Senin, 26 Agustus 2019

KASUS USTAD ABDUL SOMAD MEMBUKTIKAN 3 HAL INI


Ustadz Abdul Somad sedang menghadapi tuntutan atas penghinaan agama. Hal itu berawal dari video ceramahnya, yang berisi kajian agama islam di salah satu masjid di Kota Pekanbaru 3 tahun lalu, muncul di media sosial dan menjadi viral. Dalam ceramah itu UAS menyinggung soal salib orang katolik, yang dikesankan melecehkan atau menghina orang kristen.
Ustadz Abdul Somad sendiri sudah memberi klarifikasi. Ada 3 poin penting dalam klarifikasi tersebut, yaitu bahwa (1) kajian yang membahas salib orang katolik itu dalam konteks menjawab pertanyaan seorang peserta ceramah; (2) ceramah itu diadakan untuk kalangan terbatas dan bersifat tertutup; dan (3) sudah terjadi 3 tahun lalu.
Akan tetapi, klarifikasi tersebut sama sekali tidak menyentuh inti persoalan, yaitu apa yang diucapkannya. Orang-orang yang menggugat UAS bukan melihat kepada siapa ceramah itu disampaikan, atau kapan dan dimana disampaikan tetapi apa yang disampaikan, yang dinilai telah melecehkan agama kristiani. Soal tempat, waktu dan audiens memang sama sekali tidak melecehkan agama kristen. Namun anehnya, masih ada juga yang membelanya dengan berpatokan pada 3 poin klarifikasi tersebut, tak terkecuali dari Majelis Ulama Indonesia. Misalnya, Wakil Ketua MUI SUMUT, Maratua Simanjuntak, berkata, “Semua ulama telah sepakat bahwa isi ceramah itu tidak bermasalah.”

Tak cukup dengan klarifikasi tersebut, UAS kembali memberikan pembelaannya. Usai memenuhi undangan MUI pusat di Jakarta, 21 Agustus 2019, Sang Ustadz menegaskan bahwa ceramahnya sudah sesuai dengan aqidah islam. Itu artinya bahwa apa yang disampaikan UAS terkait salib sudah sesuai dengan ajaran iman islam, yang fondasinya ada pada Al-Qur’an dan hadis.
Namun aqidah tersebut ternyata melukai perasaan umat kristiani, karena dirasakan menghina. Jika memang benar bahwa ceramahnya sesuai dengan aqidah islam, maka hal ini memberikan bukti 3 hal.
Pertama, tak mungkin ada dialog antara umat islam dengan umat agama lain. Dialog terjadi jika ada kesetaraan. Bagaimana mungkin ada dialog jika yang satu dapat menghina yang lain atas dasar ajaran agama. Karena itulah, dialog yang sedang dibangun antara islam dan Kristen dirasakan mubajir. Tentu kita ingat akan pertemuan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, dan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, yang melahirkan Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama (baca teks dokumen di sini).
Dalam dokumen itu, kedua tokoh tersebut menyerukan kepada semua pihak agar bekerja keras untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Nah, bagaimana bisa bertoleransi jika salah satu pihak mengajarkan boleh menghina pihak lain? (apakah islam agama toleran, dapat baca di sini) Selain itu, dikatakan bahwa agama tidak boleh menghasut orang kepada perang, sikap kebencian, permusuhan. Nah, bagaimana jika aqidah mengajarkan hal tersebut?
Bukti kedua, adalah bahwa agama islam mengajarkan kebencian. Dalam Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, Paus Fransiskus dan Ahmed el-Tayeb menegaskan bahwa agama tidak boleh menghasut orang kepada sikap kebencian. Dalam kasus UAS sudah terbukti bahwa mengajarkan orang kepada sikap kebencian merupakan aqidah islam. Selain soal salib, UAS juga memberikan contoh lain dengan QS al-Maidah: 73. Dengan dasar surah itu tentulah penceramah islam akan mengatakan orang Kristen itu kafir. “Apa perlu saya meminta maaf? Kalau saya minta maaf, berarti ayat itu mesti dibuat ngawur gitu? Nauzubillah,” jelas UAS.
Ketika membahas soal problema ujaran kebencian dalam ceramah agama, kami sudah menyinggung beberapa aqidah islam lainnya. Misalnya, QS an-Nisa 157, yang mengatakan bahwa yang disalib itu bukan Yesus, tetapi orang yang diserupakan. Tentulah, penceramah akan berkata bahwa orang Kristen telah dibodohi Injil. Hal ini sama saja dengan menghina kekristenan.
Ketiga, tak mungkin islam itu rahmatan lil alamin. Orang islam sering membanggakan jika agama islam adalah agama damai, kasih dan rahmatan lil alamin. Islam itu indah. Menjadi persoalan, bagaimana indah dan damai jika mengajarkan kebencian? Bagaimana bisa mendatangkan rahmatan lil alamin apabila menghina agama lain termasuk aqidah islam?
Memang sering umat islam mengambil dalil surah al-Kafirun: 6. Akan tetapi, tak jarang dalil itu tinggal dalil (seperti slogan-slogan di atas) sehingga muncul sarkasme berikut: “Untukmu, agamamu; Untukku, agamaku. Tapi aku bebas menghina agamamu.”
Demikianlah 3 bukti tentang islam terkait dengan kasus Ustadz Abdul Somad. Dari 3 bukti tersebut, satu pertanyaan muncul: patutkah islam disebut sebagai agama Allah? Seharusnya ketiga bukti ini menjadi bahan permenungan dan pertimbangan bagi umat islam. Selamat merenung !!!
Dabo, 26 Agustus 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar