DILEMA KATA “MENGHINA”
Tentu kita sudah tak asing dengan kata “menghina”. Kata ini
sering disejajarkan dengan frase mencemarkan nama baik atau menjelek-jelekkan. Tak
jarang pula kata ini disepadankan dengan kata “memfitnah”. Kata ini masuk
kategori kata moral, yaitu kata yang mempunyai nilai-nilai moral. Penilaian moral
itu menyangkut baik dan buruk; baik dan jahat. “Menghina” masuk ke dalam kata
yang buruk.
Selain terletak pada kata itu, nilai moral juga terletak pada
sesuatu yang kepadanya diarahkan kata-kata itu atau orang yang dinilai telah
menggunakan kata ini. Orang yang dikenakan kata ini akan dinilai sebagai orang
yang jahat atau tidak baik. Misalnya, saya mengatakan bahwa Matius telah
menghina Lukas. Ini artinya, saya meletakkan kata “menghina” kepada Matius. Dan
ini berarti Matius jahat secara moral.
Namun, kata “menghina” sedikit bermasalah karena
membingungkan. Kebingungan itu bukan terletak pada penilaiannya, karena soal
nilainya sudah jelas. Kebingungan itu timbul dari efek penggunaannya, dan itu
terfokus pada orang yang menyandang atau kepadanya kata itu dilekatkan. Kata
ini mempunyai nilai buruk atau jahat. Orang yang menyandangnya, atau kepadanya
dikenakan kata ini, berarti yang bersangkutan itu buruk secara moral. Agama juga
mengajarkan agar umatnya tidak menghina.
Kenapa kata “menghina” membingungkan? Kita akan melihatnya
dalam dua contoh berikut ini.
Pada jaman
ORBA ada humor seperti ini. Pada sebuah aksi demostrasi, seorang mahasiswa
berteriak, “Suharto membangun ekonomi bangsa ini di atas utang luar negeri.
Memang terlihat derap pembangunan, namun ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat,
karena rakyat harus membayar utang itu.” Karena pernyataannya, mahasiswa itu
ditangkap dan dijatuhi hukuman. Dalam pengadilan terungkap kesalahan mahasiswa
itu, yaitu menghina kepala negara (Suharto) dan membongkar rahasia negara.
Kita kembali
ke kisah SMK Fatamorgana dan kita tinggalkan dulu tokoh yang bernama Atikus. Kita melihat
tokoh yang lain, yaitu Ibu Julia. Ibu Julia melihat ada yang aneh soal keuangan
di sekolah. Ia mencurigai kepala sekolah bermain dengan uang sekolah. Ia punya
alasan untuk curiga. Pertama, kenapa
ketika ia menggunakan komputer bendaha dilarang kepala sekolah, sementara yang
lain tidak. Kedua, kenapa laporan
keuangan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan bedahara sekolah? Ketiga, kenapa ketika ia mengusulkan
transparansi keuangan, kepala sekolah kelihatan gugup? Dan masih banyak lagi
kecurigaan lain.
Akan tetapi,
seorang guru senior menasehati dia agar jangan menjelek-jelekkan orang. “Tidak
baik menghina!” demikian nasehatnya. Agama melarang menghina sesama. Itu dosa. Kita
harus positive thinking, demikian ia
mengakhiri nasehatnya.
Karena kecurigaannya,
ibu Julia dicap telah menghina atau menjelek-jelekkan orang lain, dalam hal ini
kepala sekolah. Demikian pula dengan pernyataan mahasiswa dalam cerita humor di
atas. Hal ini menempatkan ibu Julia dan mahasiswa itu sebagai orang jahat atau
buruk secara moral. Akan tetapi, benarkah mereka ini jahat? Bukankah mereka mau
menyampaikan sebuah kebenaran?
Memang kebenaran
itu harus dibuktikan. Namun, mengungkap kebenaran di jaman ORBA itu ibarat
mendirikan benang basah. Hal yang sama juga dalam kasus ibu Julia. Bagaimana mungkin
mengungkap kebenaran soal keuangan jika laporan keuangan hanya kepala sekolah
dan bendahara saja yang tahu; jika kepala sekolah menolak transparansi
keuangan. Kebenaran bisa diungkap jika ada iklim demokrasi, bukan otoriterisme
(kasus mahasiswa) atau jika ada transparansi keuangan (kasus ibu Julia).
Di sini
terlihat pertentangan antara menghina dengan menyuarakan kebenaran. Agama melarang
umatnya untuk menghina, tapi agama menganjurkan umatnya untuk menyatakan
kebenaran. Di saat orang menyatakan sebuah kebenaran, ia dikenakan dakwaan
menghina, yang secara otomatis menempatkan dia pada posisi sebagai orang jahat.
Apakah kebenaran yang berdampak pada terbongkarnya kejelekan seseorang itu
dikatakan menghina?
Yang sering
menjadi permasalahan adalah orang lebih suka mendukung pada korban. Maka ketika
ada orang yang terkena dampak kebenaran, orang lantas bersimpati padanya dan
mendukungnya serta menilai mereka yang telah menyatakan kebenaran itu sebagai
penghina atau pencemar nama baik. Mereka itu dinilai jahat.
Maksud hati baik (menyatakan kebenaran) namun akhirnya
dituding jahat. Tentu tidak ada orang yang dari awalnya ingin mendapat gelar
jahat. Namun efek jahat yang akan dikenakan sebagai dampak dari niat baik itu
membuat orang sering mengurung niatnya. Akhirnya kejahatan tetap terlestari.
Nah, tambah bingung kan?
Jakarta, 9 April 2014
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar