Senin, 15 November 2021

Sebuah Cerpen: BULAN MENGINTIP DI BALIK AWAN

 

Samir agak kurang percaya pada cerita-cerita temannya tentang acara malam keyboard. Memang seperti sudah menjadi kebiasaan di wilayah Sumatera Utara untuk menyelenggarakan keyboard pada malam hajatan. Perkawinan, misalnya. Itu Samir sudah lama tahu. Malah ia tahu sejak kapan kebiasaan keyboard muncul menggantikan seni-seni tradisional seperti gondang atau musik-musik orkes keliling. Samir tahu. Tapi kalau sudah menampilkan artis-artis cantik nan sexy dengan goyang seronok, Samir belum tahu. Itupun kalau tidak diceritakan rekan-rekannya, ia tetap tidak akan tahu.

“Aduh Bang, gila bener gerakannya,“ jelas Joko sambil meniru-niru gerakan penyanyi keyboard  dua malam lalu di desa Sigagak.

“Celananya saja kayak celana renang cowok. Ketat. Seketat baju yang membungkus tubuhnya. Teteknya..., waduh aku jadi mau onani saja.”

Samir senyum-senyum saja. Ia masih belum percaya. Ia hanya curiga, mungkin itu sekedar khayalan teman-temannya yang sering nonton film-film porno. Bukankah CD-CD porno agak bebas beredar. Malah di rental-rental yang ada di kampung-kampung pun sudah bisa kita temui CD blue film. Tinggal sebut ‘filem Unyil’ saja, petugas rental udah mengerti.

“Kenapa sih Abang nggak percaya?”

“Abang jangan pikir penari-penari telanjang itu cuma ada di Jakarta. Mentang-mentang abang lama di Jakarta...”

“Iya nih! Sekarang kan jaman globalisasi. Jadi, apa yang ada di sana, ada juga di sini. Cuma bedanya, di sana kan untuk kalangan berduit, orang-orang kaya. Penari-penarinya mau sampai bugil. Di sini kan masih tingkat kampungan. Cukuplah sebatas paha dan dada.”

"Itupun sudah membuat penonton jadi bernafsu.”

Samir memang pernah tinggal cukup lama di Jakarta. Dan dia tahu adanya pertunjukan tarian bugil. Streaptease, istilahnya. Malah ia pernah baca di sebuah majalah cukup terkenal. Kalau tidak salah namanya Matre, atau mungkin juga Pop Ular. Di situ diberitakan adanya fenomena lain streaptease. Sebelum-sebelumnya acara ini selalu menampilkan kaum wanita. Kini yang menari-nari sampai buka-bukaan itu dilakukan kaum pria. Umumnya mereka mahasiswa dan ber-body atletis. Dan sudah pasti penontonnya bukan bapak-bapak direktur perusahaan ini itu, pengusaha itu ini. Penontonnya adalah wanita-wanita karier sukses, direktris atau wanita muda pengusaha. Merekalah yang nonton cowok-cowok muda atletis itu meliuk-liuk di pentas membangkitkan gairah manstrubasi mereka. Acara khusus siang hari. Beda dengan acara selera kaum pria yang dilaksanakan malam hari. Mungkin untuk bagi-bagi tugas jaga rumah. Bisa jadi suami istri sama-sama pengusaha dan sama-sama punya hobi menghamburkan uang untuk hiburan tersebut.

Samir tahu semua itu. Ia tahu pertunjukan itu spesial kaum berduit, seperti kata Totok. Untuk kaum pinggiran paling dengan film-film blue yang bisa sewa dengan uang 2.500 atau kalau mau beli cukup dengan 10.000. Itupun nontonnya pakai sembunyi-sembunyi. Paling cuma 4-5 orang teman dekat. Tapi ini, keyboard, ditampilkan di panggung terbuka. Untuk umum pula. Anak-anak pun bebas nonton, malah mereka berada di barisan depan. Apa nggak gila? Batin Samir.

“Minggu lalu abang tidak nonton keyboard yang di simpang Koper?”

“Iya.”

“Kenapa rupanya?”

“Ceweknya menari-nari dengan ular. Goyangannya sungguh panas. Ia seperti bercumbu dengan ular. Ular itu dijepit di sela kedua pahanya yang mulus. Kemudian ia menggoyang-goyangkan pinggulnya. Erotis benar!”

“Persis penari telanjang di film-film yang menggesek-gesekkan anunya ke tiang besi.”

“Iya.”

“Edan!” Samir cuma berguman.

“Itulah hiburan kelas pinggiran, Bang.”

Itulah hiburan kelas pinggiran, Samir bertanya-tanya dalam hati. Ia tak habis pikir. Sudah seburuk itukah moral bangsa? Atau mungkin itu yang memang dicari-cari orang saat ini. Akibat modernisasi? Samir pernah membaca buku Erich Fromm. Judulnya Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia.  Memang buku itu lebih mengulas soal kekerasan, tapi ada tesis yang cocok untuk masalah ini. Dalam buku itu, Erich Fromm menyatakan bahwa perkembangan peradaban manusia berpengaruh pada peningkatan kebiadaban manusia. Semakin meningkat peradaban manusia, semakin biadab pula manusia. Semakin tidak beradab. Bisa juga dibilang tidak bermoral.

Adakah kaitannya? Samir terus mencari-cari jawabannya. Setidak-tidaknya itulah fakta yang ada dewasa ini. Bukankah seni-seni tradisional, orkes-orkes kampung jalanan sudah diganti dengan keyboard sejalan dengan perkembangan peradaban manusia? Bisa dipastikan anak-anak sekarang sudah tidak tahu lagi apa itu seni wayang atau gondang. Mereka pasti tidak suka lagi pada musik-musik orkes. Tidak menarik. Juga tidak seru. Modernitas telah menghapus seni-seni tradisional rakyat dan mengucapkan selamat datang pada musik keyboard  yang menyentak keras. Dan supaya lebih seru, ditampilkanlah gadis-gadis sexy dengan goyangan sensual menggoda menggantikan wanita-wanita ayu dengan gerak tari langgam Jawa atau tarian tradisional rakyat Batak: Tor-Tor.

***

Seorang gadis cantik mengenakan sepatu tinggi dan kakinya yang langsing berbalut stocking. Ia menggebrak di atas panggung. Lagu dangdut yang panas dengan irama house music menghentak. Sepasang kaki menari-nari. Pinggulnya bergoyang-goyang. Gadis itu cuma mengenakan kaos ketat model tank top, yang kini lagi digandrungi remaja-remaja ABG dan ibu-ibu muda. Seperti biasa pusarnya kelihatan. Celananya pun ekstra ketat dan minim, memamerkan kemulusan pahanya yang tak terbalut stocking. Ia terus menari sambil bernyanyi dengan suara yang jauh dari merdu.

Penonton bersorak-sorak. Entah apa yang mereka sorakkan. Apa lantaran suaranya yang jelek atau karena penampilannya yang merangsang.

Di kegelapan malam, Samir berdiri terpaku. Ia berdiri di antara kerumunan warga kampung Inpres yang juga lagi nonton keyboard di pesta pernikahan anak salah seorang warga kampung itu. Mata Samir tetap tertuju pada penyanyi itu. Bibirnya yang merah setengah terbuka seperti selalu minta dicium. Musik makin menggila dan tariannya pun semakin panas. Gadis itu bergerak mendekati tiang penyangga keyboard. Ia seakan-akan menyetubuhi tiang itu. Pemain keyboard-nya senyum-senyum saja. Anak-anak di barisan depan berteriak-teriak. Tak ketinggalan anak-anak mudanya.

“Betul kan, Bang,” jelas Joko yang berdiri di sampingnya. “Erotis banget.”

Samir tidak memberi tanggapan. Ia terus memperhatikan gadis itu.

Pantatnya bergoyang-goyang. Ke kiri dan ke kanan. Sesekali ke depan. Sangat erotis. Persis gerakan orang bersenggama yang ada di film-film blue. Para pemuda semakin tergila-gila. Rambutnya yang dibiar tergerai sebatas bahu ikut bergoyang seiring gerakan kepalanya dan hentakan musik panas. Tiba-tiba gadis itu menunduk ke arah penonton. Mata Samir terbelalak melihat belahan dadanya yang montok.

Duh, nyaris keluar teteknya, “ komentar seorang penonton disambut tawa girang penonton lain.

“Gadis itu sepertinya nggak pake BH,” ujar Joko. Tu, pentilnya saja kelihatan menonjol di kaosnya.”

Wus! Kedengaran anak-anak.”

Ala Bang. Urusan kayak gitu, anak kecil saja tau.”

Samir tidak mau berkomentar lagi. Ia kembali menatap ke arah panggung. Gadis itu terus mendendangkan lagu-lagu dangdut yang lagi populer di masyarakat. Tak peduli komentar orang atas suaranya. Badannya yang lentur menggeliat. Sesekali ia melompat berjingkrak-jingkrak sehingga buah dadanya yang besar montok ikut bergoyang. Para penonton di luar semakin penasaran.

Sekejap mata Samir menangkap sekelabat bayangan hitam di kegelapan malam. Dua anak manusia berjalan meninggalkan keramaian pesta menuju kegelapan sunyi. Mata Samir terus memperhatikannya. Seorang pemuda dan seorang pemudi. Mereka berjalan cepat menuju belakang sekolah. Samir curiga.

Selang beberapa menit Samir pergi meninggalkan Joko yang masih lagi terpukau. Ia berjalan menuju belakang sekolah itu. Dari jarak dekat ia sudah bisa mendengar suara desahan-desahan dua anak manusia dalam irama kenikmatan. Samir makin tambah curiga. Ia terus mendekat.

Dalam remang-remang cahaya rembulan, sepasang remaja lagi asyik berdekapan. Tubuh-tubuh mereka menyatu. Dan pinggul-pinggul mereka saling beradu-temu dalam goyangan-goyangan kenikmatan nafsu birahi.

Bulan mengintip dari balik awan-awan.

Samir cuma menggelengkan kepala. Itukah hiburan kelas pinggiran, hatinya bertanya. Atau inikah akibat moderinitas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar