Kamis, 14 Maret 2013

(C E R P E N) Maafkan Aku, Lala

MAAFKAN AKU, LALA
“Gus, ada yang mau ketemu.” Leo berkata sambil tersenyum membuat aku tak yakin. Siapa sih yang siang-siang begini mau ketemu. Orang baru aja bangun. “Anak Asput.[1] Leo kembali menegaskan karena melihat aku yang meragukan pernyataannya.

”Siapa?” Tanyaku sekenanya. Aku mulai mengambil peralatan mandiku. Sepertinya ada sedikit rasa percaya mulai tumbuh dalam diriku. Masak nemui cewek dengan kondisi badan belum mandi. Gengsi donk!

Leo menaikkan bahunya tanda tidak tahu. ”Manis lo orangnya,” ujarnya sambil kembali tersenyum. Temanku yang lain pada batuk kecil menggoda. Anis langsung menyodorkan AXE terbarunya. Kalau Yoseph menawarkan sabun mandi wanginya.

Aku cuek saja. Dengan langkah tenang aku ke kamar mandi. Namun pikiranku masih terus memikirkan siapa cewek yang datang itu. Selama dua tahun aku tinggal di seminari ini, tak pernah sekalipun aku berkenalan sama anak asput. Makanya, tak pernah terbayangkan akan mendapat tamu dari tetangga kami ini.

Aku keluar dari asrama menemui tamuku. Ternyata dua orang cewek. Mereka duduk di bawah pohon ketapang; membelakangiku.

”Hai,” sapaku. Seorang dari mereka menoleh. ”Sorry kalau nunggu lama.”

”Mat sore, kak Agus.” Yang menoleh tadi menyapaku. Kemudian disusul yang satunya. Ketika ia menoleh aku sedikit terkejut.

”Ooo..., ternyata kamu anak asput ya?!” Aku jadi ingat saat MOS lalu. Aku sebagai pembina gugus, sedangkan cewek itu cawi (calon siswi) di sekolah kami. Waktu itu, di hari kedua MOS, ia datang terlambat. Kebetulan ia berhadapan dengan diriku. Temanku membisikkan ke telinga agar aku ’mengerjainya’. Maka aku mulai membentak dan memarahinya. Kulihat ia mulai down. Aku jadi bersemangat. Ia tertunduk dan aku, dengan suara membentak, menyuruhnya untuk menegakkan kepalanya. Terlihat jelas matanya berkaca-kaca dan tak lama kemudian setetes air mata jatuh menetes di pipinya. Ia mulai menangis. Melihat hal itu, aku bukannya menjadi luluh, tapi malah buat ia makin menjadi-jadi. Untung waktu itu ada pembina gugus cewek yang menunjukkan ”solidaritas antar-perempuan” sehingga aku segera berlalu.

”Gus, ternyata kamu garang juga ya?!” Vicky menghampiriku setelah aku meninggalkan dua perempuan itu. ”Kelihatannya cantik juga tu cawi.”

”Apanya yang cantik?” Sahutku. ”Matamu salah kali. Atau seleramu murahan.”

”Saya yakin, kalau ikatan-ikatan rambutnya dilepas, dia pasti terlihat menarik.”

”Ya udah, kamu tembak aja dia. Biasa kan, pembina jadian sama yang dibina. Tahun lalu juga ada tu yang seperti itu.”

”Iya. Gak tahu tu sekarang gimana nasib si Lia setelah Nato tamat. Apalagi si Nato lanjut ke Yogya.”

Kembali kenangan MOS beberapa bulan lalu berputar dalam ingatanku. Dan aku sama sekali tidak menyangka kalau dia adalah anak asput, tetangga kami. Akan tetapi aku tidak mau menceritakan kisah itu.

Cewek itu menoleh kepadaku sambil tersenyum. Aku jadi sedikit malu. Namun terbersit dalam hatiku kekaguman akan kecantikannya. Ternyata benar apa yang dikatakan Vicky waktu itu. Tidak ada yang salah pada matanya; dan seleranya sama seperti aku.

”Kak, kami mau kembalikan payung yang kemarin kami pinjam.”

Aku mengambil payung itu. ”Oya, aku tidak tahu nama kalian.”

”Aku Jeni,” ujar yang memberikan payung. Ia kelihatan sudah senior di asput. Kelas dua SMU Taruna Bakti. ”Ini Lala. Dia memang anak baru.”

”Jeni asal dari mana?” Tanyaku membuka perkenalan lanjut. Jeni menjelaskan panjang lebar tentang  asalnya. Siapa ortunya dan bagaimana suka dukanya jauh dari ortu. Sepertinya Jeni tipe orang yang suka ngobrol, sehingga pertanyaan sedikit dijawab dengan panjang lebar.

Sambil Jeni bercerita tentang dirinya, aku sesekali melirik ke Lala. Aku sungguh menganguminya. Rupanya penglihatan Vicky tidak keliru, pikirku. Aku senang melihatnya tersenyum, menampilkan barisan giginya yang putih dan lesung pipit di kedua pipinya. Bibirnya yang mungil terlihat kemerahan alami tanpa polesan alat kosmetik. Rambutnya yang dipotong shaggy sampai di pundak sangat serasi dengan wajahnya yang bulat oval. Namun, yang membuat aku tertarik adalah kesederhanaannya.
***

Sejak pertemuan di bawah pohon ketapang itu, wajah Lala tak pernah hilang dari pikiranku. Ia selalu hadir dalam setiap gerak kehidupanku di seminari.[2] Waktu belajar, doa bahkan waktu makan sekalipun. Sampai-sampai teman-teman semeja makan selalu menggodaku, takut aku salah memasukkan sendok ke dalam mulut karena ....

Apakah aku lagi jatuh cinta? Batinku pada suatu sore menjelang doa sore. Memang aku suka sekali padanya. Tak bisa kupungiri rasa itu. Ingin sekali berjalan berdua dengannya sambil sesekali merangkul atau bergandeng, seperti yang dilakukan teman-teman sekolah yang bukan seminari. Ahk, seandainya aku bukan seminaris, pasti sudah aku pacari dia.

Atau berdosakah aku bila suka dan kagum padanya? Bila aku cinta dan pacaran dengannya? Salahkah aku? Dulu pernah seorang pembina mengatakan kalau kami ini adalah calon imam yang berarti hidup kami harus sudah mirip seperti imam. Tapi, bukankah ada imam juga yang ’selingkuh’ malah ada yang akhirnya keluar? Apakah adil bila kami yang seorang remaja sudah dipaksakan mengambil kehidupan orang dewasa? Bukankah itu berarti seminari berarti telah menghilangkan masa remaja kami?

Jangan-jangan ini pertanda kalau aku tidak terpanggil. Tidak! Aku mengguman dalam hati. Aku terpanggil. Aku mau jadi imam. Tapi, bagaimana dengan ini? Oh Tuhan, kenapa Kau memanggil aku tanpa menghilangkan rasa cinta ini? keluhku.

”Emang kau sudah pernah ungkapkan perasaanmu kepadanya?” Tanya Aldo suatu ketika di ruang jemuran.

”Itu lagi yang menjadi persoalan. Aku tidak punya nyali,” ungkapku polos disambut tawa ringan sahabat karibku itu. ”Tapi, anak-anak asput yang lain udah pada tahu kalau aku naksir dia. Lihat saja, kalau kita bubar misa pagi atau sore, beberapa anak asput selalu menggoda aku atau juga Lala.”

”Bisa saja itu hanya perasaanmu. Sapa tahu dia tak punya perasaan itu.”

”Entahlah, akupun tak tahu. Terlihat akhir-akhir ini ia selalu menjauhi aku. Sikapnya pun dingin dan acuh.”

”Gimana kalau pake perantara?”

”Mak comblang, maksudmu?” Aldo cuma mengangguk. “Siapa?”

“Kan Kak Nato punya adik di asput. Tesa, namanya. Aku kenal baik orangnya. Lagi pula Tesa kan teman akrab dengan Lala.”

”Aku takut ketahuan sama suster mereka. Bukan hanya aku yang jadi sasaran, bisa-bisa Lala juga jadi korban. Kau ingat kan tahun lalu. Anggie diskor gara-gara ketahuan pacaran sama seminaris.”

”Aku bukan langsung menyampaikan isi hatimu.” Jelas Aldo berteori. ”Cuma menanyakan sikapnya yang dingin terhadapmu. Aku jamin Tesa tidak akan mengumbar ke orang lain. Dia juga pasti mau menjaga persahabatannya dengan Lala”

Dari Tesa, setelah misi Aldo berhasil, aku mengetahui perihal sikap Lala yang dingin dan cuek terhadapku. Ternyata ia takut kalau dirinya menghambat panggilanku.

”Sebenarnya dia juga suka diriku,” ungkapku pada Aldo. ”Ada rasa itu di hatinya, namun dia takut mengungkapkannya karena bisa menggagalkan panggilanku.”

”Sepertinya begitulah. Anak-anak asput juga pada berpikiran demikian”

”Kau tau, Do,” ujarku, ”aku semakin mencintainya. Aku makin suka padanya. Hal ini menunjukkan kepribadiannya yang baik.”

”Hei, kau mau keluar atau....”

”Entahlah. Aku tidak tahu. Tapi salahkah bila aku menyukainya? Terlarangkah rasa ini?” Aldo membisu. ”Bukankah kita ini remaja. Keremajaan itu merupakan salah satu fase dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pasti melaluinya. Apa yang aku alami saat ini kan merupakan bentuk dari pergolakan masa remaja. Semua remaja tentulah mengalami hal ini. Kita tidak bisa menghindar. Tak bisa menyangkalnya.

”Nah, kita adalah seminaris, calon imam. Tapi kita juga manusia. Sebagai manusia niscaya kita melalui dan mengalami masa remaja dengan gejolaknya. Tak mungkin kita langsung melompat menjadi dewasa, hanya karena kita mau jadi imam. Semua imam pasti pernah menjadi remaja. Mana ada imam yang terlahir sebagai dewasa. Imam juga manusia.

”Karena itu, adalah wajar kalau aku menyukainya. Ini merupakan bagian dari keremajaanku. Seminari tak boleh menghalang ataupun melarang. Kalau demikian, berarti seminari akan menghilangkan salah satu fase dalam hidup kita. Wah, sungguh menyedihkan sekali nasib ini. Tapi apa memang begitu?”

”Gus, aku pikir kau perlu bicara dengan Bapa[3] Mago.” Aldo tiba-tiba nyeletuk setelah sekian lama dikotbahi. ”Aku yakin beliau bisa memberikan masukan buat kamu.”

”Aman tidak? Jangan-jangan aku dikeluarkan. Dulu ada frater yang mengatakan kalau pembinaan di seminari menuntut seminaris untuk munafik, karena kejujuran bisa membahayakan panggilannya.”

”Aku rasa tidak! Kau ingat tahun lalu ketika Kak Paskalis ketauan sama suster pacaran dengan Anggie. Suster meminta agar Kak Kalis dikeluarkan. Tapi ditanggapi dingin oleh bapa.”
***
Aku dan beberapa teman berjalan menuju asput. Sore ini ada acara pesta pelindung konggregasi suster yang mendampingi asput. Terlihat jelas wajah-wajah ceria pada rekan-rekanku. Sejak bangun siang tadi semua pikiran kami sudah ke asput. Semua sibuk menyeterika pakaian. Harus keren dan beken, boo! ujar teman seunitku.

Kami diterima oleh empat cewek cantik. Anak-anak asput St Clara. Seorang dari mereka menghantar kami masuk ke tempat di mana akan diadakan upacara misa yang akan dipimpin oleh Bapak Uskup. Beberapa undangan sudah pada datang. Sebagian besar anak asput sudah duduk di dalam ruangan. Mereka sebagai koor. Aku melihat ada lima orang anak seminari bergabung dengan mereka. Mungkin suster sudah memintanya.

Aku mengajak Aldo untuk duduk di bangku di luar ruang. Alasanku, di luar banyak angin. Seorang anak asput mendekati kami. Ia berbisik kepadaku, “Kak Agus, nanti sumbang satu lagu, ya?!”

Aku mau menolak, tapi cewek itu segera berlalu. Aku cuma bisa mengumpat dalam hati, sementara Aldo tersenyum saja.

Maka, ketika acara resepsi dan hiburan, seorang anak asput yang berperan sebagai MC meminta diriku untuk maju ke depan dan membawakan sebuah lagu sebagai hiburan. Sontak suara tepuk tangan dari anak-anak asput lainnya dan juga dari seminaris membahana di ruangan yang sehari-hari dipakai sebagai kamar makan anak asput. Aku jadi kikuk. Maklum, aku sama sekali tidak siap. Namun, suara tepuk tangan tadi berubah menjadi suara koor ‘ayo maju-maju, jangan malu-malu….’

Dengan langkah berat aku berjalan menuju ke depan, yang mereka sebut panggung. Keringat dingin mulai mengalir membasahi keningku. Kuusap dengan punggung tanganku. Aku mengumpat, kenapa tidak membawa sapu tangan (maklum, sejak muncul isu global warming aku lebih memilih memakai sapu tangan ketimbang kertas tissue). Seorang cewek mendekatiku dan memberikan selembar tissue.

Kulihat semua mata tertuju kepadaku. Mereka semua tenang. Aku menarik nafas dalam untuk menenangkan diri. Gitar yang diberikan kepadaku kucoba petik satu persatu snarnya untuk memastikan suaranya. Setelah yakin akupun mengambil posisi duduk dan siap menyanyikan lagu. Tanpa sengaja, terlintas dalam pikiranku lagu Once, ’Aku Mau’.

Kau boleh acuhkan diriku,
Dengan ’nggap ku tak ada
Tapi takkan mengubah perasaanku kepadamu.
                   Kuyakin pasti suatu saat
                   Semua kan terjadi
                   Kau kan mencintaiku
                   Dan takkan pernah melepasku.......

Semua penonton duduk tenang mendengarkan laguku. Kulihat Lala duduk di antara anak-anak asput. Dia tertunduk. Sesekali ia mengusap matanya dengan tissue yang ada di tangannya. Menangiskah dia? batinku. Karena laguku?

Aku meninggalkan teman-temanku yang lagi asyik bergoyang bersama anak-anak asput. Aldo pun tak ketinggalan. Jadi aku pulang sendirian. Ketika sampai di depan pintu masuk asrama, aku mendengar sebuah suara memanggilku. Aku menoleh. Ternyata Tesa. Ia tidak sendirian. Ada Lala di sampingnya.

”Kak, Lala mau bicara.” Setelah mengatakan itu, Tesa segera menyingkir.

”Aku minta maaf atas sikapku selama ini.”

”Tak perlu minta maaf. Kamu tidak salah. Kamu sungguh baik. Hatimu sangat mulia. Akulah yang seharusnya minta maaf.” Sejenak kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kuberanikan diri untuk meraih tangannya. ”Maafkan aku, Lala. Aku telah mencintaimu.” Lala tertunduk. Ia mengatup kedua bibirnya. ”Kuharap aku bisa melupakanmu. Kau mau bantu aku, kan?!” Lala tetap tertunduk. Aku melepaskan tangannya dan berjalan pulang.

”Kak,” suara Lala memaksaku menoleh. ”Kita masih bisa berteman, kan?”

Aku mengangguk. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Senyuman yang membuat aku kagum kepadanya, yang takkan mungkin kulupakan.

Waena, 9 Oktober 2009
by: adrian
  • Cerpen ini sudah dibukukan dalam kumpulan cerpan Uda Agus, dkk, “Hitam, Putih, Abu-abu” Yogyakarta: AG Publishing, 2012


[1]  Asput (asrama putri) adalah istilah untuk anak-anak penghuni asrama putri. Di beberapa tempat dipakai istilah astri. Ada kesan asput ini untuk tingkat SMU sedangkan astri untuk tingkat kuliahan.
[2] Seminari adalah sekolah khusus bagi mereka yang mau menjadi imam dalam gereja Katolik. Karena itu, sekolah ini hanya diperuntuknya bagi anak laki-laki.
[3]  Bapa adalah sapaan untuk pastor (imam). Kalau di Jawa pastor dipanggil dengan romo, di Keuskupan Jayapura ini umat biasa menyapa bapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar