Senin, 05 Mei 2014

(Inspirasi Hidup) Iri Hati atau Cemburu

IRI HATI ATAU CEMBURU
Iri hati atau cemburu sering diterjemahkan sebagai perasaan tidak senang melihat kelebihan orang lain. Mungkin karena diri kita, yang berkekurangan, tidak sama dengan orang lain, yang berkelebihan, maka kita iri hati kepada orang itu. Kelebihan ini menyangkut semua aspek, baik itu materi, seperti penampilan, kekayaan atau kepemilikan maupun non materi, seperti kepintaran, prestasi dan lainnya. Jadi, kata ini diletakkan kepada orang yang selalu “mengusik” kelebihan sesamanya.

Kata “iri hati” masuk dalam kata moral. Kata ini memiliki nilai kurang baik. Dan orang yang dikenakan kata ini, misalnya si Anu iri hati, berarti orang itu kurang baik secara moral; bahwa si Anu itu tidak baik secara moral. Agama sendiri melarang umatnya untuk tidak iri hati terhadap sesama (baca Rom 13: 13; 1Kor 3: 3; 2Kor 12: 20; Mrk 7: 20 – 23; Gal 5: 19 – 21; Yak 3: 16, Yak 4: 1 – 3; dan teks lainnya).

Tanpa disadari kata “iri hati” ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi ia membantu orang untuk menjadi baik secara moral, namun di sisi lain ia dapat membuat orang tetap melestarikan ketidak-baikan itu sendiri. Sering kata ini dijadikan senjata ampuh untuk menyerang orang yang dinilai tidak menyukai kita. Dan biasanya sasarannya adalah orang-orang lemah dari segala aspek.

Jadi, sebenarnya kata “iri hati” memiliki warna abu-abu. Keabu-abuan inilah yang selalu membuat orang bingung. Perhatikan contoh berikut ini.

Ketika seorang imam muda menyentil gaya hidup rekan imam yang bergelimpang kemewahan dengan harta bendanya, imam-imam yang merasa disentil akan berkata bahwa imam muda itu iri hati. Maklum, imam muda itu belum memiliki harta benda seperti yang dipunyai imam-imam lainnya. Pernyataan para imam terhadap imam muda, bahwa ia iri hati, menempatkan imam muda itu dalam posisi sebagai seorang imam dan manusia yang tidak baik secara moral. Bukan tidak mustahil ia dinilai telah melanggar ajaran agama. Dan biasanya imam ini akan disingkirkan dari pergaulan, baik oleh rekan imam maupun umat sendiri.

Akan tetapi, ketika Bunda Maria menyatakan bahwa para imam telah menjadi hamba dunia dan hidup menurut dunia (lihat pesan Maria untuk paraimam), adakah yang mengatakan Bunda Maria iri hati? Menjadi hamba dunia dan hidup menurut dunia bisa saja diterjemahkan dengan hidup berkelimpahan dengan kemewahan barang-barang duniawi. Kita kenal Bunda Maria dengan kesederhanaannya. Ia tidak berkelebihan dalam kekayaan duniawi seperti kebanyakan imam. Apakah lantas pernyataan Maria bisa dikategorikan dirinya iri hati?

Atau, ketika Paus Fransiskus meminta Kongregasi Tarekat Hidup Bakti dan Hidup Kerasulan mengevaluasi gaya hidup para imam dewasa ini dan hasilnya adalah seruan agar para imam perlu hidup hemat, apakah Paus dan mereka yang melakukan evaluasi itu iri hati terhadap para imam yang kaya dan hidup mewah? Hidup hemat di sini dapat dimengerti sebagai hidup sederhana. Hal ini secara tidak langsung mau dikatakan agar para imam kembali ke jati dirinya, karena memang para imam harus hidup sederhana sesuai dengan kaul yang diucapkannya saat tahbisan. Akan tetapi, dapat dipastikan bahwa tak ada satu suara pun yang mengatakan bahwa Paus Fransiskus iri hati.

Tampak jelas kebingungan atau keabu-abuan dari kata “iri hati”. Pernyataan yang kurang lebih bernada sama disuarakan oleh orang yang berbeda, namun efeknya berbeda. Kepada imam muda dikatakan bahwa dia iri hati, sementara kepada Bunda Maria dan Paus Fransiskus tidak. Kenapa kepada imam muda dikatakan ia iri hati, sehingga ia menyandang gelar sebagai “imam yang tidak baik”, sementara Bunda Maria dan Paus Fransiskus tidak?
Jakarta, 26 Maret 2014
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar