Minggu, 23 Agustus 2015

(CERPEN) Fasilitator

FASILITATOR
Sejak aktif sebagai fasilitator KBG di Paroki St. Bruno, Aritonang tidak pernah lagi pulang ke kampung bersama istri dan kedua anaknya. Maklum, KBG menjadi prioritas pastoral di paroki setelah sinode keuskupan 2045 lalu. Dan Romo Anton, pastor Paroki St. Bruno, sangat getol dengan KBG. Ia ingin agar ada keseragaman konsep, gerak dan arah pastoralnya terkait KBG ini.
Tetapi tahun 2056 Aritonang tak dapat mengelak. Ia sekeluarga pulang kampung. Inipun karena janjinya kepada anak-anaknya. “Kalau kalian berhasil dapat ranking 1, kita liburan.”
“Ke kampung, ya Pa?”
“Ketemu Opung.”
“Iya.”
“Janji?” Ujar kedua anaknya hampir berbarengan.
“Janji.” Ucapnya sambil tiga jari diacungkannya ke atas.
“Koq tiga jari, Pa?” Tanya si sulung, Alberto.
“Ini janji Trinitas: Bapa, Putra dan Roh Kudus,” jelasnya sambil menekukkan jarinya satu per satu.
***
Aritonang menyempatkan diri bertamu ke pastoran St. Maria, yang jaraknya tak lebih dari 500 meter saja. Pastor Paroki menyambutnya dengan ramah.
“Saya dengar keuskupan kalian sangat getol dengan KBG, ya?” Pastor Tumanggor memulai pembicaraan setelah mereka duduk santai di ruang tamu.
“Betul, Pastor. Kebetulan, saya termasuk tim fasilitator paroki.”
“Fasilitator?”
“Ada dua pilar KBG, Pastor. Modul dan fasilitator. Kami bertugas menerjemahkan modul ke KBG. Ini demi keseragaman.”
Dengan semangat Aritonang menjelaskan soal KBG dan bagaimana mereka menerapkannya di Paroki St. Bruno. Tak lupa juga ia selipkan cerita tentang Romo Anton, sang Bapak KBG di parokinya. Cukup lama mereka berbicara, sampai akhirnya Aritonang mohon pamit.
“Nanti, kalau mau pulang, mampir ke sini dulu ya. Saya mau titip sesuatu buat Andreas.”
Andreas yang dimaksud adalah Pastor Paroki Gembala Baik, paroki tetangga Paroki St. Bruno. Dia adalah sahabat baik Pastor Tumanggor ketika masih kuliah.
“Baik, Pastor.”
***

Malam itu Aritonang mengikuti kegiatan di komunitasnya. Ternyata Paroki St. Maria pun sedang menghidupi KBG, pikirnya. Namun, ada banyak perbedaan. Ia merasa aneh dengan model dan gaya KBG di paroki itu. Melihat “keanehan” itu, Aritonang mulai angkat bicara. Baginya, itu bukanlah KBG yang sebenarnya. Aritonang mulai banyak menjelaskan perihal KBG, sebagaimana yang dijelaskan Romo Anton.
Penjelasan Aritonang perihal KBG membuat sebagian besar umat kebingungan. Namun ada juga yang menerimanya. Karena itu, umat terpecah menjadi dua kubu. Ada yang mendukung, ada juga yang menolak.
“KBG itu harus seperti yang dikatakan Lae tadi,” ungkap seorang umat yang mendukung. “Kita harus belajar darinya. Mereka sudah menggeluti KBG ini lebih dari 10 tahun. Kita baru jalan 3 tahun.”
“Tiap keuskupan itu otonom.” Suara yang menolak. “Kita harus mengikuti arahan dari keuskupan kita, karena inilah warna KBG kita nantinya.”
Perpecahan di komunitas itu terdengar juga oleh Pastor Tumanggor. Keesokan harinya ketua komunitas menyampaikan apa yang terjadi. Ia memberi juga sebuah rekaman saat terjadi perdebatan itu. Penjelasan Aritonang tentang KBG pun direkam.
“Nanti malam, kelompok yang mendukungnya akan bertemu di rumah Simbolon. Dia akan memberikan penjelasan dengan KBG.”
“Coba kau suruh satu orang untuk ikut dan merekam kegiatan itu.”
Akhirnya, Pastor Tumanggor mempunyai dua rekaman. Cukup serius ia dan beberapa tokoh umat menyaksikan rekaman itu.
“Bagaimana ini, Pastor?”
“Kalian tenang sajalah,” nasehat imam biarawan itu. “Ingat, KBG kita mempunyai tiga pilar. Ada yang tidak dimilikinya: Roh Kudus. Kita melihat bahwa KBG adalah karya Roh Kudus, bukan karya pribadi manusia saja.
“Seperti kata Gamaliel, dalam Kisah Para Rasul, bahwa jika perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap.” Tegas Pastor Tumanggor. “Ingat apa kata Mazmur 127: jika bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah orang membangunnya.”
Pastor Tumanggor menelpon Romo Andreas dan bercerita tentang Aritonang. Tak lupa juga disampaikan dua rekaman itu. Romo Andreas meminta rekaman itu dikirim kepadanya. Ia ingin tahu apa yang disampaikan Aritonang.
Betapa terkejutnya Romo Andreas ketika melihat dua rekaman itu. Dia melihat Romo Anton dalam diri Aritonang. Gayanya berbicara, nada suaranya hingga apa yang disampaikan sangat serupa dengan Romo Anton.
Tak puas dengan penilaiannya, Romo Andreas memanggil dua rekannya, pastor pembantu dan seorang katekis paroki. Mereka sependapat dengannya. Keduanya melihat Romo Anton dalam diri Aritonang.
“Emang, ada masalah apa dengan Aritonang, Mo?”
“Rekaman ini terjadi di kampungnya. Ia berusaha menanamkan KBG di sana,” jelas Romo Andreas. “Namun, justru penjelasannya itu menimbulkan perpecahan di sana.”
“Bagaimana kalau kita rekam fasilitator lainnya sebagai pembanding?” Usul rekan imamnya.
“Besok aku ajak beberapa OMK ke KBG,” kata Dimas, yang sehari-hari bertugas sebagai katekis paroki.
Tiga hari kemudian ia membawa 4 rekaman dari empat KBG di paroki St. Bruno. Salah satu rekaman itu ada Romo Joko, pastor pembantu. Kembali ketiganya kaget oleh rekaman itu. Bertiga saling bertatap-tatapan. Ada Romo Anton dalam keempat fasilitator itu. Bahkan Romo Joko pun tampil tak ubahnya Romo Anton.
“Ketawanya pun sama persis dengan bosnya.” Ungkap Dimas.
“Koq bisa, ya?”
“Jangan-jangan mereka sudah diformat,” ujar Dimas tiba-tiba. Kedua imam itu langsung menatapnya. Mereka tahu kalau Dimas pintar dalam dunia komputer. “Kan Romo Anton ahli dalam teknologi digital atau IT.”
“Maksudmu?”
“Ini kayak film-film sci-fi.” Jelasnya lagi. “Romo udah pernah nonton film Oblivion? The Machine? Hitman atau Divergent?”
Kedua imam itu hanya menggelengkan kepala membuat Dimas tersenyum.
“Makanya, Romo itu refleksinya jangan hanya dari Kitab Suci saja. Cari inspirasi dari film juga.”
“Kau jangan kotbahi kami. Terangkan maksudmu itu!”
Mulailah Dimas menerangkan teorinya. Dijelaskannya dari Artificial Intelligence, nanoteknologi. microchip hingga cyborg. Kedua imam itu terpana mendengarkan penjelasan Dimas. Ternyata, selain mahir dalam berkatekese tentang ajaran Gereja, Dimas pun piawai dalam berketekese dunia IT.
“Jadi, Aritonang itu semacam cyborg?”
“Kurang lebih,” ungkap Dimas kurang yakin. “Mungkin Romo Anton sudah membuat microchip dengan teknologi nano. Microchip ini bersifat transponder. Benda ini kemudian dimasukkan ke dalam tubuh para fasilitator. Semacam inplan. Biasanya di daerah sekitar kepala atau leher, karena gelombang elektromagnetiknya langsung mempengaruhi syaraf otak.
“Romo Anton kemudian rutin mengirim data ke microchip ini, karena sinyalnya dapat dibaca dengan perangkat berbasis android. Pengiriman juga dapat dilakukan dengan bantuan Bluetooth. Jadi, sibuknya Romo Anton menyiapkan modul, semuanya dalam rangka itu. Modul-modul itulah yang akan dikirim ke microchip-microchip fasilitator. Karena itu, wajar bila terjadi keseragaman.”
“Pantas, seminggu sekali mereka selalu berkumpul. Mungkin pada waktu itulah ia mengirimkan data modulnya.”
“Lalu, bagaimana mengatasi si Aritonang ini? Temanku bilang umatnya sudah pada resah.”
“Bagaimana kalau diberi virus? Saat ini dia berada di luar jangkauan. Program dia tidak ter-upgrade. Kalau pun Romo Anton pasang anti virus, pastilah program itu sudah lemah, karena tidak update.
“Virus apa yang mau diberi?”
“Kirim ‘Menggugat Keseragaman KBG’. Itu dapat didownload. Gratis, koq.”
“Lalu?”
“Romo bilang mereka untuk mendownload software ‘Menggugat Keseragaman KBG’. Lalu, ketika dekat dengan Aritonang, kirim dengan Bluetooth. Mudah-mudahan dia lagi open. Kalau dia lagi open, pasti masuk.”
***
Selang beberapa hari, semangat Aritonang dalam menjelaskan KBG tidak sehebat sebelumnya. Malah ia terlihat bingung dan ragu dengan konsep KBG-nya sendiri. Perlahan-lahan umat yang biasa mendengarkannya mulai meninggalkan dia. Keadaan di komunitas itu pun mulai membaik. Umat kembali ke pola lama.
Melihat keadaan Aritonang seperti itu, Pastor Tumanggor mendekati dia. Ia mengundang Aritonang ke pastoran untuk bincang-bincang. Dengan lembut Pastor Tumanggor mencoba menggali latar belakang Aritonang sebagai fasilitator KBG di Paroki St. Bruno. Mulailah Aritonang bercerita.
Sebagai pastor paroki, Romo Anton menghendaki agar umat gembalaannya menghidupi KBG sebagaimana diamanatkan sinode. Dua 2 pilar mendapat perhatian serius. Dua pilar itu dapat menciptakan keseragaman.
Modul disediakan oleh Romo Anton. Setiap hari Romo Anton sibuk di depan layar laptopnya untuk menyiapkan modul-modul yang akan dihidupi di KBG. Romo Anton terpaksa mengurangi jam tidur malam.
Para fasilitator dipilih dari orang-orang tertentu. Mereka ini akan menyampaikan modul yang sama. Demi keseragaman, Romo Anton membuat microchip. Semua data modul dan data lainnya dimasukkan ke dalam microchip itu, yang kemudian ditanam ke dalam tubuh para fasilitator. Namun Aritonang tidak tahu kapan benda itu dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Setiap hari Senin, para fasilitator berkumpul bersama. Dalam pertemuan itu, Romo Anton memaparkan modul-modul yang harus diterapkan dalam sepekan. Ternyata Romo Anton bukan hanya memaparkan modul, tetapi juga mengirim data modul via Bluetooth ke tiap-tiap microchip fasilitator.
***
Sesuai permintaan Pastor Tumanggor, sebelum ke rumah, Aritonang singgah sebentar ke pastoran Gembala Baik. Ia harus mengantar ole-ole untuk Romo Andreas. Namun di balik itu, ada tujuan lain. Aritonang sama sekali tak tahu maksud lain kunjungannya selain menyampaikan titipan Pastor Tumanggor.
Setiba di pastoran, Aritonang langsung diajak masuk ke kamar Romo Andreas. Istri dan anaknya ditemani oleh Suster Maria dan pastor pembantunya di ruang tamu. Di kamar sudah menunggu Dimas.
Dengan sigap, Dimas langsung mendeteksi seluruh tubuh Aritonang dengan alat yang ia rancang. Awalnya Aritonang kaget dan berontak. Namun, penjelasan Romo Andreas membuat dia mau bekerja sama.

Akhirnya Dimas menemukan barang yang dicari. Microchip sebesar biji padi itu ditanam di bawah ketiak. Dengan persetujuannya, microchip itu dikeluarkan. Aritonang terbebas dari belenggu keseragaman.
Batam, 24 Juli 2015
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar