidak mungkin bersifat mengekang, menjajah, menindas, membatasi, memanipulasi,
menghilangkan kemerdekaan apalagi menghilangkan kemanusiaan orang yang
dicintai. "It is about giving the other person what
they need to grow".
Kedewasaan Pribadi, Kedewasaan Cinta
Dari definsi cinta Scott Peck terlihat bahwa orang yang
bisa mencintai, tentunya bukan orang yang masih terjebak dalam egosentrisme dan
egoisme namun sudah mampu berkeinginan dan berbuat untuk orang lain. Apabila
orang menyatakan cinta, namun dalam tindakan sehari-hari, banyak menuntut,
mengekang, melarang, memenjarakan kemanusiaan pasangan, maka itu bukanlah
cinta, namun conditioning/pengkondisian agar
orang memenuhi kebutuhannya, entah itu kebutuhan fisik (makan, minum, seksual,
dsb) maupun psikologis (ingin diperhatikan, diakui, dikagumi, dipuja, dsb). Di
sinilah banyak terjadi kesalah-kaprahan, ketika pasangan bersikap nrimo, diam saja bahkan semakin
takut dan taat serta semakin "menderita demi cinta". Kesalah-kaprahan
ini membuat banyak penderitaan panjang terutama di sisi wanita (ada pula pria),
tidak hanya menghancurkan perkawinan itu sendiri, namun menghancurkan pula
jiwa-jiwa dan setiap pribadi yang ada di dalamnya, seperti dirinya sendiri
serta anak-anak (bagi yang telah punya anak). Cinta tidak menjajah.
Oleh karena cinta
bukanlah romantisme perasaan belaka, maka kedewasaan seseorang akhirnya
berperan dalam menentukan seperti apa cinta yang ia berikan kepada orang lain,
baik itu pasangan maupun komunitasnya. Semakin dewasa seseorang, maka semakin
dewasalah cintanya; sehingga untuk menghasilkan cinta yang dewasa dan buah-buah
cinta yang mendewasakan diri sendiri dan orang lain, maka seseorang harus
melalui proses pendewasaan. Scott Peck
mengatakan dalam The Roadless Travelled,
seseorang menjadi dewasa dan matang, melalui proses yang bertahap dan semua itu
menuntut latihan disiplin diri dalam beberapa elemen, yakni :
1. Delaying
gratification, menunda kepuasan sesaat / saat ini demi
kebaikan di masa mendatang. Istilah Indonesia, sakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian. Secara kongkrit, setiap keputusan baik itu
berpacaran (dengan segala tingkatannya dan tindakannya) dan berkeluarga,
didasarkan pada pertanyaan apakah yang menjadi motivasinya. Apakah karena ingin
segera memuaskan apapun desakan yang ingin dipuaskan atau karena ada alasan
rasional lain yang memang baik dan bermanfaat besar bagi kedua belah pihak
(yang menjadi ukuran adalah menumbuhkan dan mendewasakan kedua pihak).
2. Acceptance
of responsibility, bertanggung jawab atas pilihan
dan keputusan diri sendiri. Apa yang termasuk di dalamnya adalah menyadari
bahwa setiap orang punya andil dalam menciptakan problem yang sedang dihadapi,
sudah dialami atau akan terjadi. Semua berawal dari pilihan sikap diri. Padahal
umumnya, ketika terjadi masalah cenderung menyalahkan orang lain, persoalan,
situasi dan kondisi daripada introspeksi diri. Konsekuensi logisnya,
menganggap diri sebagai korban keadaan yang tidak berdaya untuk mengambil alih
kendali hidup. Amat disayangkan karena sebagian orang melihat proses ini
sebagai suratan takdir dan nasib bahwa ia terlahir untuk melayani dan menderita
demi orang yang dikasihi. Padahal, takdir cinta tidaklah demikian. Cinta itu
membebaskan dan memerdekaan, seperti ungkapan Oslo, seorang filsuf kontemporer, di bagian paling atas artikel
ini.
Menerima tanggung jawab di sini
mempunyai konsekuensi logis, untuk membuat setiap pribadi berhati-hati, jangan
sampai aplikasi dari memerdekakan diri menciptakan penjajahan bagi pribadi
lainnya. Mengutip Erich Fromm yang
mengatakan, no
freedom without responsibility, tidak ada kemerdekaan tanpa
tanggung jawab. Jika ingin berpacaran atau menikah, ingin bercerai atau bahkan
ingin bertahan dalam problema yang ada, maka setiap pemikiran, keputusan dan
tindakan harus dipikirkan sejauh mana kita mampu bertanggung jawab atas
implikasinya, baik bagi diri sendiri, keluarga, orangtua, anak, pasangan,
mertua, tempat kerja kita, dsb.
3. Dedication
to the truth, selalu mencari dan menemukan kebenaran.
Mabuk kepayang maupun kepahitan, bisa menjadi penghalang kejernihan dalam
melihat kenyataan dan kebenaran. Konsep diri yang negatif (menganggap diri
tidak baik, buruk rupa, banyak dosa, tidak berharga, tidak cantik, tidak
beruntung, dsb) juga menjadi tembok penghalang realitas karena kenegatifan itu
sudah mewarnai cara pandang kita terhadap dunia.
Kasus KDRT yang berkepanjangan
membuat pihak korban percaya bahwa dirinya pantas dan layak dihina dan
disia-siakan karena tidak berharga. Oleh sebab itu korban tidak berani
melepaskan diri dari abuser karena tidak yakin ada tempat yang bisa
menerima kehadirannya, atau tidak yakin dirinya kuat hidup tanpa abuser.
Scott Peck mengatakan, jika jiwa
manusia ingin bertumbuh, jauhkan diri dari prejudis, stereotype,
prasangka negatif yang mendistorsi kebenaran. Sikap terbuka, berani menatap
kenyataan, bahkan menerima bahwa ada kebenaran dan fakta lain yang bisa
meruntuhkan keteguhan hati dan keyakinan - mengapa kita takut jika hal
itu justru memerdekakan kita. The truth will set you free.
4. Balancing
& flexible, menjadi lebih seimbang dan fleksibel.
Kedewasaan dan kematangan akan dialami ketika diri kita maju. Sebaliknya,
segala sesuatu yang terlalu rigid,
baik dalam soal berpikir, berkeyakinan maupun berelasi, menghambat kemajuan
diri sendiri dan orang lain serta hubungan itu sendiri. Bayangkan saja hubungan
yang penuh dengan ketakutan, peraturan, larangan, batasan, kecurigaan,
pengekangan, penindasan, tidak akan menumbuhkan sesuatu yang baik; yang muncul
adalah hal negatif, seperti ketakutan, kemarahan, kepahitan, kebosanan,
ketidakpuasan, kesepian dan kekosongan yang melanda jiwa. Tidak akan ada
kebahagiaan dalam relasi yang rigid, namun sama halnya dengan relasi yang tidak berakar
dan berkomitmen, karena keduanya tidak berdasarkan cinta, namun ketakutan.
Kembali pada persoalan cinta
yang berakhir duka nestapa, apalagi tragedi, dapat disimpulkan kondisi itu
disebabkan ketidakmatangan pribadi yang menganggap bahwa memiliki, mengupahi,
meladeni, membayari, menafkahi, adalah cinta
dan bukti cinta itu sendiri. Padahal, silogisme-nya tidak demikian. Untuk
lebih jelasnya, mari kita simak ungkapan cinta dari Ibu Theresa
It is not
how much we do,
but how much love we put in the doing.
It is not how much we give,
but how much love we put in the giving
but how much love we put in the doing.
It is not how much we give,
but how much love we put in the giving
Jadi mari bertanya pada diri sendiri, apakah saya melakukan
ini semua karena cinta? Apakah yang kita lakukan selama ini sudah memerdekakan
& menumbuhkan diri kita dan orang yang kita cintai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar