Senin, 28 Oktober 2019

SEJARAH KITAB SUCI KATOLIK


Sejarah Terbentuknya Kitab Suci Perjanjian Lama
Kitab Suci Gereja Katolik terdiri dari dua bagian, yaitu Perjanjian Lama (PL: 46 kitab) dan Perjanjian Baru (PB: 27 kitab). Jadi, keseluruhannya ada 73 kitab. Kitab PL dapat dibagi dalam 3 bagian: Kitab Taurat, Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) adalah intisari dan cikal bakal seluruh kitab PL. Kelima kitab ini dikenal dengan sebutan Kitab Taurat atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun, Nabi Musa dianggap sebagai penulis Kitab Taurat ini. Karena itu, kitab ini disebut juga Kitab Nabi Musa. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat ini.
Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab PL. Kapan tepatnya isi dari kitab-kitab PL ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui dengan pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab PL sudah ada seperti yang sekarang ini.
Bahasa awal Kitab PL adalah Bahasa Ibrani. Namun ketika orang Yahudi terusir dari Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani. Waktu itu, Bahasa Yunani merupakan bahasa internasional. Dari sinilah mulai dirasakan perlunya Kitab Suci berbahasa Yunani.
Maka pada masa pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 – 246 SM) dimulailah proyek penerjemahan Kitab Suci ke dalam Bahasa Yunani. Proyek ini dikerjakan oleh 70 ahli kitab Yahudi. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 – 125 SM, dan disebut Septuaginta (bahasa Latin yang berarti 70; merujuk ke 70 ahli tadi). Kitab ini diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Aleksandria) bagi kaum Yahudi yang berada di perantauan.
Setelah Yesus wafat, para murid-Nya tidak menjadi punah. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi berkumpul di Jamnia, Palestina (mungkin sebagai reaksi terhadap jemaat perdana). Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka. Atas kriteria itu mereka mengeluarkan 7 kitab dari kanon Aleksandria (Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Baruks, 1 dan 2 Makabe). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak menemukan versi Ibrani.
Gereja katolik tidak mengakui konsili para rabbi Yahudi itu dan tetap terus menggunakan Septuaginta. Pada konsili di Hippo (393 M) dan konsili Kartago (397 M), Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Aleksandria sebagai Kitab Suci PL. Ketujuh kitab yang dibuang dalam Konsili Jamnia sekarang dikenal dengan kitab deuterokanonika. Mungkin Gereja Protestan mengikuti keputusan Konsili Jamnia itu, sehingga mereka tidak mengakui kitab-kitab deuterokanonika.
Sejarah Terbentuknya Kitab Suci Perjanjian Baru
Sama seperti PL, kitab-kitab PB juga tidak ditulis oleh satu orang. Setidaknya ada 8 orang yang menghasilkan 27 kitab. Jika pada PL terjadi perbedaan antara Gereja Protestan dan Katolik, 27 kitab dalam PB ini diterima oleh keduanya. Bagaimana proses terbentuknya?
Setidaknya ada 3 uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, yaitu Uskup Mileto (175 M), Uskup Ireneus (185 M) dan Uskup Eusebius (325 M).
Pada tahun 382 M, didahului konsili Roma, Paus Damasus menulis dekrit yang memuat daftar kitab-kitab PL dan PB. Total seluruhnya ada 73 kitab. Pada konsili Hippo di Afrika Utara (393 M) ditetapkan kembali ke-73 kitab PL dan PB. Demikian pula pada konsili Kartago di Afrika Utara (397). Sekedar diketahui, konsili Hippo dan Kartago dianggap oleh banyak kaum Protestan dan Evagelis Protestan sebagai otoritatif bagi kanonisasi kitab PB.
Pada tahun 405, Paus Innosensius I (401 – 417) menyetujui kanonisasi ke-73 kitab dalam Kitab Suci dan menutup kanonisasi Alkitab.
sumber: Iman Katolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar