Beberapa peserta pelatihan
yang dikirim untuk belajar sering menyatakan bahwa mereka gembira mendapat
jatah pelatihan. Namun ketika ditanya alasan kegembiraannya, sering kali
jawabannya berkisar antara hiburan, relaksasi, refreshing, bahkan shopping. Tentunya
untuk perusahaan yang serius ingin mengembangkan sumber daya manusianya, hal
ini bisa mengecewakan karena individu yang diharapkan berubah ternyata bahkan
tidak merasa memiliki kebutuhan untuk itu.
Kita memang perlu membagi fokus
pelatihan bila mau menelaah kinerja pelatihan. Bila berbicara mengenai hard skills seperti ketrampilan
mengaudit, misalnya, kita mudah mengharapkan dan menyaksikan perubahan
ketrampilan dari tidak bisa menjadi bisa. Namun kalau kita menginginkan sikap
yang lebih profesional dalam melakukan proses audit, yang hal ini terkait
dengan ketrampilan soft skills, metode
pelatihan yang menunjang keberhasilan akan menjadi lebih kompleks.
Banyak permasalahan ada pada
peserta pelatihannya sendiri. Bisa saja komitmen untuk mengubah soft skills-nya dipandang tidak perlu.
Beberapa perusahaan, bahkan kesulitan dalam mengumpulkan peserta pelatihan soft skills dan terpaksa harus menjadwal
ulang beberapa kali dikarenakan jumlah peserta yang mendaftar tidak memenuhi
kuota. Para calon peserta beralasan bahwa pekerjaan sehari-harinya akan
terlantar bila menghadiri pelatihan yang ia sendiri tidak melihat kegunaannya.
Ada juga yang merasa bahwa soft skills-nya
sudah bagus, tidak ada masalah dalam cara ia menangani anak buah, hubungan
antar-rekan kerja atau bahkan merasa tak bisa berubah karena “dari sononya sudah begitu.”
Tidak lama setelah memiliki
bawahan, kita mungkin merasakan kebutuhan untuk mengubah tingkah lakunya. Kalau
kita beruntung, mungkin hanya tingkah laku yang bersifat ketrampilan kecil
seperti cara greeting di telepon.
Namun terkadang ada ketrampilan yang lebih besar, berbasis kepribadian yang
sudah berakar. Hal ini pastinya memberikan tantangan yang lebih besar bagi
atasan untuk mengubahnya, terutama bila motivasi untuk berubah pada bawahan
memang kurang. Para atasan sering merasa frustasi setelah beragam cara
ditetapkan, tetapi perubahan yang diinginkan tidak juga membuahkan hasil.
Waspadai
Kekebalan untuk Berubah
Banyak orang juga
mengeluhkan bosan bila menghadapi pekerjaan yang itu-itu saja dan mengharapkan
adanya perubahan sehingga sepertinya banyak orang ingin berubah, khususnya
berubah menjadi lebih baik. Namun, kita tidak bisa menganggap bahwa perubahan
itu otomatis, kecuali bila diiringi motivasi internal yang kuat. Motivasi
eksternal yang diberikan oleh para motivator terkenal biasanya tertinggal di
hotel tempat seminar diselenggarakan seiring dengan meredupnya musik dan
yel-yel yang tadinya begitu gegap gempita diteriakkan.
Individu perlu
diiming-imingi untuk berubah dengan melihat big
picture dari perubahan itu di masa mendatang serta apa dampaknya bila
mereka tetap tidak berubah. Mereka perlu diajak, diundang dan di-welcome ke dalam proses perubahan.
Perubahan adalah suatu proses, langkah demi langkah. Tidak pernah instan. Hal
yang perlu diingat juga adalah bahwa perubahan perlu dikawal, baik melalui coaching maupun mentoring. Tidak ada ketrampilan, terutama soft skills, yang langsung jadi dalam 1 pertemuan. Learning ia not done overnight, it’s a life
long process. Atasan perlu meng-coach,
membimbing dan menjaga agar anak buah tidak keluar jalur, apalagi kembali ke
posisi semula. Apakah pelatihan bisa menguatkan perubahan?
Pelatihan
Efektif
Sudah lama kita tidak mem-buy in pelatihan yang bermodel menggurui
dan menganggap peserta adalah orang yang tidak tahu apa-apa seperti anak
sekolahan. Pelatihan pun dibuat semenarik mungkin, sampai kalau perlu
menghipnotis agar menarik minat dan atensi peserta sepanjang pelatihan. Namun
mengapa pelatihan yang seru-seru itu sering tetap tidak menunjukkan perubahan
yang signifikan?
Kita lagi-lagi perlu
mengingat bahwa peserta pelatihan adalah orang dewasa yang perlu tahu persis
mengapa ia berubah, dan perlu ditarik untuk berubah. “Bola” perubahan di
lapangan peserta. Oleh karena itu, pelatihan harus menggunakan bahasa peserta,
baik operasional maupun sehari-hari. Kita perlu membahas tuntas, kasus-kasus
yang dialaminya dalam kehidupan nyata. Pelatih perlu memberi contoh, best practice, solusi dan juga
menunjukkan pada peserta bahwa ia mampu dan memiliki kapabilitas untuk berubah.
Bila peserta sudah tahu konteks perubahannya, kita baru bisa menagih action plan yang memang mengarah pada
solusi yang tepat bagi pekerjaannya, untuk ditindaklanjuti oleh atasan
masing-masing.
Tahu mengapa perubahan itu
harus dilakukan saja tidaklah cukup. Individu harus memiliki motivasi untuk
menggerakkan dirinya menjalankan perubahan itu serta lingkungannya, sistem dan
prosedur yang tepat untuk mendukungnya. Bagaikan gajah yang tadinya tidak
ingin, tiba-tiba mau bergerak. Seperti kata para ahli, “Context is critical. Most of the time, poor behavior doesn’t operate
in a vacuum; there are likely other individuals or circumstances supporting
it.” Atasanlah yang sangat berperan
untuk mengawal perubahan-perubahan.
by: Eileen Rachman & Emilia Jakob, KOMPAS, 13 Juni 2015, hlm 33
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar