Melihat
perubahan yang tengah terjadi dalam masyarakat, di dalamnya terpantul juga
keterbukaan seksualitas! Semula hubungan seksual lebih banyak merujuk fungsi
reproduksinya, kini fungsi rekreatif juga menonjol. Dan, dalam keterbuka-an
itu, kaum muda terlibat di dalamnya.
Meminjam
psikologi Freudian, kaum muda atau remaja (adolesence)
adalah seseorang yang mulai memasuki pubertas, yang ditandai kematangan alat
seksual, di antaranya dapat memberi keturunan. Masa awal pubertas diperkirakan
antara 12-14 tahun dan berakhir 18-22 tahun.
Tapi,
aspek penting masa pubertas ini adalah perubahan emosi yang muncul bersamaan
dengan perubahan fisik. Remaja adalah kelompok usia yang secara seksual aktif,
terjadi peningkatan hasrat seksual, tetapi budaya dan agama belum memberi
peluang untuk penyalurannya.
Akibat
dari hal-hal yang bertentangan itu, menurut Freud, emosi remaja menjadi labil.
Bila labilitas emosi tidak terkontrol akan mendorong munculnya perilaku
menyimpang.
Represi Seksualitas
Kajian
Michel Foucault pada masyarakat Eropa sebelum abad ke-18 menunjuk-kan, seks
diungkapkan tanpa ragu. Perilaku vulgar, jorok, tidak santun, sangat longgar.
Tetapi, waktu Ratu Victoria
(1837-1900) berkuasa di Inggris, budaya ini direpresi dan fenomena ini kemudian
menyebar ke wilayah Eropa lain dan diberlakukan di daerah jajahan.
Pengekangan
seksualitas, yang oleh Randall Collins disebut the Victorian Revolution, terkait dengan dinamika kapitalisme awal.
Secara sosiologis, kapital-isme didorong oleh bangkitnya kaum borjuis yang
dalam perilaku ekonominya bergairah dan serakah, tapi anutan kultural dan
agamanya konservatif dan puritan. Oleh negara dan kaum borjuis, sistem
seksualitas itu dimasukkan dan dibenamkan hanya ke dalam fungsi reproduksi,
sehingga orang tidak berani berkata tentang seks, apalagi berhubungan seksual
dengan terbuka.
Kajian
historis Anthony Reid tentang perilaku seksual di Asia Tenggara, pada kurun
waktu pertengahan abad ke-15 sampai akhir abad ke-17, juga relatif mirip dengan
sebelum masa Victoria .
Tapi ketika proses Islamisasi meluas, budaya seksualitas itu dipenuhi tabu dan
kendali itu diperkuat lagi oleh penjajahan Barat.
Dari Prokreasi ke Rekreasi
Sejak
berakhirnya Perang Dunia II, di negara-negara Barat berlangsung kemajuan
teknologi yang mendorong terbentuknya masyarakat dengan tingkat konsumsi
tinggi. Meminjam konsep Thorstein Veblen, perkembangan teknologi itu telah
mendorong kian banyaknya waktu luang (leisure
time) yang bisa dinikmati. Kemakmuran yang berlebih itu secara sosiologis
mengimplikasikan anggota leisure class
bertambah, yang ciri khasnya ditandai dengan kemewahan dan kebebasan yang
ditonjolkan secara demonstratif.
Kelas
ini menunjukkan statusnya lewat pemakaian ragam barang konsumsi dan perilaku
yang mencolok. Mereka menampilkan sikap individualitas, snobisme, dan selera
khas dalam pemakaian barang rumah tangga, fashion,
dan disposisi tubuh.
Budaya
seksualitas yang sebelumnya terbungkam, oleh leisure class ditarik ke tempat yang terang dan diposisikan sejajar
dengan gaya hidup lain seperti pakaian, musik,
selera makan, gaya
bahasa. Oleh leisure class, fungsi
rekreasi hubungan seksual diangkat ke permukaan dan didudukkan sejajar dengan
fungsi prokreasinya, melanjutkan keturunan, bahkan fungsi rekreasi ini lebih
dikedepankan.
Golongan
sosial yg jadi bagian leisure class
adalah remaja. Kaum muda adalah arus besar penerima, sekaligus penyumbang aktif
yang meragamkan gaya hidup leisure class, yang bagi mereka dimaksudkan untuk merakit identitas
dan mengekspresikan keyakinan dan nilai sebagai suatu gaya hidup tersendiri.
Akibat
kemajuan teknologi, fase hidup kaum muda yang transisional dari masa anak-anak
menuju dewasa jadi lebih panjang. Mereka dituntut bersekolah setinggi mungkin
karena adanya kualifikasi profesionalisme kerja. Dalam transisi yang panjang
itu, mereka dimanfaatkan dan memanfaatkan gaya hidup rekreatif leisure class, bahkan menciptakan
subkultur sendiri, tapi masih dilandasi arus dasar budaya leisure class, yang bercirikan gaya hidup santai; penampilan
glamour, modis, dan trendy; pemilikan barang pribadi yang berlebih; pesta, dan
pacaran yang identik dengan hubungan seksual.
Melalui
tampilan angka-angka mungkin bisa dilihat bagaimana leisure class dapat mendorong the
sexual revolution pada kaum muda ini. Sejak awal dekade 1970-an di Amerika
Serikat (AS) dan Eropa, 27 persen remaja perempuan usia 15 tahun pernah
berhubungan seksual. Hasil survei tahun 1971 di kota-kota metropolitan, 31,7
persen perempuan AS usia 15-19 tahun yang belum menikah telah berhubungan seksual;
lalu naik lagi menjadi 43,7 persen (1979) dan 45,2 persen (1982).
Survei
tahun 1979 melaporkan, perempuan mempunyai pengalaman praktik seksual pertama
pada usia 16 tahun, sedangkan laki-laki usia 15 tahun. Untuk masa-masa
kemudian, remaja Barat yang berhubungan seksual kian besar jumlahnya, istilah
perawan (virgin) sudah dilupakan.
Mungkin
di sini bisa dikatakan, secara sosiologis praktik seksual pada masyarakat Barat
sudah tak terbatas hanya bagi yang sudah menikah, tapi meluas ke kelompok lain
yang sebelumnya keterlibatannya dikendalikan dengan ketat. Dengan memakai terma
antropologis, aspek tertentu dari kebudayaan, seksualitas, yang tadinya menjadi
privilege sebagian warga masyarakat, pemakaiannya menyebar ke golongan sosial
lain.
Penyebarluasan
ini dimungkinkan karena fungsi prokreasi yang pada mulanya ditonjolkan menjadi
harus bergandengan dengan fungsi rekreatifnya. Meskipun fungsi reproduksi dari
hubungan seksual tidak menghilang sama sekali, fungsi rekreatif inilah yang
kemudian digerakkan dan disebarluaskan ke berbagai tempat. Dalam perluasan ini
media memiliki peran besar.
Memperluas Peluang
Berbagai
jenis media, yang juga alat permainan gaya hidup
leisure class digunakan untuk
memperluas gaya
hidup rekreatif mereka. Teknologi media adalah instrumen yang cukup penting
untuk memperluas wacana keterbukaan. Suatu gaya hidup yang tadinya hanya berlangsung
pada wilayah kecil, saat ditampilkan media menjadi meluas ke wilayah lain.
Melalui
ragam media inilah wacana dan praktik keterbukaan seksualitas merambah dunia.
Batas-batas sosiologis dari budaya seksualitas di negara-negara non-Barat pun
menjadi semakin terbuka.
Menurut
laporan Youth Adult Reproductive Health
Survey (YHARS), sampai tahun 1985 anak muda yang berusia 15-24 tahun di
beberapa kota di Amerika Latin, usia rata-rata mereka berhubungan seksual
pertama kali adalah 15 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan.
Sementara menurut Demographic and Health
Survey (DHS), di Botswana, Gana, Kenya, Liberia, dan Togo lebih separuh
perempuan berusia 15-19 tahun yang sudah berpengalaman hubungan seksual
dilaporkan belum menikah.
Bagaimana
dengan di Indonesia ?
Satu dari lima
perempuan yang statusnya menikah dan berusia 20-24 tahun melahirkan anak
pertama sebagai buah hubungan seksual sebelum menikah. Penelitian tahun 1989 di
Bali menunjukkan, remaja laki- laki di desa dan di kota yang berhubungan
seksual sebelum nikah masing-masing 32,6 persen dan 33,5 persen. Dari 2.947
kasus kehamilan selama dua tahun yang ditangani sebuah klinik besar di
Denpasar, 50 persen adalah perempuan yang belum nikah dan sebagian besar
berusia di bawah 25 tahun.
Penelitian
di tahun 1980-an tentang perilaku seksual remaja, seperti di Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Manado menunjukkan sebagian remaja telah
melakukan hubungan seksual, termasuk di kota-kota kecil seperti di Cirebon dan
Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian di Jakarta tahun 1981 menyebutkan, hal-hal
yang ditabukan remaja tahun 1950-an seperti berciuman dan bercumbuan,
dibenarkan remaja tahun 1990-an. Bahkan ada sebagian remaja yang kerap
berhubungan seksual dengan penjaja seks, teman, dan pacar.
Penelitian
Laboratorium Antropologi, Universitas Indonesia, pada pertengahan 1990-an,
menyebut bahwa selain menonton film seks di bioskop, sebagian remaja pedesaan
di Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan juga kerap menonton blue film lewat video. Mereka, termasuk
remaja perempuan, juga sudah terbiasa dengan majalah dan buku gambar atau
tulisan yang secara vulgar mengungkapkan dan memaparkan hubungan seksual.
Penglihatan yang Realistik
Bagaimanapun,
kini fungsi rekreatif seksualitas sudah menonjol dan sebagian kaum muda telah
terlibat. Gejala ini harus dipandang secara realistik, artinya kalau praktik
seksual rekreatif kaum muda dilihat sebagai persoalan, ia harus diletakkan,
pertama, dengan melihat karakteristik psikologis remaja yang memang memiliki
keinginan menonjolkan aktivitas yang rekreatif; dan kedua, melihat lingkungan
pergaulan dan media yang cenderung menyeksualitaskan berbagai informasi dan
berita yang ditayangkan.
Dengan
meletakkan masalah secara realistik, penanganan keterbukaan seksualitas pada
kaum muda mesti berlandaskan pada bagaimana mengelola keadaan emosi dan
aktivitas remaja, hubungan sosial yang mengelilingi mereka, dan tampilan media.
Pertama,
mengalihkan penyaluran hasrat seksual kaum muda ke berbagai bentuk seperti pada
kegiatan olahraga, kesenian, latihan keterampilan dan keahlian di sekolah atau
ruang publik lain, guna melengkapi atau membuat keseimbangan dengan fasilitas
rekreatif dan hiburan yang berbau seks.
Kedua,
masyarakat mesti menekan ragam media untuk menampilkan berbagai informasi dan
berita rekreatif lain bagi para remaja, yang mungkin bisa menjadi rujukan
alternatif untuk mengalihkan kegiatan rekreatif seksualitas. Mungkin, dengan
tayangan-tayangan alternatif itu kaum muda akan punya pilihan beragam untuk
menyalurkan keadaan psikologis dan aktivitasnya tidak; hanya ke hal-hal yang
hedonistik.
Budi Rajab Staf
Pengajar Jurusan Antropologi, FISIP-Unpad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar