Selasa, 01 Juli 2014

(Pencerahan) Dilema Kata "Menghina"

DILEMA KATA “MENGHINA”
Tentu kita sudah tak asing dengan kata “menghina”. Kata ini sering disejajarkan dengan frase mencemarkan nama baik atau menjelek-jelekkan. Tak jarang pula kata ini disepadankan dengan kata “memfitnah”. Kata ini masuk kategori kata moral, yaitu kata yang mempunyai nilai-nilai moral. Penilaian moral itu menyangkut baik dan buruk; baik dan jahat. “Menghina” masuk ke dalam kata yang buruk.

Selain terletak pada kata itu, nilai moral juga terletak pada sesuatu yang kepadanya diarahkan kata-kata itu atau orang yang dinilai telah menggunakan kata ini. Orang yang dikenakan kata ini akan dinilai sebagai orang yang jahat atau tidak baik. Misalnya, saya mengatakan bahwa Matius telah menghina Lukas. Ini artinya, saya meletakkan kata “menghina” kepada Matius. Dan ini berarti Matius jahat secara moral.

Namun, kata “menghina” sedikit bermasalah karena membingungkan. Kebingungan itu bukan terletak pada penilaiannya, karena soal nilainya sudah jelas. Kebingungan itu timbul dari efek penggunaannya, dan itu terfokus pada orang yang menyandang atau kepadanya kata itu dilekatkan. Kata ini mempunyai nilai buruk atau jahat. Orang yang menyandangnya, atau kepadanya dikenakan kata ini, berarti yang bersangkutan itu buruk secara moral. Agama juga mengajarkan agar umatnya tidak menghina.

Kenapa kata “menghina” membingungkan? Kita akan melihatnya dalam dua contoh berikut ini.

Pada jaman ORBA ada humor seperti ini. Pada sebuah aksi demostrasi, seorang mahasiswa berteriak, “Suharto membangun ekonomi bangsa ini di atas utang luar negeri. Memang terlihat derap pembangunan, namun ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat, karena rakyat harus membayar utang itu.” Karena pernyataannya, mahasiswa itu ditangkap dan dijatuhi hukuman. Dalam pengadilan terungkap kesalahan mahasiswa itu, yaitu menghina kepala negara (Suharto) dan membongkar rahasia negara.

Kita kembali ke kisah SMK Fatamorgana dan kita tinggalkan dulu tokoh yang bernama Atikus. Kita melihat tokoh yang lain, yaitu Ibu Julia. Ibu Julia melihat ada yang aneh soal keuangan di sekolah. Ia mencurigai kepala sekolah bermain dengan uang sekolah. Ia punya alasan untuk curiga. Pertama, kenapa ketika ia menggunakan komputer bendaha dilarang kepala sekolah, sementara yang lain tidak. Kedua, kenapa laporan keuangan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan bedahara sekolah? Ketiga, kenapa ketika ia mengusulkan transparansi keuangan, kepala sekolah kelihatan gugup? Dan masih banyak lagi kecurigaan lain.

Akan tetapi, seorang guru senior menasehati dia agar jangan menjelek-jelekkan orang. “Tidak baik menghina!” demikian nasehatnya. Agama melarang menghina sesama. Itu dosa. Kita harus positive thinking, demikian ia mengakhiri nasehatnya.

Karena kecurigaannya, ibu Julia dicap telah menghina atau menjelek-jelekkan orang lain, dalam hal ini kepala sekolah. Demikian pula dengan pernyataan mahasiswa dalam cerita humor di atas. Hal ini menempatkan ibu Julia dan mahasiswa itu sebagai orang jahat atau buruk secara moral. Akan tetapi, benarkah mereka ini jahat? Bukankah mereka mau menyampaikan sebuah kebenaran?

Memang kebenaran itu harus dibuktikan. Namun, mengungkap kebenaran di jaman ORBA itu ibarat mendirikan benang basah. Hal yang sama juga dalam kasus ibu Julia. Bagaimana mungkin mengungkap kebenaran soal keuangan jika laporan keuangan hanya kepala sekolah dan bendahara saja yang tahu; jika kepala sekolah menolak transparansi keuangan. Kebenaran bisa diungkap jika ada iklim demokrasi, bukan otoriterisme (kasus mahasiswa) atau jika ada transparansi keuangan (kasus ibu Julia).

Di sini terlihat pertentangan antara menghina dengan menyuarakan kebenaran. Agama melarang umatnya untuk menghina, tapi agama menganjurkan umatnya untuk menyatakan kebenaran. Di saat orang menyatakan sebuah kebenaran, ia dikenakan dakwaan menghina, yang secara otomatis menempatkan dia pada posisi sebagai orang jahat. Apakah kebenaran yang berdampak pada terbongkarnya kejelekan seseorang itu dikatakan menghina?

Yang sering menjadi permasalahan adalah orang lebih suka mendukung pada korban. Maka ketika ada orang yang terkena dampak kebenaran, orang lantas bersimpati padanya dan mendukungnya serta menilai mereka yang telah menyatakan kebenaran itu sebagai penghina atau pencemar nama baik. Mereka itu dinilai jahat.

Maksud hati baik (menyatakan kebenaran) namun akhirnya dituding jahat. Tentu tidak ada orang yang dari awalnya ingin mendapat gelar jahat. Namun efek jahat yang akan dikenakan sebagai dampak dari niat baik itu membuat orang sering mengurung niatnya. Akhirnya kejahatan tetap terlestari.

Nah, tambah bingung kan?
Jakarta, 9 April 2014
by: adrian


Baca juga:
2.      Iri Hati atau Cemburu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar