Sabtu, 29 Oktober 2016

SETIA DALAM KESAHAJAAN

Malam mulai pekat. Sehabis mengajar di sejumlah perguruan tinggi di kota Makasar, Enoch Kumendong (58) segera pulang. Sesampainya di teras rumah, sang istri, Jacqueline Panggalo (53) menyambutnya dengan senyuman ramah. Begitu pula dengan anak-anaknya yang sedang menonton televisi langsung menyapanya. Kepenatan Enoch pun seperti pudar, songsongan istri dan anak-anak memberikan makna mendalam baginya.
Hampir 40 tahun Enoch mengabdikan diri pada dunia pendidikan. Profesi itu memang tak pernah memberikan gelimang harta. Namun ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri di batinnya. Dari dunia tersebut Enoch dan Jacqueline bisa memberikan teladan kesederhanaan kepada anak-anak. “Bagi saya kebendaan itu tak selalu penting, saya bahagia dengan keadaan yang serba sederhana,” ujar Enoch.
Sesama Guru
Awalnya Enoch bercita-cita menjadi imam praja Keuskupan Agung Makasar. Setelah menamatkan seminari menengahnya di Petrus Claver, ia melanjutkan ke seminari tinggi di Yogyakarta. Namun jalan hidupnya berkata lain. “Pembimbing rohani mengatakan saya tak cocok menjadi imam,” kenangnya.
Sekeluarnya dari seminari, Uskup Agung Makasar, Mgr. Schneiders CICM, menugaskannya menjadi guru di Tana Toraja. Enoch langsung dipercaya menjadi kepala sekolah di sebuah SPG dan SMU. Saat itu ia terpikat dengan salah seorang muridnya, Jacqueline, yang kemudian ia nikahi pada tahun 1969. Sang istri kemudian menjadi guru di SD St. Yosef Makasar, sementara Enoch terus berkarya.
Selang beberapa tahun Enoch melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Makasar. Baru sampai tingkat sarjana muda, universitas itu tutup. Enoch melanjutkan ke Universitas Hasanudin. Setelah lulus, Enoch menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Dengan bertambahnya jumlah anak (5 orang), Enoch harus kian giat mengajar. Ia mengajar juga di Seminari Petrus Claver dan SMU Rajawali. Setiap hari Enoch harus mempersiapkan beberapa mata pelajaran yang berbeda.
Enoch dan Jacqueline menganggap bahwa profesi guru merupakan panggilan. Karena itu, meski penghasilan pas-pasan, mereka tetap mencintai pekerjaan. “Kami harus bisa hemat,” tukas Enoch. Pernah suatu waktu Enoch ingin beralih profesi dan pindah ke Jakarta. Tapi keinginan itu urung, karena ia merasa tak punya bakat berbisnis.
Enoch bersyukur, istri dan anak-anaknya bisa menerima keadaan ini. bahkan mereka mendukungnya terus berkarya di bidang pendidikan. Tahun 1983 Enoch mendapat kesempatan emas untuk studi doktor ke Perancis di bidang Manajemen Pemasaran. Sudah berada beberapa bulan di Perancis, Enoch membatalkan rencananya karena Jacqueline sakit. Enoch memutuskan kembali ke Makasar karena Jacqueline membutuhkan kehadirannya. Semua ini demi kelangsungan keluarganya.
Teladan Hidup
Enoch bersyukur, dalam keterbatasan dana, keluarganya bisa memiliki rumah sendiri selang 4 tahun setelah menikah. Rumah itu serba sederhana. Enoch pun bahagia melihat istrinya tak pernah menuntut. “Tak menjadi masalah kemampuan ekonomi kami hanya segitu,” ujarnya.
Sebagai guru, Enoch dan Jacqueline berusaha menanamkan nilai-nilai kejujuran dan disiplin pada kelima anak mereka. Semua itu mereka tunjukkan melalui teladan hidup; tak cuma nasihat dan wejangan.
Di antara kesibukannya mengajar, Enoch selalu meluangkan waktu untuk menggereja. Dia pernah menjadi Ketua Rukun di lingkungannya. Tahun 1995 – 1998 menjadi Ketua Dewan Paroki St. Yakobus Mariso. Kini dia aktif sebagai prodiakon dan dirigen koor.
Selama 10 tahun ini, Enoch juga aktif mengikuti perkumpulan doa rosario hidup. Ada berkat tersendiri yang ia rasakan dari kegiatan-kegiatan rohaninya itu. Bila ada masalah, selalu saja ia memperoleh jalan keluar. “Berkat yang paling saya rasakan: relasi dengan istri selalu terjaga.”
Di rumah, Enoch dan istrinya berusaha menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Karena mereka aktif menggereja, anak-anak terbiasa ikut serta. Mereka juga berusaha berdoa rosario bersama, utamanya pada bulan Maria. “Kami tak pernah mengalami mukjizat, tetapi berkat selalu ada,” katanya.
Dalam berelasi dengan tetangga, yang kebanyakan muslim, Enoch berusaha rendah hati. Bagi Enoch, toleransi beragama bukan sesuatu yang asing baginya, karena dalam keluarga asalnya saudara-saudaranya ada yang protestan dan juga islam.
Tak Menyesal
Bagaimanapun Enoch tak pernah menyesal karena tak jadi imam. Ia bisa menghayati panggilan hidupnya sebagai suami dan ayah. “Tuhan tetap memberi kesempatan kepada saya menjadi garam dalam menjalani hidup ini.”
Di masa senja, Enoch sama sekali belum memikirkan pensiun. Ia bertekad akan terus mengajar sampai fisiknya sungguh-sungguh tak mampu lagi. Bila dilihat dari kacamata kebendaan, tak banyak yang bisa dikumpulkan Enoch. Ia masihlah sosok yang bersahaja. Ia belum mengendarai mobil ke tempatnya mengajar. Ia masih harus bergelayut di kendaraan umum.
Dengan penampilan apa adanya, toh Enoch bisa memperkaya ilmu anak-anak didiknya. Kesederhanaan memang kuncinya dalam berkarya, pun dalam berkeluarga.
diringkas dari Maria Etty, Perjuangan Hidup Berkeluarga (Jakarta: grasindo, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar